Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Buah si malakama bagi sebuah surga

Pemerintahan sementara terbentuk di fiji. letkol sitiveni rabuka membentuk dewan penasihat beranggotakan 19 orang sambil menunggu pemilu. bagaimana mengatur hubungan antarras jadi masalah rumit.

30 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISAKAH Fiji kembali tenang, seperti dulu, dengan ombak Lautan Teduh dan nyiur yang menanti turis tiap hari? Setelah pergolakan politik yang mengejutkan dunia, didahului dengan usaha kudeta, akhir pekan lalu Ibu Kota Suva tampak pulih aman kembali. Toko-toko kembali membuka pintu mereka. Namun, di bawah permukaan, kecemasan belum lenyap. Juga ketegangan. Kebanyakan perusahaan jasa dan bank masih belum berani beroperasi. Perebutan kekuasaan oleh sekelompok anggota militer yang dipimpin Letnan Kolonel Sitiveni Rabuka dua pekan silam memang sempat menghentikan segala kegiatan. Lebih dari itu, aksi tersebut juga menyadarkan banyak pihak bahwa negeri kecil (berpenduduk 715 ribu jiwa) di tengah Samudra Pasifik ini bukannya tak punya problem yang gawat: rusaknya hubungan antara penduduk pribumi dan keturunan India yang telah beberapa generasi lahir dan hidup di sana (lihat Kebangkitan Girmityas). Hubungan yang rusak itu pula yang melatarbelakangi kudeta Rabuka. Tentara menyatakan tindakannya adalah untuk "menenteramkan kerusuhan rasial", tapi ketahuan dengan segera: tentara Fiji, sebagian besar orang pribumi, tak puas dengan hasil pemilihan umum dan kabinet baru yang terbentuk, yang sebagian besar menampakkan wajah keturunan India. Ketika konflik politik terjadi, yang seakan menunjukkan sahnya alasan Rabuka, anak-anak muda pribumi pun turun ke jalan, dan terjadilah bentrokan antara penduduk asli dan warga keturunan India. Catatan pihak berwajib menyebut-nyebut 5 orang korban jatuh pada kerusuhan amis pekan lalu itu. Tak jelas adakah yang kehilangan jiwa di antaranya. Tetapi, yang pasti, semua korban adalah keturunan India. Sementara itu, sekelompok orang-orang Fiji yang bermukim di Melbourne pekan lalu berkumpul di alunalun kota. Sambil meneriakkan, "CIA out . . . CIA out," mereka menuntut dikembalikannya proses demokrasi di negara asal mereka. Tetapi dalam wawancara radio, PM Australia Bob Hawke menyangkal adanya indikasi terlibatnya Dinas Rahasia Amerika dalam usaha perebutan kudeta di Fiji itu. Kekisruhan di Fiji masih lagi diwarnai usaha pembajakan Boeing 747 Air New Zealand diBandara Nadi, 120 km sebelah barat Suva. Pelakunya dikenal sebagai Ahmed Ali, staf bandara keturunan India. Dengan membawa delapan batang dinamit, ia menuntut pembebasan PM Bavadra. Kabarnya, ia minta suaka ke Libya. Sayang, niatnya tak kesampaian karena awak pesawat berhasil menggagalkannya . Berbagai peristiwa itu terjadi justru ketika Gubernur Jenderal Ratu Sir Penaia Ganilau sedang mengadakan pertemuan dengan oewan Kepala Suku untuk membahas kelanjutan pemerintahan di Fiji sehabis kudeta. Dewan itu secara konstitusional tidak punya hak apa pun. Meski begitu, lembaga yang beranggotakan 200 kepala uku ini memiliki kekuasaan tradisional yang meliputi seluruh Fiji. Dewan Kpala Suku inilah yang telah menjembatani kekisruhan antarpemimpin di Fiji. Keributan terjadi sesaat setelah Rabuka mengangkat diri menjadi kepala pemerintahan. Tindakan ini ternyata tak mendapat dukungan dari Penaia Ganilau. Bahkan, Sang Gubernur Jenderal yang, sesuai dengan wewenangnya, mengatasnamakan Ratu Inggris sebagai kepala negara segera membubarkan parlemen dan mengangkat dirinya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Cukup membingungkan, memang: negara yang tak lebih bagai noktah di samudra ini dinakodai oleh dua orang. Maka, bersidanglah Dewan Kepala Suku, Rabu minggu lalu. Menurut beberapa kalangan, Dewan siap menjatuhkan mosi tak percaya terhadap Ganilau. Juga, para kepala suku (tentu saja pribumi) mendukung penuh tindakan Rabuka. Faktor inilah agaknya yang memperlemah posisi Ganilau. Apalagi tersiar kabar bahwa Ratu Elizabeth dari Inggris berusaha menegakkan wibawa pembawa kuasanya di Fiji, hingga Ganilau terkesan sebagai antek asing, meskipun dia juga Fiji asli. Karena itu, tidak heran jika akhirnya Ganilau terpaksa berkompromi dengan Rabuka. Ini jalan terakhir untuk menghindari perpecahan di kalangan penduduk asli Fiji. Sekalipun tidak tertutup kemungkinan ia kelak didongkel dari jabatannya - seperti halnya PM Bavadra. Sementara itu, kalangan internasional berlomba-lomba mengutuk kudeta Rabuka dengan bermacam alasan. Pihak Barat Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru -- menganggap perebutan kekuasaan tadi hal yang sangat ditabukan dalam tatanan demokrasi yang mereka kenal. Ditinjau dari kaca mata negara-negara Pasifik, sikap pihak Barat cukup mencemaskan. Mereka khawatir adanya "campur tangan pihak luar". Karena itulah, tiga pemimpin negara-negara Melanesian Spearhead Group (PM Paias Wingti, Papua Nugini PM Ezekiel Alebua, Solomon Deputi PM Sethy Regenyanu, Vanuatu) bertemu akhir pekan lalu di Rabaul, Papua Nugini, untuk membahas masalah tersebut. Secara terbuka disebutkan pihak luar yang mereka maksudkan adalah Australia dan Selandia Baru. Kendati demikian, dukungan Inggris terhadap Ganilau tidak juga memperkuat posisinya di dalam negeri. Dari kompromi ini, Rabuka bisa membentuk pemerintahan sementara yang akan dijalankan oleh Dewan Penasihat yang beranggotakan 19 orang, sambll menunggu pemilu, selambatnya dalam tempo enam bulan mendatang. Dalam Dewan itu, bekas PM Bavadra tercatat sebagai anggota. Tak jelas apakah ia bersedia dicalonkan atau tidak. Dengan dilantiknya Dewan Penasihat, krisis kepemimpinan bisa terselesaikan sementara. Yang pasti, Fiji tak menjurus ke cara radikal. Soalnya, ada gagasan untuk mendirikan sebuah republik, yang terpisah dari Inggris - sebuah kerajaan jauh di utara yang selama ini mengatur kehidupan di pulau itu. Reaksi London terhadap kudeta Rabuka dianggap tidak mencerminkan pengertian Inggris terhadap nasib dan kepentingan pribumi Fiji. Masih ada masalah lain - yang justru pokok - yang sulit dipecahkan: bagaimana mengatur hubungan dengan warga keturunan India yang jumlahnya sudah mendesak orang Fiji asli. Pada tahap pertama sidang Dewan Kepala Suku sepakat untuk menyisihkan peranan keturunan India di panggung politik. Rabuka juga begitu. Dan konstitusi baru nanti akan mengatur hal itu. Namun, jika demokrasi ditafsirkan sebagai realisasi suara rakyat terbanyak, rr.aka hak-hak warga keturunan India - yang jumlahnya sedikit lebih banyak - mau tidak mau harus diperhatikan. Kalau tidak, diskriminasi rasial akan sulit dihindari. Mereka akan dipaksa jadi paria kembali, seperti dulu ketika nenek moyang mereka datang sebagai Fiji pun mau tak mau menghadapi sebiji buah si malakama, yang selama ini tersembunyi di tengah ketenteraman dunia kecil yang oleh orang Barat disebut "surga". Mungkin yang tersisa nanti sebuah surga yang hilang. James P. Lapian, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo) & Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus