PERANG belum meletus di wilayah ~Teluk, tapi tanda-tanda damai pun ~belum pernah nampak, sampai pekan ini. Tak kurang dari satu juta pasukan Irak yang diperkuat dengan 5.500 tank dan ribuan artileri berat, pesawat tempur, serta ratusan roket berbagai jenis, siap berjihad menghadapi kekuatan angkatan perang 25 negara yang mendukung Arab Saudi. Sementara itu, di kawasan Arab Saudi, kurang dari 300 ribu tentara, yang tergabung dalam pasukan multinasional, bersembunyi di balik kantung-kantung pasir sembari mengguyur badannya dengan air minum. Pasukan gabungan yang terdiri dari tentara AS, Inggris, dan Prancis itu, ditambah dengan 10 ribu pasukan dari negara Teluk sendiri, serta hanya 55 ribu pasukan Arab Saudi, siap menghadang dengan persenjataan modern. Untuk menjaga keamanan wilayah negara yang luasnya 2.240.000 km2 itu, Arab Saudi hanya mempunyai 65.700 personel. Dari jumlah itu pun, tak semuanya dianggap mampu maju ke medan perang Karena lebih dari 45.000 di antaranya digunakan hanya sebagai tentara pengawal kerajaan Arab Saudi. Seharusnya, kata ahli-ahli Pentagon "negara itu sedikitnya memiliki 100.000 tentara." Malahan, dari data yang dihimpun harian The Daily Telegraph, London, tahun 1983, Arab Saudi sama sekali tak punya pasukan komando. Benar negeri itu sudah punya 150 pesawat tempur, mulai dari pesawat jet F-15, Mirage dari berbagai model, dan perlengkapan militer lain buatan Jerman Barat. Tapi di laut, Arab Saudi cuma punya kapal perang tiga biji. Tak mengherankan bila Arab Saudi kelabakan, tatkala menghadapi krisis Teluk tahun 1984, ketika Perang Iran-Irak pecah sehingga terpaksa membeli perlengkapan tempur berikut fasilitas latihan militernya dari Prancis, Brasil, dan AS. Inggris, misalnya, memasok lebih dari seratus pesawat tempur berbagai jenis pada 1986, yang sebagian besar dibayar dengan minyak. Pembelian 5 pesawat AWACS dari AS senilai US$ 8.600 juta pun disepakati pada tahun sama. Sementara itu, kekhawatiran akan ancaman rudal Israel menyebabkan Arab Saudi membeli rudal jarak menengah dari RRC, 1988. Tapi akibatnya, karena protes dari AS, kontrak pembelian senjata senilai US$ 1 milyar dari AS terpaksa dibatalkan. Dan Arab Saudi pun merangkul Inggris, yang membuahkan kesepakatan pembelian pesawat tempur, helikopter, penyapu ranjau, dan pembangunan dua pangkalan udara senilai US$ 20 milyar. Pada pertengahan tahun lalu, Prancis pun ikut menjual rudal darat ke udara dan dua kapal fregat pengangkut helikopternya. Kini, menghadapi ancaman Saddam Hussein, Pemerintah Arab Saudi merasa perlu menambah peralatan militernya lagi dari AS. Sayangnya, dari Washington dikabarkan bahwa rencana AS untuk menjual perlengkapan militernya dengan total nilai US$ 21 milyar masih belum bisa diluluskan Kongres AS. Padahal, kalau terealisasi, ini merupakan penjualan senjata terbesar dalam sejarah AS. Bukan karena cuma jumlah harganya, juga jumlah persenjataannya. Pihak Pentagon sendiri, dalam usulannya, berharap pemerintahnya akan mengirimkan ratusan tank jenis M-1A2, ratusan kendaraan tempur Bradley, dan sebuah kapal komando berisi peralatan komputer dan komunikasi, ke Arab Saudi. Bahkan kementerian pertahanan AS itu mendesak agar puluhan helikopter Apache sudah bisa dikirim dalam setahun mendatang ini, termasuk sejumlah sistem rudal pertahanan udara Patriot dan sejumlah sistem pelontar roket Multiple yang tak dipesan Arab Saudi. Keunikan alat-alat perang yang butuh waktu pengiriman cukup lama inilah yang menyebabkan banyak kritik disuarakan dari Capitol Hills. Senator Alan Cranston dari California melontarkan kritiknya dengan mengatakan, semakin lama masa pengiriman alat-alat perang yang dibutuhkan Arab Saudi, semakin lama krisis di wilayah Teluk berlangsung. "Artinya, krisis Irak tak bakal selesai dalam tiga tahun mendatang, dan tentara AS makin lama tinggal di gurun yang menyengat itu," katanya. Pihak Gedung Putih sendiri pekan lalu meminta agar Kongres secepatnya menyetujui dulu paket pertama "peralatan perang sementara untuk menangkal invasi Irak". Selanjutnya, pada paket kedua nanti --antara lain 24 pesawat jet F-15--bisa dikirim pada Januari nanti. Kongres AS sebenarnya tak punya waktu panjang untuk menentukan keputusannya. Karena bila Kongres tak menyetujui, "Pemerintah Arab Saudi akan berpaling ke negara lain," tutur wakil AS di Arab Saudi Fred Dutton. Orang-orang Arab, tambahnya, tak mengerti kenapa tak bisa membeli senjata dengan uang kontan, "sementara Israel boleh membeli dengan kredit, karena tak punya duit". D~~~~~~jafar Bushiri (Kairo) dan Didi P. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini