DULU mereka buruh, kinimajikan. Perjuangan berat telah mengantarkan pendatang India ke posisi menentukan di sana, terutama di sektor jasa dan perdagangan. Catatan selarah menunjukkan, mereka sudah menyeberang ke pulau di tengah Lautan Pasifik itu sejak tahun 1879. Mereka terbujuk tawaran agen perkebunan tebu kepunyaan Inggris CSR (Colonial Sugar Refining) untuk menjadi girmityas, kuli kontrak, selama lima tahun. Selain diiming-imingi bayaran tinggi, pada mereka dibuka kesempatan pulang ke India atas biaya perusahaan - asal mereka bersedia memperpanjang kontrak lima tahun lagi. Tetapi kenyataan di Fiji tak sama dengan impian. Mereka benar-benar kuli kontrak: bayaran rendah untuk kerja berat, dan tanpa fasilitas. Penderitaan jasmani ini dibayang-bayangi penderitaan rohani. Di Fiji, mereka dicampurbaurkan dengan para pendatang asal India dan bermacam kasta hal yang sangat ditabukan di tempat asal mereka, Punyab dan India Selatan. Di sisi lain, kaum pendatang beserban ini harus pula menghadapi sikap tak bersahabat penduduk asli. Pribumi Fiji menuding mereka sebagai penyerobot tanah. Sebaliknya, orang India menganggap penduduk asli sebagai insan tak berbudaya. Pemasukan buruh India -- berlangsung 40 tahun -- berdasarkan atas persetujuan antara pemerintah kolonial Inggris, India, dan Fiji (perjanjian ini dibatalkan secara sepihak oleh India tahun 1920). Tidak pernah ada perlindungan politis bagi pendatang India dan konstitusi 1904, misalnya, sama sekali tidak memberikan hak apa pun kepada mereka. Padahal, jumlah pendatang ini semakin banyak, apalagi ditambah para pedagang asal Gularat. Tidak heran kalau akhirnya mereka mulai "menyusun kekuatan". Ada yang melancarkan berbagai agitasi yang memuncak pada aksi mogok besar-besaran di tahun 1920 dan 1921. Pemogokan membawa hasil. CSR kemudim mencoba menerapkan sistem semacam PIR (perkebunan inti rakyat). Para buruh "dipinjami" sebidang tanah untuk mereka olah, dan hasilnya dijual ke CSR. Tapi perbaikan nasib itu ternyata tidak memperbaiki status sosial mereka. Keinginan untuk pada suatu waktu memiliki tanah sendiri tak pernah terpenuhi. Kesenjangan ini sangat terasa ketika, pada tahun 1963, pribumi Fiji untuk pertama kali berhak memiliki tanah secara sah. Warga India ebaliknya tak mendapat apa pun (pribumi Fiji, 330.000 orang = 46,2%, pendatang India 347.000 orang = 48,6%). "Ketidakadilan" ini berlanjut hingga Fiji memperoleh kemerdekaannya, 1970. Tiga perempat tanah di Fiji diperuntukkan pribumi. Sisanya adalah tanah bebas yang menjadi "rebutan" berbagai ras di Fiji: India, Cina, Eropa. Sejauh ini proses asimilasi antara pendatang dan penduduk asli berjalan sangat lambat. Bahhan nyaris tak ada. "Kebiasaan, cara, dan pandangan hidup kami sangat berbeda. Akibatnya, tak mudah bagi kami untuk bersama membangun sebuah rumah tangga. Kalaupun ada yang kawin antarras, biasanya salah satu harus meninggalkan lingkungan asalnya," kata Singh Simadri, seorang Fiji keturunan India yang kini bermukim di Australia. J.R.L, Laporan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini