Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUET Aning Katamsi dan Binu Sukaman memukau penonton. Tepuk tangan bergemuruh di ruangan Gedung Kesenian Jakarta begitu lagu Mira o Norma (Hear Me, Norma) berakhir. Malam itu, Sabtu dua pekan lalu, keduanya sukses mengalunkan vokal sopran/mezosopran dengan napas teratur dan kompak, diiringi piano oleh Adelaide Simbolon. Mereka memang pantas ternama.
Tembang yang menurut sejumlah kritikus merupakan mahakarya terbaik Vincenzo Bellini, komponis abad Bell Canto, itu bersuasana sedih. Naskah opera yang ditulis Felice Romani ini menggambarkan Norma (Binu) yang penuh sesal di rumahnya. Ia hendak membunuh kedua anaknya. Niat itu batal karena ia dihentikan oleh Adalgisa (Aning), yang berjanji akan membujuk Pollione kembali kepada Norma.
Dipentaskan perdana di La Scala, Milan, pada 1831, Norma dipandang sebagai karya opera paling spektakuler bahkan hingga saat ini. Susvara Opera Company (SOC) pernah menampilkannya di Studio V RRI pada 1979. Saat itu Catharina Leimena, pemimpin SOC, berperan sebagai Adalgisa dan Teddy Sutady sebagai Pollione. Puluhan tahun sudah Leimena berfokus pada dunia tarik suara.
Pada Sabtu dua pekan lalu itu, SOC menampilkannya kembali, bersama 27 lagu lain. Semuanya merupakan cuplikan aria dari opera-opera karya berbagai komponis, dari Mozart hingga Puccini, yang pernah dipentaskan SOC sejak 1977. Konser bertajuk Il Viaggio dell’ opera (perjalanan opera), yang terselenggara bekerja sama dengan Gedung Kesenian Jakarta, merupakan bagian dari Festival Schouwburg VIII-2009. ”Tahun depan, 2010, kami akan menampilkannya secara utuh,” kata Alexandro Subianto, kru SOC.
Konser berlangsung sekitar tiga jam, diawali dengan era klasik karya-karya Ludwig van Beethoven dalam Fidelio (dari nama seorang sipir baru di penjara). Sembari menyanyikan lagu Heil sei dem Tag, para tawanan penjara bersorak. Mereka dinyatakan bebas oleh Don Fernando dan boleh bertemu dengan keluarga. Sorak-sorai itu dilukiskan dalam vokal nan padu di antara anggota SOC dan Studio Cantorum Choir, Bandung. Mereka berlatih selama tiga bulan.
Pada 1805, opera itu dipentaskan pertama kali di Wina, Austria, dengan judul Leonora. Tapi, karena sambutan kurang baik, Beethoven dua kali merevisinya, pada 1806 dan 1814, menjadi Fidelio. Pengubahan judul juga dilakukannya untuk mencegah kerancuan dengan opera Leonore karya Pierre Gaveaux (1798) dan Ferdinando Paer (1804).
Karya Mozart berjudul Le Nozze di Figaro (pernikahan Figaro) dianggap sebagai karya opera terbaik yang pernah dia buat. Penulis naskah drama Lorenzo Da Ponte terinspirasi drama karya Beaumarchais, La folle journee, ou le mariage de Figaro, dan menggandeng Mozart. Ada unsur jenaka di sini. Lagu Ricevete, o padroncina dilantunkan rakyat pada pesta perkawinan Figaro dan Susanna sebagai countess.
Die Zauberflote (seruling ajaib), salah satu karya akhir Mozart, yang meninggal pada usia 35 tahun, juga turut ditampilkan. Aria yang paling kondang dalam opera ini kurang dapat dibawakan dengan mulus oleh Deasy Hartanto (solis), yang berperan sebagai Queen of the Night. Terkesan menggelikan. Untunglah, gaun ungu panjang yang dikenakannya dengan hiasan kepala berupa enam tangkai bulu merak, untuk menggambarkan burung hantu, menawan penonton. ”Kostum memang disesuaikan dengan peran dan suasana pada tahun opera itu dibuat (1700-1900-an),” kata Arayana Sunarya, penata seni.
Tampaknya, SOC memang pandai membuat hati pendengarnya setia berada di ruangan. Buku panduan pun jelas mengungkapkan isi opera dan sejarahnya, selain peserta dan penyelenggara konser. Rehat sekitar 15 menit, menjelang sesi intermezo, jumlah penonton nyaris tetap. Selama konser, balkon kiri dan kanan atas terisi dan hanya beberapa kursi di urutan belakang yang kosong. ”Saya cukup puas dengan acara ini, tapi ada vokal yang kurang pas pada beberapa penyanyi,” kata Nuke, salah satu pengunjung, seusai konser.
Martha W. Silaban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo