Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah tujuh pekan MV Nika tak melaut. Kapal dengan bagian depan ringsek dan berkarat itu diparkir di Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kota Batam, Kepulauan Riau. Kerusakan di sisi kanan dan kiri kapal membuat para awak kapal harus menguras air hingga 100 liter setiap hari. Mereka juga tak bisa bebas keluar dari kapal asal Panama itu. Makan, tidur, hingga mandi dilakukan di atas kapal.
Mereka baru bisa turun dari kapal saat harus menjalani pemeriksaan di kantor polisi. Hanya dalam kesempatan itulah sesekali mereka bisa menikmati makan di luar sebelum harus kembali ke kapal. “Ini masa yang sulit. Saya menunggu berkumpul bersama keluarga,” kata kapten MV Nika, Evgeny Starkov, kepada Tempo pada Selasa, 27 Agustus lalu.
Starkov dan koleganya tengah menunggu waktu persidangan atas dugaan kasus pencurian ikan. MV Nika pun dijaga ketat oleh 12 petugas PSDKP Kota Batam, yang bergantian setiap 12 jam. Meski demikian, Starkov masih bisa berkomunikasi dengan istrinya di Rusia. “Saya berharap semuanya selesai dengan baik,” ujar Starkov, yang ingin segera kembali ke negaranya.
MV Nika ditangkap petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan di perairan Pulau Weh, Provinsi Aceh, pada 12 Juli lalu. Kapal berukuran 750 tonase kotor (GT) itu masuk daftar buron Interpol sebulan sebelumnya. Selain memalsukan sertifikat registrasi menjadi kapal kargo, MV Nika diburu karena diduga melakukan kejahatan perikanan di sejumlah negara.
Menurut Kepala Pangkalan PSDKP Kota Batam Muhamad Syamsu Rokhman, MV Nika melanggar aturan pelayaran Indonesia karena tidak menyimpan peralatan penangkap ikan di dalam palka. Saat kapal disergap, ada 18 kru asal Rusia dan 10 awak dari Indonesia. Tujuh awak kapal sudah dideportasi ke Rusia, sementara empat lainnya berada di rumah detensi imigrasi. “Tujuh belas orang masih berada di kapal,” katanya.
MV Nika punya jejak kelam di dunia pelayaran. Sejak 2006, kapal itu enam kali berganti nama. Bendera pelayaran pun ditukar hingga tujuh kali. Global Fishing Watch (GFW), organisasi nirlaba internasional yang melakukan pengolahan data pelayaran untuk konservasi laut, menyebutkan praktik menukar bendera kerap dilakukan operator untuk menyembunyikan identitas kapal. “MV Nika teregistrasi sebagai kapal kargo, tapi punya peralatan menangkap ikan,” ucap analis data GFW, Imam Prakoso, Rabu, 24 Juli lalu.
Laporan GFW menyebutkan MV Nika bernaung di perusahaan yang sama dengan pemilik STS-50, kapal pencuri ikan yang menjadi buron dunia selama 10 tahun. Kapal berukuran 570 GT itu akhirnya ditangkap patroli Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut di Selat Malaka pada April tahun lalu.
MV NIKA Ukuran: 750 GT
Penangkapan MV Nika adalah buah dari penggunaan analisis data pelayaran dan kerja sama otoritas pengawas perairan global. Kapal itu sudah lama masuk radar pengawasan patroli laut sejumlah negara sebelum masuk daftar buron Interpol. Sebelum ditangkap, MV Nika sudah melanglang hampir 13 ribu kilometer dari barat daya Samudra Atlantik.
Usaha melacak MV Nika setelah dilepas patroli laut Georgia Selatan, kepulauan di Samudra Atlantik bagian selatan, pada Juni lalu sempat tersendat. Pasalnya, automated identification system (AIS) di kapal itu sudah dimatikan. AIS adalah perangkat navigasi yang sebenarnya wajib dipakai kapal--kapal besar berukuran di atas 300 GT untuk saling mengenali dan menghindari potensi tabrakan di laut.
Tanpa sinyal AIS, pergerakan MV Nika sulit diikuti. Termasuk ketika kapal itu mendekati perairan Selat Malaka—salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. MV Nika berusaha mengelabui radar dan patroli TNI Angkatan Laut dengan menghindari jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia di Sabang, Aceh. Kapal-kapal patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan pun sempat keliru mendekati kapal kargo. “Kapal itu juga tidak pakai AIS,” kata Imam.
Para analis GFW memantau data pergerakan MV Nika sejak Februari lalu. Dengan tabungan data yang dimiliki, mereka mengkalkulasi arah pelayaran MV Nika. Pada 12 Juli sekitar pukul 7 pagi, analis GFW dan para petugas patroli sepakat mengubah arah pencarian. “Perhitungannya benar, MV Nika bisa ditangkap,” ujar Imam.
Informasi dari AIS menjadi sumber data bagi para analis GFW untuk mengetahui aktivitas kapal di perairan di seluruh dunia. Data yang terhubung dengan satelit ini berdampak penting dalam pemberantasan praktik pencurian ikan. Sistem navigasi ini mentransmisikan data posisi, arah, dan kecepatan kapal. “Ada sekitar 60 ribu kapal bisa kami pantau, tapi itu belum semua kapal yang ada di lautan,” kata Chief Executive Officer GFW Tony Long.
Data sistem pemantauan kapal perikanan atau vessel monitoring system (VMS) juga digunakan untuk memvalidasi keberadaan kapal ikan asing. Ketimbang menggunakan AIS, kapal-kapal ikan Indonesia ternyata lebih banyak memakai VMS. Indonesia menjadi negara pertama yang bekerja sama dengan GFW dalam berbagi dan mempublikasikan data kapal ikan kepada publik. “Ada sekitar 5.000 kapal Indonesia yang bisa dilacak,” ujar Long.
Hasil analisis data AIS juga menunjukkan aktivitas kapal ikan asing di perairan Indonesia menurun drastis setelah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerapkan moratorium izin kapal ikan asing sejak November 2014. Sebelum moratorium, aktivitas penangkapan oleh kapal ikan asing mencapai 6.800 jam per bulan. “Sekarang nyaris tak ada lagi. Paling ada terdeteksi di perbatasan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif),” kata Imam.
Moratorium izin kapal asing sudah dicabut pada Oktober 2015. Namun kapal ikan asing masih dilarang beroperasi di perairan Indonesia. Sekitar 10 ribu kapal ikan asing dihalau dari perairan Indonesia dan lebih dari 500 kapal yang ditangkap sudah dimusnahkan.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, YOGI EKA SAHPUTRA (BATAM)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo