Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERLETAK di ujung timur dari gugusan gunung berapi di Jawa Barat, Gunung Papandayan menghamparkan panorama yang elok dan hening menyejukkan. Hanya 28 kilometer dari Kota Garut, gunung ini dihiasi rumpun-rumpun bunga edelweiss, dipagari kebun teh, dan bermahkotakan kawah, yaitu Kawah Mas, Nangklak, dan Manuk. Dua kawah lainnya, Tegal Alun-alun dan Tegal Brungbung, mengitari gunung yang tingginya 2.665 meter di atas permukaan laut itu.
Namun keheningan itu ternoda ketika Selasa pekan lalu Papandayan menggeliat dan meregang. Kawah Manuk bergolak dan mengguncang bumi hingga radius 1 kilometer. Kawah itu menyemburkan pasir dan kerikil bercampur debu setinggi 500 meter yang kemudian terlontar hingga radius 1 kilometer. Beberapa wisatawan yang berada di sekitar kawah pun tunggang-langgang melarikan diri. Lima desa langsung kosong ditinggalkan penduduknya yang mengungsi.
Sekitar 7.000 pengungsi memadati tempat-tempat penampungan, baik di masjid maupun di sekolah. Wabah penyakit segera menampakkan dirinya. Menurut catatan Dinas Kesehatan Garut, sekitar 500 orang sudah terjangkit diare, dengan korban terbesar di kalangan anak-anak.
Letusan itu juga menumpahkan lahar dingin ke aliran Sungai Cibeureum dan Cimanuk. Aliran yang bermuatan lahar itu lalu menerjang rintangan di sekitarnya. Tercatat 13 rumah, satu sekolah, dan dua surau hancur terendam lumpur. Dua jembatan patah berantakan. Lahar juga menelan sekitar 60 hektare sawah dan ratusan ternak.
Aksi Gunung Papandayan kali ini di luar perkiraan. September lalu, Direktur Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Ade Djumarna, melansir bahwa ada tujuh gunung api di Indonesia yang meningkat dari status aktif normal menjadi waspada, yakni Gunung Kerinci, Krakatau, Tangkuban Perahu, Ijen, Semeru, Karangetang, dan Gunung Lokon. Itu berarti Gunung Papandayan dan 121 gunung api lainnya berada dalam kondisi aktif normal.
Nah, prakiraan itu rupanya tidak memperhitungkan sinyal-sinyal dari Papandayan. Sebelum terjadi letusan, misalnya, data seismograf dari pos pengamatan yang berada di Pusparendeng mencatat adanya peningkatan gempa vulkanis selama 2 minggu terakhir. Bahkan letusannya didahului gempa sebanyak 60 kali.
Bandingkanlah ulah Papandayan ini dengan Gunung Merapi. "Batuk" Merapi tidak selalu didahului gempa. Saat Merapi meletus pada tahun 2001, misalnya, guncangan gempanya hanya sedikit. Itu lain dengan letusan pada 1998, yang diawali dengan banyak gempa. "Setiap kejadian tidak bisa disamaratakan," kata Ratdomo Purbo, Ketua Balai Pengembangan dan Penyelidikan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta.
Tapi, entah mengapa, frekuensi gempa di Gunung Papandayan tidak diantisipasi lebih awal. Tidak ada pengumuman agar masyarakat waspada. Bahkan, setelah Papandayan meletus, Ade Djumarna tetap berkukuh bahwa banjir lahar berasal dari jebolnya dinding Kawah Manuk. Maksudnya, barangkali, banjir itu bukan disebabkan oleh letusan. Barulah keesokan harinya keterangan itu diralat dan ia mengakui bahwa Papandayan telah meletus.
Reaksi Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang lambat menimbulkan panik dan melipatgandakan jumlah pengungsi. Maklum, mereka belum biasa menghadapi bencana seperti ini karena, sejak letusan kecil pada 1940, Papandayan tidak pernah bertingkah sampai Selasa, 12 November lalu. Akibatnya, "Yang mengungsi terlalu banyak," kata Eko Teguh Paripurno, Ketua Kappala, lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi warga untuk menghadapi letusan Merapi.
Seharusnya, warga yang tinggal dalam radius 500 meter hingga 1 kilometer rajin balik ke rumahnya untuk membersihkan pasir dan debu yang menumpuk gara-gara letusan. Tindakan ini perlu agar debu dan pasir tidak membebani genting yang bisa mengakibatkan rumah rubuh. Sedangkan warga yang rumahnya berada pada radius 2,5 kilometer tidak perlu mengungsi dan rumahnya pun bebas dari semburan pasir debu.
Warga yang harus mengungsi adalah warga di sekitar aliran Sungai Cibeureum. Soalnya, sungai itu akan membawa lumpur dari material letusan yang akan memporak-porandakan rumah di kedua tepinya. Namun Eko menduga bencana itu bisa diminimalkan karena masyarakat Garut akan menambang pasir hasil letusan itu.
Memang, lain gunung lain rezeki. Bencana seperti yang terjadi di Papandayan justru diidam-idamkan oleh warga sekitar Merapi. Mereka berharap Merapi batuk-batuk dan pasirnya bisa diangkut ke kota. Setiap tahun, 6,7 juta meter kubik pasir dikeruk dari Merapi. Padahal Merapi hanya memuntahkan pasir 2 juta meter kubik. "Kok, rumah tawon (semburan pasir) tidak jugrug (jatuh) di sini," kata Eko mengutip harapan warga Merapi.
Apakah setelah bencana, Papandayan membawa anugerah untuk warga yang hidup di sekitarnya? Semburan pasir memastikan hal itu, di samping tentu saja panorama yang elok dan keheningan yang menyejukkan.
Agus S. Riyanto, Rinny Srihartini, Upiek Supriyatun (Garut)
Letusan Gunung Papandayan 11-12 Agustus 1772
11 Maret 1923
25 Januari 1924
16 Desember 1924
1926 dan 1927
1940
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo