EKONOMI dunia sekarang bagaikan kereta api, yang tengah meluncur ke satu tempat di mana dia akan terguling. Ini gambaran yang agak sopan. Tapi majalah The Economist, misalnya, menampilkan ekonomi dunia itu ibarat sederet gerbong jet coaster yang sedang berada di ketinggian, dan siap meluncur ke lekukan yang amat terjal. Dan di bawah sana, ada orang Arab yang sengaja menuangkan minyak. Konsekuensinya tak bisa lain: licin dan terguling. Dan berba~gai pro~ram yan~g diangkutnya akan berantakan. Skenario buruk ini membayangi sidang tahunan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang berlangsung di Washington pekan lalu. Para analis ekonomi sama-sama berpendapat bahwa harga minyak yang sekarang sudah berkisar US$ 40 per barel diduga akan melonjak ke US$ 65 per barel. Dan itu akan terjadi jika Presiden AS George Bush dan Presiden Irak Saddam Hussein meniup sangkakala perang padang pasir. Kalau saja malapetaka itu terjadi, ekonomi dunia pasti kacau. Dalam sidang IMF pekan lalu, disebut-sebut bahwa mungkin cuma 12 negara yang akan mampu menghadapinya. Pada saat bersamaan, tabun~gan negara-negara maju seperti AS, Jepang, Jerman, Inggris, Prancis, dan Italia akan menyusut. Mereka bahkan akan mengurangi investasi di luar negeri. Dan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, Asian Development Bank (ADB) tentu saja akan mengalami kesulitan dalam mengerahkan dana. Jika hal itu terjadi, dampaknya tentu dirasakan juga oleh Indonesia. Seperti diketahui, Bank Dunia dan ADB merupakan dua lembaga keuangan pemberi pinjaman terbesar di IGGI. Begitu pula negara-negara maju seperti Jepang, AS, Prancis, Kanada, dan Belanda. Semua akan mengerem penyaluran modalnya ke luar negeri. Jika duel padang pasir itu memang akan terjadi, situasi ekonomi dunia diperkirakan akan jauh lebih~ buruk daripada dampak oil shock pada 1979. Waktu itu banyak negara berkembang tergelincir di jurang kebangkrutan. Akankah resesi dunia berulang? Dalam perhitungan IMF, hal yang menakutkan itu belum akan terjadi. Resesi terjadi, menurut kesepakatan para pakar ekonomi dunia, bila pertumbuhan ekonomi di suatu negara tercatat negatif selama dua triwulan berturut-turut. Dalam perhitungan IMF ekonomi di tujuh negara industri terkemuka (AS, Jepang, Jerman Barat, Prancis, Italia, Inggris, dan Kanada) masih akan tumbuh. Cuma roda itu tidak akan berputar selaju tahun lalu. Pada 1989, laju ekonomi mereka tercatat 4,1%, sedangkan untuk tahun 1990 ini diduga cuma 2,6%. Ekonomi AS memang sudah menampakkan gejala mendekati resesi. GNP/GDP-nya secara riil tahun 1990 ini, menurut forkas IMF, cuma akan tumbuh sekitar 1,3~%. Kanada diperkirakan mencatat laju pertumbuhan sekitar 1,1~% . Tetapi ekonomi Jepang diperkirakan melaju sekitar 5,1%, dan Jerman Barat sekitar 3,9% (lihat tabel). Perhitungan itu dibuat atas patokan harga minyak sekitar US$ 29 per barel. Sedangkan harga minyak tahun depan diperkirakan turun ke US$ 21 per barel. Agaknya harga inilah yang sementara ini akan menjadi patokan Bappenas dalam penyusunan RAPBN tahun 1991-1992. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, yang ikut dalam sidang WB/IMF, menegaskan bahwa Indonesia tidak mendukung harga minyak yang setinggi sekarang (sekitar US$ 40 per barel). Kenaikan harga minyak yang gila-gilaan, menurut Sumarlin, dapat mendorong negara-negara industri terbelit resesi, sedangkan negara-negara berkembang terperangkap dalam beban utang dan masalah-masalah perdagangan. "Apalagi dewasa ini konsumsi minyak oleh negara-negara berkembang sudah semakin besar kini sekitar 28%, sedangkan pada 1973 cuma 18%. Sekarang pun, kenaikan harga minyak itu sudah memberatkan sejumlah negara berkembang. Sementara itu, Indonesia agaknya tidak akan mengalami masalah besar. Iwan Jaya Azis, pengamat ekonomi dari UI, memperkirakan ekonomi kita tidak akan merasakan resesi. "Andaipun AS mengalami resesi, Indonesia tidak akan kena," kata Iwan. Untuk itu ada tiga alasan. Pertama, Indonesia masih bisa mengekspor minyak. Kedua pasar nonmigas Indonesia sudah berkembang dan terarah ke berbagai negara. Ketiga, pertumbuhan ekonomi Jepang kuat sekali. Iwan berpendapat bahwa situasi dewasa ini akan kurang lebih sama seperti ketika harga minyak naik tahun 1974 dan tahun 1980. Waktu itu terjadi resesi di AS tetapi dampaknya tidak terasa di sini. Perlu dicatat juga, daya beli beberapa negara maju agaknya belum akan merosot. Jepang, misalnya. Menurut First Secretary Commercial Tetsuo Yamashita dari Kedubes Jepang di Jakarta, naiknya harga minyak belum akan menghambat perkembangan ekonomi Jepang. Bahkan dalam jangka pendek, diperkirakan konsumsi Jepang akan baik lantaran meningkatnya upah buruh dan perluasan penanaman modal. Cuma permintaan impor Jepang mungkin menyusut sekitar 0,5%. Namun, Dr. Hadi Soesastro, pengamat ekonomi dari CSIS, berpendapat bahwa Indonesia mestinya lebih berhati-hati. Kekhawatiran akan perang bisa menyebabkan berkurangnya investasi di AS hingga menyebabkan laju pertumbuhan ekonominya tipis. Sementara itu, tingkat pengangguran di sana sudah berkisar 9% -- cukup tinggi dibandingkan Inggris yang 5%, dan Jepang yang cuma 2,3%. Jika ekonomi AS mengalami sta~gnasi -- hal itu ditandai dengan tingkat pengangguran yang tinggi -- maka dampaknya akan terasa juga. Apalagi kalau terjadi perang Teluk. Defisit perdagangan AS akan bertambah, utang pemerintah AS juga menggelembung, dan akibatnya nilai dolar melemah. Hal itu tentu akan berdampak negatif pada ekspor Indonesia yang dijual dalam dolar. Karena itu, Hadi berpendapat, dewasa ini "nafsu untuk melakukan ekspansi pabrik sebaiknya direm dulu". Jika dolar juga melemah, beban utang Indonesia dalam valuta nondolar (seperti yen, sterling, dan DM) tentu bertambah berat. Belum beban utang komersial yang belakangan banyak dibikin bank-bank swasta. Tak mengherankan jika dalam sidang WB dan IMF di Washington pekan lalu, soal utang Indonesia yang US$ 50 milyar itu disebut-sebut sebagai posisi yang cukup rawan. Max Wangkar, Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini