TUDINGAN bahwa jatuhnya harga saham di bursa, gara-gara PER (price e~rning ratio) yang terlalu tinggi, agaknya, tidaklah tepat benar. Coba perhatikan saham PT Inco. Setelah go public, total saham Inco berjumlah 248.408.468 lembar. Laba bersih yang diraih perusahaan penambang nikel di Soroako (Sulawesi) itu pada tahun 1989 tercatat US$ 181,55 juta atau sekitar Rp 327 milyar. Dengan demikian, setiap lembar saham meraih laba rata-rata 1.316. Di pasar perdana, April 1990, saham Inco ditawarkan dengan harga Rp 9.800 per lembar. Berarti PER-nya (perbandingan harga dan laba per saham) cuma sekitar 7,44 (9.800 dibagi 1.316). Jelas sangat rendah dibandingkan P~ER saham-saham lain yang waktu itu rata~-rata berkisar di atas 20. Anehnya, begitu saham Inco mulai diperdagangkan pertengahan Mei silam, harganya jatuh di bawah harga perdana. Bahkan Kamis lalu sudah amblas sampai Rp 5.~00 per lembar -- tinggal 53~ dari harga perdana. Maka, PER saham Inco menjadi kian rendah (cuma sekitar 4). Bagaimar~a hal ini bisa terjadi? Para investor asing konon mula-mula bin~gung~, tapi lama-lama mereka tertawa. Menurut sumber TEMPO dari kalangan pialang, saham itu jatuh mula-mula karena ada investor lokal yang memesan banyak tapi uangnya kurang. Merek~a mem~beli dengan p~embayaran margin 10%~. Misalnya mereka membeli 10.000 lembar, tapi cukup menyetor uang kepada pialang senilai 10%. Maklum, waktu itu saham sering dijatah, kadang-kadang pesan 10.000 cuma dapat 100 - 500 lembar. Menurut Yannes Naibaho, Direktur Eksekutif PT Danareksa, yang bertindak seb~agai le~ad un~derwrite~r Inco, pesanan ternyata melebihi pasokan alias oversubscribed, baik dari investor asing maupun dari invest~or lokal. Saham Inco yang dijual berjumlah 49,6 juta, tapi pihak asing cuma diberi sekitar ~30%. Dengan demikian, investor asing akan memburu jatah yang 19~% lagi di bur~sa. Ternyata, pa~ra ~ investor lokal banyak yang kaget~ karena pesanan mereka dipenuhi. Ada investor di Surabaya yang kono memesan 10.000 (nilai Rp 98 juta), semetara uangnya tak sampai sebanyak itu. Ia kemudian menyuruh pialangnya segera m~~e~lepas ~saham itu menurut harga pasar. Padahal, pasar ternyata ~s~edang dipermainkan orang. Para investor kakap yang telah memesan dalam pecahan 100 ingin membaliknamakan saham-sahamnya atas nama sendiri. Untuk itu mereka harus me~buat transaksi seakan-akan jual dan beli kembali lewat bursa. Merekalah yang kemudian berusaha menekan harga pasar, untuk mengurangi biaya balik nama. ~Jelasnya, untuk setiap transaksi jual atau beli mereka harus membayar 1% fee untuk pialang, satu permil (0,001) untuk Bapepam. Semua langkah itu dilakukan menjelang tanggal 25 Oktnber 1990, di saat PT Inco akan membagikan dividen 37 sen dolar atau Rp 690,05 untuk setiap lembar saham. Kebetulan pula, Inco melaporkan bahwa satu dari tiga tanurnya meledak pada 31 Agustus lalu. Akibatnya, target produksi Inco tahun 1990-1991 sebanyak 36.300 ton mungkin hanya akan tercapai sekitar 87,6~. Informasi itu rupanya telah didramatisir di bursa sehingga banyak pemegang yang melepaskan sahamnya -- tentu dengan merugi. Tapi, orang dalam Inco yakin bahwa perusahaannya tidak akan merugi. Alasannya, harga nikel di bursa logam London (LME) dalam lima bulan terakhir (Mei-September) telah naik sekitar 30,4% menjadi US$ 5.0349 per pon. "Jika harga bisa bertahan sampai tiga bulan lagi, bukan tidak mungkin dividen akhir akan lebih dari 15 sen dolar per saham," kata seorang direktur Inco. Kecuali tentu kalau terjadi resesi dunia. Namun, kalau peran~g meletus, diperkirakan permintaan akan nikel -- yang banyak dipakai untuk mesin-mesin perang -- tentu meningkat. Tak mengherankan jika harga saham Inco International Ltd. di bursa New York (Wall Street), dalam enam bulan terakhir, naik dari US$ 25 menjadi sekitar US$ 28 per lembar. Kendati belakangan ini harga saham di dunia cenderung turun, saham Inco di Wall Street Kamis lalu ternyata cuma melemah 1/8 sen dolar. Sementara itu, Inco International tampaknya tak berusaha mendongkrak harga saham Inco di Jakarta. Bahkan apa saja yang terjadi dalam perusahaan dengan cepat diinformasikan kepada peme~gang saham sebelum bocor di pers. Misalnya peristiwa ledakan tanur II dilaporkan kepada pemegang saham seminggu kemudian, sebelum berita itu muncul di koran pada pertengahan September. "Kita lihat saja nanti, apakah saham Inco tidak akan menjadi kuat seperti saham Unilever," kata seorang pejabat Inco. MW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini