Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pengikut Deedat Garis Keras

Dipuja di negara orang, Zakir Naik menjadi buron di negeri sendiri. Khotbahnya yang kontroversial menyedot jutaan pengikut.

31 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERANGAN teror di Dhaka, Bangladesh, 1 Juli 2016 menjadi titik balik kehidupan Zakir Abdul Karim Naik. Dalam hitungan jam selepas insiden penembakan yang menewaskan 22 orang itu, ulama asal Mumbai, India, yang tengah naik daun ini terpaksa hengkang ke Arab Saudi.

Serangan terhadap kafe Holey Artisan Bakery dan restoran O’Kitchen di kawasan diplomatik Gulshan itu diklaim dilakukan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurut pemerintah Bangladesh, salah satu pelaku diketahui sebagai peng-gemar Naik dan melancarkan aksi setelah ter-pengaruh ceramahnya di saluran You-Tube.

Sejak itu, Naik tak pernah kembali. Dia berstatus buron setelah Badan Investigasi Nasional menjeratnya dengan pasal meng-ha-sut teror dan ujaran kebencian. Dia le--bih sering menetap di Malaysia, negara yang memberinya izin tinggal permanen. “Tuduhan itu tak pernah terbukti. Tidak ada bukti apa pun,” kata juru bicara Zakir Naik, Aarif Malik, kepada Tempo, Kamis, 29 Agustus lalu.

Zakir Naik dikenal sebagai ulama kon-dang yang kontroversial. Pria kelahiran Mum-bai, Maharastra, India, pada 18 Ok-tober 1965 ini semula berkarier seba-gai dokter. Dia meraih gelar sarjana ke--dok-teran dan bedah dari Topiwala National Medical College dan University of Mumbai. Tapi dia memutuskan untuk menukar sarung tangan bedahnya dan menjadi peng-khotbah dengan mendirikan yayasan Islamic Research Foundation (IRF) pada 1991.

Pelan tapi pasti, Naik menapaki karier barunya sebagai dai. Khotbah-khotbahnya yang berfokus pada penyebaran Islam dan perbandingan agama menyedot banyak pengikut setia. “Pengikutnya lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia, dari kalangan muslim ataupun nonmuslim,” ujar Malik.

Selain berdakwah secara konvensional dengan mendatangi kota-kota di berbagai negara, Naik menyebarkan ajarannya lewat Peace TV, jaringan televisi satelit berbahasa Inggris yang dibentuknya pada 2006 dan berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab, ser-ta Facebook, YouTube, dan Twitter. Pe--ngi-kutnya di media sosial yang populer itu men-capai puluhan juta.

Menyebut dirinya sebagai muslim fun-da--mentalis, Naik sering melontarkan per--nyataan yang, bagi sebagian pen-de-ngar-nya, membikin dahi berkernyit. Dia, mi--sal-nya, pernah dianggap membela tero-risme setelah mengomentari pemimpin kelompok Al-Qaidah, Usamah bin Ladin. “Jika dia meneror Amerika, teroris terbesar, saya bersama dia. Setiap muslim harus menjadi teroris. Masalahnya adalah jika dia meneror teroris, artinya dia mengikuti Islam,” kata Naik pada 2006.

Naik pernah menyerukan hukuman mati untuk homoseksual dan orang yang murtad. Dia mengatakan kaum pria punya “hak” untuk memukul istri mereka “dengan lembut”. Naik juga pernah dianggap mem-bela ISIS karena berkomentar mendukung penghancuran tempat-tempat ibadah non-muslim. “Bagaimana kita bisa membiarkan ini (gereja atau kuil di negara Islam) ketika agama mereka salah dan ketika ibadah mereka salah,” ucap Naik.

Para pengkritiknya menuduh Naik salah mengartikan teks-teks agama. Mereka menganggap beberapa khotbahnya yang bernada provokatif tak ubahnya ujaran kebencian. Akibat ucapannya yang dinilai rasis, Naik tersandung kasus hukum di Malaysia. “Dakwah agresifnya yang meng-kritik agama-agama lain atas nama ‘kajian perbandingan agama’, sedangkan para penganut agama lain tak punya kebebasan seperti kaum muslim untuk membalasnya, membuat komunitas nonmuslim sangat marah terhadapnya,” kata Wong Chin Huat, pengamat politik dari Penang Institute.

Naik sangat dipengaruhi mendiang Syekh Ahmad Deedat, ulama Afrika Selatan yang berasal dari Gujarat, India. Pidato-pidatonya menggelitik minat Naik pada “perbandingan agama”. Deedat adalah ula-ma Sunni otodidaktik yang populer di negara-negara Islam lewat debatnya de--ngan sederet tokoh agama terkemuka dari berbagai agama dan berusaha me--nun-jukkan keunggulan Islam.

Deedat tenar melalui aksinya me-nan-tang Paus Yohanes Paulus II untuk berdebat tentang Islam dan Kristen di Lapangan Vatikan pada 1986, tapi Paus tak menggubrisnya. Naik, seperti Deedat, mengklaim telah membaca dan menghafal teks suci semua agama. Dia fasih mengutip nama surat dan ayat dari kitab-kitab agama utama dunia. “Sekitar 80 persen yang di--sam-paikannya tentang kesamaan antara Islam dan agama-agama lain. Tentu dia juga membahas perbedaannya,” ujar Malik.

Penafsiran garis kerasnya tentang Islam mem-buat Naik dilarang masuk Inggris dan Kanada sejak 2012. Peace TV juga te--lah dilarang di Bangladesh, Kanada, dan Inggris. Yayasan IRF besutannya di--be-kukan selama lima tahun dan tengah di--usut lembaga antiterorisme India.

MAHARDIKA SATRIA HADI (THE WIRE, INDIA TODAY, THE STAR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus