SEBUAH bom ukuran kecil meledak dari bawah tempat duduk PM Rashid Karami, dan Puma itu terguncang-guncang lalu mendarat darurat di Lalat, utara Beirut. Tragedi yang terjadi Senin 2 Juni ini merupakan perjalanan terakhir bagi Karami, tokoh Suni dan PM Libanon, yang mengundurkan diri 4 Mei berselang. Ironisnya, hanya Karami seorang yang tewas, dari 13 penumpang yang rata-rata cedera, di antaranya Mendagri Abdullah al-Rassi. Kematian Karami, 66 tahun, menambah panjang daftar politikus Libanon yang tewas aklbat bubuk meslu. Sebelumnya, tercatat PM Riad Sohl (Muslim Suni, 1951), Kamal Jumblatt (pemimpin Druze, 1977), Toni Franjieh (anak bekas Presiden Sulaiman Franjieh, tokoh Maronit Kristen, 1978), dan Bashir Gemayel (presiden terpilih dari kelompok Kristen Falangis, 1982). Namun, baru kali ini kematian politikus diratapi oleh semua warga Libanon -- setidaknya setengah juta orang Islam dan Kristen - yang turun ke jalan-jalan di Tripoli pada hari pemakaman, Rabu silam. Ratusan ribu orang mengantar jenazah Karami ke pekuburan keluarga di Bab al-Raml di Tripoli. Mereka berteriak histeris, sementara peti mati diusung tinggi-tinggi, lonceng gereja berdentang keras, ayat Suci Alquran dan doa puji-pujian bergema. "Laillahaillallah" tak putus-putus dipekikkan. Tapi, dua hari kemudian, mereka melancarkan aksi mogok sebagai protes atas pembunuhan Karami. Jarang terjadi solidaritas seperu itu antara dua golongan yang selama ini terlibat perang saudara 12 tahun. Presiden Amin Gemayel menetapkan masa berkabung satu minggu, dan langsung menunjuk tokoh Suni lainnya, Menteri P & K Selim Hoss, sebagai pengganti Karami. Almarhum Abdul Rashid Karami secara selang-seling menjabat PM selama sembilan kali sejak 1955. Ia dikenal keras, tapi optimistis, penyabar, dan tahan bekerja, di bawah tekanan sekalipun. Keputusannya mengundurkan diri mungkin dimaksudkan sebagai terobosan untuk menembus kemacetan politik yang melanda pemerintah Libanon selama ini. Sudah lebih dari setahun kabinet yang dipimpinnya tak bersidang, sedang Karami bergabung dengan sejumlah tokoh Muslim Libanon dalam upaya mengucilkan Amin Gemayel. Tindakan sepihak ini dilakukannya setelah Presiden Gemayel menolak usul damai kaum Muslim (didukung Syria), Januari 1986. Karami selama ini tak menutup-nutupi persekutuannya dengan Syria, yang dianggapnya mampu menangani kericuhan di Libanon. Siapa otak pembunuhan Karami? Sulit melacaknya. Dua kelompok tak dikenal mengaku menaruh bom maut di helikopter. Salah satunya, konon, dari kelompok aliran Islam fundamentalis. Mereka dendam karena Karami mengundang pasukan Syria masuk ke Tripoli, Desember lalu, mengakibatkan sejumlah besar korban tewas, termasuk pemimpin golongan itu. Sementara itu, Nabih Berri, pemimpin Amal Syiah, menuduh Israel dan AB Libanon yang dipimpin Shamir Geagea--dari kelompok kanan Kristen - sebagai otak pembunuhan. Tuduhan serupa juga dilancarkan Syria, pemimpin kaum Druze Walid Jumblatt, dan Mendagri Rassi, seorang Kristen Ortodoks, yang duduk di sebelah Karami, ketika bom meledak. Israel dan AB Libanon menyangkal. "Omong kosong semua tuduhan itu," kata jur bicara AB Libanon. Sedang PM Israe Yitzhak Shamir angkat bicara, "Orang-orang Syria sebenarnya mengetahui, Israel tak punya sangkut paut dengan peristiwa itu." PM Selim Hoss menegaskan tekadny untuk meneruskan kebijaksanaan yang digariskan Karami, "sampai rembukan terjadi untuk menyelamatkan negara ini dari bahaya kehancuran total." la memang menghadap setumpuk masalah warisan Karami, antar. lain kegawatan ekonomi. Kebijaksanaan menaikkan harga kebutuhan dalam negeri belum memperlihatkan hasil memuaskan. Laju inflasi telah mencapai 200%. Segera setelah berita kematian Karami tersebar, warga Libanon berlomba-lomba menubruk mata uang dolar AS -- maklum, nilai pounc Libanon belakangan ini anjlok terus. Keputusan mendadak Ketua Parlemen Libanon Hussein Husseini untuk mengundurkan diri diduga akan semakin menambah kisru keadaan di sana. Farida Sendjaja, Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini