Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPANJANG dua pekan lalu, Ibrahim Ali bertemu dua kali dengan Zakir Naik. Pertemuan pertamanya dengan dai kon-dang asal India itu terjadi di kediaman Naik di sebuah kondominium di Putrajaya, Malaysia, Rabu, 21 Agustus lalu. “Saya amat tersanjung karena perjumpaan berlangsung hingga tiga jam dan kami dapat berbincang banyak perkara dan isu,” kata Ibrahim kepada Tempo, Selasa, 27 Agustus lalu.
Empat hari kemudian, presiden or-ga--ni-sasi pro-Melayu, Pertubuhan Pri-bumi Perkasa Malaysia (Perkasa), itu me-ne-mani Naik bertemu dengan mantan Ketua Mahkamah Agung, Abdul Hamid Mohamad. Dalam perbincangan selama sekitar satu jam itu, mereka mem-bicarakan sejumlah isu hangat, termasuk me-nguatnya de--sakan publik agar Naik di--deportasi dari Malaysia.
Naik masih leluasa ber-gerak walaupun tid--ak lagi bebas ber-ce--ra-mah. Dia bahkan ber--sikap tenang ter-ha-dap keputusan pe-me-rin--tah yang melarangnya ber-dak-wah di seluruh wila-yah Malaysia hingga pe--nyelidikan terhadapnya rampung. “Buat se-mentara waktu, kita bersabar dulu,” ujar Ibra-him, me-ni-rukan Naik. Ibra-him ber-hu-bungan dekat dengan Naik sejak or-ga-nisasinya menganugerahi peng-har-ga-an Bintang Pribumi Perkasa Negara ke--pada Naik pada 2016 atas jasanya ber-dakwah.
Mahathir Mohamad. REUTERS/Stringer
Naik terjerat kasus hukum setelah per-nyataannya dalam ceramah di Kota Baru, Kelantan, menuai kontroversi pada 8 Agustus lalu. Acara berjudul “Executive Talk Bersama Dr Zakir Naik” itu sebenarnya membahas penyebaran Islam di Asia Tenggara. Kepada ratusan pengikutnya, Naik mengatakan bahwa Islam menyebar hingga ke Indonesia dan Malaysia lewat pedagang, bukan dengan cara kekerasan.
Ketika tiba sesi tanya-jawab, ada pe--serta yang menanyakan soal desakan eks-tradisi terhadap Naik. Pria 53 tahun itu menanggapinya dengan menyinggung soal gelombang masuknya orang-orang Cina, India, dan Inggris di Malaysia dan menyebut mereka sebagai “tamu”. Naik menyatakan bahwa dia juga pernah disebut “tamu”. Dan, jika ada yang ingin dia hengkang dari Malaysia, orang Cina Malaysia harus lebih dulu angkat kaki. “Sebagian besar mereka tak lahir di sini. Jadi, jika Anda ingin ‘tamu baru’ pergi, mintalah ‘tamu lama’ kembali lebih dulu,” ucapnya.
Naik juga melon-tar-kan komentar bah-wa umat Hindu di Ma-laysia men-dapat hak “100 kali lebih banyak” daripada kaum muslim di India yang menjadi minoritas. Padahal populasi orang Hindu Malaysia tak sampai separuh jumlah orang Islam di India. “Sa-ngat banyak (haknya) sehingga mereka (orang Hindu di Malaysia) mendukung Perdana Menteri India ketimbang Perdana Menteri Malaysia,” kata Naik.
Akibat ucapannya itu, Naik panen ke-caman. Dia dianggap mengadu etnis Cina dan penganut Hindu dengan mayoritas muslim Melayu. Polisi menginterogasinya dua kali dengan tuduhan menghasut ke-bencian rasial yang sensitif di negara multietnis itu. Empat menteri Malaysia men-desak agar Naik dideportasi. “Se--rang-an terhadap saudara Cina dan India sama halnya menyerang seluruh rakyat Malaysia,” ujar Menteri Pemuda dan Olah-raga Syed Saddiq, seperti dikutip Malay Mail.
Namun seruan untuk memulangkan Naik justru kandas di tangan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad. Mahathir, yang semula turut mengecam Naik dan menudingnya kebablasan karena ikut campur urusan politik, mengatakan bahwa ulama kontroversial itu tak akan diekstradisi dari Malaysia. Alasannya, nyawa Naik terancam bila dipulangkan ke tanah airnya. “Silakan jika ada negara (lain) yang mau menampungnya,” katanya.
Empat tahun lalu, saat Malaysia dipimpin Najib Razak, Naik mendapat status sebagai penduduk tetap. Tapi pria berjanggut putih itu baru menetap di Malaysia setelah kabur dari India setahun kemudian. Saat itu namanya terseret dalam serangan bom di Dhaka, Bangladesh. Naik dijerat dengan pasal pencucian uang, ujaran kebencian, dan pendanaan terorisme. Menjadi buron, paspornya dicabut. Otoritas India pernah mengirim permintaan ekstradisi Naik kepada pemerintah Malaysia pada Juni lalu. Namun Putrajaya bergeming. Sejak itu. Naik kerap didesak untuk dipulangkan dan diadili di India.
Urusan mendepak Naik rupanya seperti menghalau “bola panas”. Rezim boleh ber-gan-ti di negeri jiran, tapi posisi Naik te-tap tak tergoyahkan. Selain mendapat ja-minan dari Mahathir Mohamad sehingga dia bisa terus tinggal di Malaysia, larangan berdakwahnya tak berlaku permanen. “Polisi meminta Dr Naik tidak memberikan khotbah dan tampil di depan publik sampai penyelidikan kasus ini selesai,” ujar juru bicara Naik, Aarif Malik, kepada Tempo, 29 Agustus lalu.
Keputusan Mahathir membuat Syed Saddiq menjilat ludahnya sendiri. Menteri termuda dalam kabinet itu berbalik me-ngun-dang Naik ke rumahnya untuk ber-tabayun sekaligus bersantap malam. Pre-siden Partai Keadilan Rakyat (PKR) Anwar Ibrahim, yang awalnya mendesak Naik me-minta maaf kepada Mahathir, juga melunak.
Wakil presiden partai Malaysian Chinese Association, Ti Lian Ker, menuding per-ubahan sikap Saddiq dan Anwar itu semata demi menangguk basis pemilih partai masing-masing. “Ini menunjukkan mereka munafik. Kenyataan politiknya adalah PPBM (Partai Pribumi Bersatu Malaysia, partainya Mahathir dan Saddiq) dan PKR akan meraup lebih banyak suara pada pemilu berikutnya jika mereka mendapat so-kongan dari kelompok muslim dan Me-layu, yang umumnya mendukung Naik,” katanya.
Hubungan mesra Naik dengan penguasa di Malaysia terjalin sejak era Najib. Para pengamat menilai dukungan untuk Islam politik menguat terutama setelah koalisi Barisan Nasional kalah perolehan suara dalam pemilihan umum 2013. Saat itu, Najib diuntungkan sistem pemilu distrik sehingga tetap berkuasa. Sejak itu, dia dan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) berusaha menenangkan basis pemilih etnis Melayu muslim yang makin konservatif. Salah satunya dengan merangkul Naik.
Zakir Naik (kedua kiri) bersama Ibrahim Ali (kedua kanan) dan Abdul Hamid Mohamad (di kursi roda) di Putrajaya, Malaysia, 25 Agustus 2019. Dok. Ibrahim Ali
Naik, dengan pandangan Islam garis ke-rasnya, ternyata punya banyak penggemar di kalangan warga muslim Melayu, yang mengisi 60 persen dari 32 juta populasi Malaysia. Pemerintah mengakomodasi Naik ka--rena ia menjadi karakter yang po--puler di kalangan orang Melayu, terlepas dari kontroversinya. “Jika pemerintah me--ngusirnya ke luar negeri, mereka akan kehilangan kredibilitas agama di mata publik,” ujar Rashaad Ali, analis dari S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura.
Dilema serupa kini dihadapi pemerintah Mahathir Mohamad. Pengamat politik dari Penang Institute, Wong Chin Huat, mengatakan Pakatan Harapan ter-pe-rangkap dalam ketegangan masyarakat yang ditimbulkan Zakir Naik. “Zakir men-dapat sokongan dari segmen luas ma--syarakat Melayu, termasuk Partai Islam se-Malaysia (PAS) dan Mufti Perlis Asri Zainul Abidin. Ini membuatnya berani mengambil sikap yang keras terhadap kelompok minoritas dan liberal yang menuntut penyingkirannya,” kata Wong kepada Tempo.
Menurut dia, pemerintah secara politik sebenarnya bisa menempuh jalan tengah, yaitu mengantarkan Naik ke Arab Saudi, negara yang dikabarkan memberikan sta-tus kewarganegaraan kepadanya pada 2017. Apalagi Saudi adalah tempat lahirnya salafi, paham Islam yang dianut dan disebarkan Naik. “Ini bisa meredam ketidakpuasan kelompok minoritas dan liberal sekaligus mencegah kebimbangan mayoritas muslim,” ucapnya. Tapi Aarif Malik membantah kabar bahwa Naik menggamit paspor Saudi.
Wakil Presiden PKR Chua Tian Chang mengatakan partainya sebenarnya tidak setuju dengan pandangan dan ulah Naik. “Namun beliau juga berhak terhadap ideologi sendiri,” ujarnya. Dia berpendapat Naik baru dapat diusir dari Malaysia jika berbuat tindakan kriminal. “Saya kira kita tidak perlu memberi perhatian lebih pada isu remeh ini. Tidak ada untungnya bagi siapa pun.”
Zakir Naik telah meminta maaf kepada publik, tapi menolak disebut rasis. Dia me-ngatakan kontroversi ini mencuat ka--rena para pengkritiknya mencuplik ko--men-tar-nya di luar konteks dan memelintirnya. “Saya selalu menjadi orang yang membawa damai karena itulah yang diperjuangkan Al-Quran,” katanya.
MAHARDIKA SATRIA HADI (FREE MALAYSIA TODAY, MOTHERSHIP, SCMP, MALAY MAIL)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo