Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bordir Sutra di Jantung Shanghai

Kongres Partai Komunis Cina diwarnai pembaharuan yang radikal: kapitalisme bukan lagi tabu, dan para pengusaha silakan masuk Partai.

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Toko interior itu terletak di sebuah kawasan elite di pusat kota. Di atas rak-rak etalase, Chen Yifei, si pemilik toko, memajang aneka dagangan yang memikat mata. Umpamanya, bantal-bantal berselaput bordir sutra Suzho yang masyhur akan keindahannya. Yifei tahu benar cara memikat selera kaum berduit di kota itu. Selain toko interior itu, dia menanam uangnya dalam sebuah butik baju kelas satu yang memberinya penghasilan US$ 25 juta (sekitar Rp 225 miliar) per tahun. Ini bukan Paris atau New York. Toko-toko itu terletak di Xintiandi, Shanghai, Cina—sebuah negeri yang lama mengharamkan perniagaan bebas. Tapi waktu berputar. Dan bisnis Yifei tampaknya bakal kian diwarnai hoki, berkat langkah besar yang diambil Presiden Cina Jiang Zemin, 76 tahun. Dalam Kongres Nasional Partai Komunis ke-16 yang berakhir pekan lalu, Zemin membuat sebuah keputusan besar: menghapus label haram kapitalisme. Dan ia menyilakan para pengusaha masuk Partai—sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi dalam sejarah Partai Komunis Cina (PKC). Dalam pidatonya yang berdurasi 90 menit, presiden yang telah memimpin Cina selama 13 tahun ini menekankan pentingnya perekonomian yang berorientasi pasar bagi masa depan Cina. Juga, pentingnya adaptasi oleh Partai terhadap perubahan. Zemin memperkenalkan konsep "tiga keterwakilan". Pertama, buruh. Kedua, petani. Dan ketiga—sekaligus "terbaru"—adalah kelompok kapitalis, yang disebutnya berjasa pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, Partai Komunis Cina akan menerima pengusaha swasta bergabung menjadi anggota. "Kita harus membebaskan diri dari interpretasi dogmatis terhadap Marxisme," ujar Zemin. Dan pengunjung membalas pidato itu dengan tepuk tangan bertalu-talu. Sang Presiden juga tak lupa mengingatkan bahwa pemerintah akan melakukan swastanisasi perusahaan negara. Kenapa demikian? Perusahaan swastalah, menurut Zemin, yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi di Cina. Pernyataan ini sempat membikin geger. Maklum, hingga tahun silam rencana Jiang Zemin memasukkan kapitalisme ke Partai belum terdengar. Toh, langkah yang diambil Zemin cukup realistis mengingat kondisi Partai sudah di ambang kebangkrutan. Dan Zemin tahu, untuk bertahan dia harus mampu merangkul para elite ekonomi. "Pencerahan" ala Zemin ini dilengkapi dengan sebuah "bonus": naiknya Wakil Presiden Hu Jintao sebagai Sekretaris Jenderal PKC, pekan lalu. Posisi Sekjen PKC otomatis membawa Hu Jintao, 59 tahun, kepada jabatan Presiden Cina pada Maret 2003. Jintao adalah anak didik pendiri Partai Komunis Cina, Deng Xiaoping. Sudah 10 tahun dipersiapkan untuk memandu Cina, Jintao akan menjadi generasi keempat yang memimpin Cina modern. Hidup di era yang jauh lebih global dibanding para pendahulunya, Jintao dipersiapkan untuk memimpin Cina di tengah arus pasar bebas. Pemerintah Cina memang sudah tidak mampu membendung arus pasar bebas. Pengalaman Chen Chang, seorang wanita pengusaha furnitur, adalah salah satu contoh. Tamat dari universitas, Chang meminjam uang dari temannya untuk membuka usaha. Dan berhasil. "Perekonomian pasar memberi kita kesempatan untuk mengembangkan kemampuan," katanya. Chang menggunakan penghasilannya, antara lain, untuk ongkos bersenang-senang ke bar dan diskotek. Impian tentang kemakmuran Cina juga melanda Yvonne Mak. Kepada wartawan TEMPO Agung Rulianto, yang tengah meliput di Beijing, Direktur Bel-Property International itu mengatakan bahwa Cina kini tengah dilanda demam properti. Toh wanita ini, yang punya usaha di Beijing, Hong Kong, dan Shanghai, belum tertarik masuk Partai—kendati kini terbuka luas kesempatan bagi pengusaha yang ingin menjajalnya. Alasan Mak, dia ingin melihat-lihat dulu sebelum memutuskan apakah masuk Partai membuahkan manfaat bagi usahanya. Mak bisa memetik pengalaman dari Yin Jiaxu, yang telah lebih dulu memetik buah kapitalisme yang dikampanyekan Presiden Jiang Zemin. Direktur Changan Automobile Group, perusahaan mobil milik negara, ini berhasil mengembangkan usaha tersebut hingga terdaftar di Pasar Modal Shenzhen. Jiaxu adalah kader PKC. Dia menjalankan perusahaan dengan prinsip kapitalis, berorientasi pasar. Dan toh ia tidak mendapat sanksi apa-apa dari Partai. Begitu pula pengalaman Chang, yang punya usaha membuat daun pintu dan kerangka jendela dari baja. Usaha itu ia kembangkan di Jiangxiang dan berhasil mendatangkan kemakmuran bagi penduduk setempat. Seperti halnya Jiaxu, usaha Chang bisa berkembang karena ditunjang oleh posisinya sebagai sekretaris partai di Jiangxiang. Dia bisa leluasa berusaha di bidang swasta tanpa harus khawatir dituding memeras tenaga para buruh. Sejak Deng Xiaoping—ia adalah favorit anak muda di PKC—menggagas reformasi pada 24 tahun silam, bibit-bibit kelas menengah mulai bermunculan di Shanghai, Beijing, Shenzhen, dan Guangzhou. Dan menjadi anggota Partai kini menjadi sebuah pilihan pragmatis—juga bagi para pengusaha, yakni membantu meningkatkan taraf hidup ataupun usaha. Meminjam ucapan Stanley Rosen, ahli Cina dari University of Southern California : "...Dulu menjadi kaya adalah keburukan. Sekarang miskin justru menjadi hal yang buruk." Rosen seolah menggambarkan Cina yang sudah jauh berubah sejak Partai Komunis mulai berkuasa (1949) dan Revolusi Kebudayaan (dimulai 1964). Pada saat itu, Chen Yifei—pemilik butik ini tadinya seorang pelukis—hanya diizinkan melukis wajah Pemimpin Besar Mao Zedong. Kenapa? Sebab, sebagai anggota Pelukis Sosialis Revolusioner, Chen hanya boleh berkarya untuk propaganda Partai Komunis Cina. Kondisi itu yang membuat dia kemudian hengkang ke Amerika Serikat, menjual lukisan cat minyak dan menjadi kaya. Satu karyanya bisa dihargai sampai US$ 300 ribu. Chen kini merasa bahagia karena bisa membuka usaha di tanah airnya sendiri. "Impian saya adalah membawa estetika ke dalam masyarakat Cina," katanya. Tapi, siapkah Cina memasuki era baru ini, yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai tahap lanjutan dari Revolusi Kebudayaan? Untuk menjawab hal ini, kita perlu menengok hasil studi selama tiga tahun tentang strata ekonomi Cina dari Chinese Academy of Social Science (CASS). Kelas menengah Cina kini punya penghasilan sekitar US$ 2.500-10.000 (sekitar Rp 22,5 juta-90 juta) per tahun. Nah, kelompok seperti ini—yang notabene adalah kelompok pendukung pertumbuhan ekonomi—berjumlah hanya sekitar 65 juta jiwa, atau tak sampai lima persen dari total penduduk. Kesenjangan yang tinggi antara kelompok kaya dan miskin adalah problem lain yang tak kalah memumetkan. Lebih dari 60 persen penduduk Cina hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 300 per tahun. Di kota-kota yang kaya sekalipun, penghasilan rata-rata kurang dari US$ 850 per tahun. Di luar soal ini, ada lagi sebuah hantu lama yang selalu mencekik para pengusaha Cina dari masa ke masa, yakni birokrasi yang rumit dan korupsi yang merajalela. Alhasil, Jiang Zemin boleh saja berpidato berapi-api tentang era baru di Cina yang harus merangkul kapitalisme. Tapi, jika reformasi ekonomi tidak disertai dengan reformasi politik, impian Zemin tentang kapitalisme yang akan membawa kemakmuran yang lebih luas dan merata bisa-bisa tinggal angan-angan. Sebab, keuntungan toh hanya akan jatuh pada segelintir kecil pemilik modal. Alhasil, Hu Jintao bukan sekadar mewarisi sebuah Partai yang sudah keropos dan nyaris bangkrut ketika menerima tongkat Sekjen Partai Komunis Cina pada Kamis pekan lalu. Dia mewarisi pula sebuah pekerjaan besar yang baru akan dimulai: menerjemahkan kapitalisme yang diuar-uarkan Presiden Jiang Zemin ke dalam sistem ekonomi dan politik Cina dengan cara yang sesuai sehingga mendatangkan manfaat—dan bukannya mudarat. Salah melangkah, Jintao bukan hanya menghidupkan kembali hantu-hantu korupsi dan penyelewengan birokrasi, tapi ia bisa juga membuat pengusaha seperti Chen Yufei menutup toko interiornya di jantung Shanghai dan hengkang jauh-jauh ke negeri lain—seperti yang pernah ia lakukan puluhan tahun silam. Bina Bektiati (Time, BBC, LA Times, The Economist)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus