DENGAN disertai peringatan "menimbulkan pertentangan adalah salah satu dosa besar ..." Pemimpin Revolusi Iran Ayatullah Ruholiah Khomeini membubarkan partai politik satu-satunya di Iran. Partai Republik Islam (IRP), Selasa pekan lalu. Pembubaran IRP itu didahului oleh sebuah surat yang dikirimkan Presiden Iran Ali Khamenei dan Sekjen IRP Hashemi Rafsanjani kepada Khomeini. Surat pemberitahuan itu kemudian disusul oleh sebuah pernyataan resmi yang berbunyi, "Kini Republik Islam Iran sudah mapan. Tak ada lagi masalah besar yang timbul. Sebaliknya, kini, kegiatan partai justru tak selaras lagi bahkan bisa memecah-belah kesatuan rakyat". Pernyataan itu terlihat menggambarkan perubahan situasi politik Iran sejak 1979 hingga kini. Sejumlah perbedaan di tubuh IRP - yang sekaligus bergema di parlemen, pemerintahan, dan badan yudikatif - yang selama ini tak menonjol, sekarang mencuat ke permukaan. Akhir-akhir ini, IRP memang dapat dikatakan sudah porak-poranda. Bukannya disebabkan ancaman dari luar melainkan dari tubuh IRP sendiri. Partai yang merupakan koalisi kelompok radikal dan konservatif itu, seperti dikatakan Rafsanjani, "tak bisa lagi bekerja sama." Kontroversi yang selalu menjadi masalah -antara lain soal perdagangan luar negeri, proteksi bagi sektor swasta, dan landreform --menuntut perlunya campur tangan pemerintah. Karena itu, tambah Rafsanjani, ke giatan partai perlu dihentikan, "sehingga setiap perbedaan bisa teredam." IRP, yang didirikan setelah pemerintahan monarki Syah Iran tumbang pada 1979, mulanya memang memikat hati hampir setiap warga Iran. Partai yang semula didirikan pendukung Khomeini - dengan bantuan keuangan dari Khomeini sendiri - berhasil menyatukan ribuan kelompok kecil yang berbeda motif dan tujuan. "Semua koran di tangan kaum kiri. Aspirasi Islam hanya tersalurkan lewat IRP dan korannya," kata Hojatolislam Rafsanjani, salah seorang pen dirinya. "Tanpa IRP kita tak dapat mendiri kan Republik Islam ini," tutur Ali Khamenei. Ketenaran IRP mencapai puncaknya ketika semua calon parpol ini - terdiri dari para mullah - berhasil duduk di parleme pada pemilihan yang diselenggarakan Agus tus 1979. Kelompok liberal-nasionalis non mullah mulai tersisih, meski, waktu itu, yang ditunjuk Khomeini sebagai perdana menteri adalah tokoh sayap ini, Mehdi Bazargan. Pertentangan politik antara mullah dan kelompok liberal bermula dengan peristiwa pendudukan Kedubes AS di Teheran oleh mahasiswa Iran pada 1979. Kelompok liberal tak merestui tindakan ini, karena mereka anggap "kurang simpatik". Sebaliknya, tindakan mahasiswa itu didukung penuh oleh kelompok radikal, yang sedang mabuk semangat antiimperialisme. Kelompok radikal semakin berkuasa ketika sebagian pengikut kelompok oposisi, yang terbagi di bawah pengaruh Bani Sadr dan Massoud Rajavi, lari ke luar Iran. Lalu ledakan bom di markas besar IRP, yang menewaskan 27 anggota parlemen dan Sekjen IRP Ayatullah Beheshti pada 1981, ikut mewarnai kericuhan politik di dalam negeri. Pada 1983, sisa kaum oposisi yang tergabung dalam kelompok Liberal akhirnya pun keluar dari parlemen. Ali Khamenei kemudian menduduki kursi kepresidenan, sementara Musavi, editor koran IRP, ditunjuk sebagai perdana menteri. Kini IRP bubar sudah. Lalu, bagaimana menyelesaikan masalah-masalah fundamental di kalangan para pejabat tinggi Iran? Pekan lalu, Rafsanjani dikabarkan mengunjungi Khomeini. Tak dirinci apa yang mereka bicarakan. Ia menyebut, berbagai masalah yang timbul adalah wajar. Karena Iran merupakan negara yang mendasarkan hukum Islam bagi semua aspek kehidupannya, maka "semuanya terpulang kepada Khomeini, sebagai pemimpin agama, sekaligus pemimpin politik yang penuh dengan inspirasi," kata Rafsanjani. Kini, semua orang menunggu reaksi dari sang imam, yang bisa jadi menimbulkan pengaruh luas di Iran. D.P., Laporan Sharif Imam Jomeb (Teheran)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini