SUASANA gedung parlemen yang biasanya tertib mendadak berubah Selasa pekan lalu. Enam puluh lima anggota parlemen duduk seenaknya. Beberapa orang melonjorkan kaki di kursi, yang lain asyik ngobrol sambil tiduran dan baca koran. Mereka - 65 dari 117 anggota partai oposisi - sedang melakukan aksi mogok makan selama tiga hari, sebagai protes terhadap partai berkuasa DJP (Partai Keadilan Demokratik), yang menolak hadir dalam sidang parlemen. Sidang khusus hari itu sedianya membahas skandal penyiksaan polisi terhadap Park Chong-Chol, seorang mahasiswa linguistik Universitas Nasional Seoul, yang mati tragis, Januari lalu. Kepalanya dibenamkan ke bak mandi, lalu dibenturkan di bibir bak, dan lehernya dijerat. Park, yang dituduh menyembunyikan seorang buron komunis itu, akhirnya mati tercekik. Sebelum aksi protes, para pelaku, yang tergabung dalam partai koalisi oposisi RDP (Partai Reunifikasi Demokratik), menyampaikan resolusi agar konstitusi yang "mengabadikan kekuasaan" dibatalkan. Konstitusi yang diciptakan Presiden Chun Doo-Hwan, 1980, menetapkan pemilihan presiden secara tak langsung, lewat sebuah dewan yang beranggotakan 5.000 orang wakil di DPR. Namun, aksi mogok makan yang berakhir Sabtu lalu tidak digubris DJP. "Soalnya, mereka tidak bisa diajak kompromi," kata Lee Han-Dong dari DJP. Mereka mau berunding dengan pihak oposisi, jika Roh Tae-Woo telah diumumkan secara resmi sebagai calon presiden,dalam rapat umum di Gedung Seoul Gymnasium, Rabu ini. Lagi pula, gara-gara kematian Park Chong-Chol itu, Presiden Chun sudah memecat PM Lho Shin Yong dan tujuh menteri-- termasuk Direktur Badan Intelijen (NSP), Chang Se-Dong. Tindakan ini bermaksud membuktikan bahwa di bawah Chun, kekuasaan "bersih dari noda". Presiden Chun Doo-Hwan akan "turun tahta", Februari tahun depan. Tapi sebelum itu ia akan menyukseskan alih kekuasaan pada sobat kentalnya, Roh TaeWoo, dengan menggeser tiga calon lain: bekas PM Lho Shin Yong, bekas Direktur Badan Intelijen Korsel, Chang Se-Dong, dan bekas Mendagri Chung Ho Yong. Dari "Rumah Biru" - tempat kediaman sekaligus kantor Chun - bekas jenderal yang berwajah suram dan jarang senyum ini menunjuk Roh Tae-Woo sebagai penggantinya. Meski Roh mengaku "kurang berminat duduk di kursi kepresidenan", dan tergantung hasil pemungutan 1,6 juta suara anggota DJP Desember nanti, para pengamat cenderung berpendapat skenario suksesi itu dirancang oleh Chun Doo-Hwan sendiri. Memang, sebelumnya muncul sejumlah spekulasi. Roh Tae-Woo, yang tak memegang jabatan menentukan di pemerintahan - kecuali pernah sebagai menten negara keamanan dalam negeri dan urusan luar negeri, serta ketua Seoul Olympic Organising Committee - hampir tak diperhitungkan. Justru tiga orang lain yang santer disebut sebagai pengganti Chun. Bekas Direktur NSP, Chang Se-Dong, misalnya. Bekas jenderal berbintang tiga lulusan KMA itu berhasil mengungkapkan kebohongan berita kematian pemimpin Kor-Ut, Kim Il Sung, tahun lalu. Ia pun staf Chun Doo-Hwan ketika menjadi komandan resimen di Vietnam, 1960. Lalu, bekas PM Lho Shin Yong,57 tahun. Dia dikenal sebagai diplomat ulung dan penasihat Chun untuk urusan luar negeri Kor-Sel. Sebelumnya, menjabat Direktur Badan Intel (NSP), ketika Pesawat Boeing 747 Korean Air Lines ditembak jatuh oleh Uni Soviet, 1983, dan pengeboman di Rangoon, Burma, yang menewaskan 16 pejabat tinggi Kor-Sel, di tahun yang sama. Ia pun dianggap layak sebagai pengganti Chun, karena satu-satunya calon dari kalangan slpil yang dianggap cukup memasyarakat. Nama-nama itu kemudian memudar, terutama sejak insiden pengeboman Rangoon. Roh Tae-Woo adalah kawan kental Chun, sama-sama berasal dari Taegu, selatan Kyongsang, dan lulusan Akademi Militer Korea (KMA), 1955. Karier militernya diawali ketika menjadi komandan "Brigade Khusus" di Vietnam. Lalu berpangkat mayjen, ketika menjadi kepala divisi infanteri "Kuda Putih", 1978. Dia berjasa membantu kudeta yang dilancarkan Chun Doo-Hwan, Desember 1979 - dua bulan setelah bekas Presiden Park Chung Hee terbunuh. "Tanpa dia, Chun tak akan berhasil," kata seorang veteran kawakan. Para analis politik mulai memperhitungkan namanya, ketika ia ditunjuk sebagai Ketua DJP, Maret 1985. Roh mulai terlibat intrik politik sejak kudeta yang dilancarkan Chun. Tapi pribadinya terbuka seperti Mendiang Presiden Park Chung-Hee, yang selalu meluangkan waktu berbincang dengan pemimpin agama, wartawan, dan kaum cendekiawan. "Meski wataknya keras, dia tak begitu konfrontatif dan otoriter seperti Chun. Kita lebih bisa berdialog dengan dia, kelak," komentar seorang politikus senior di DJP. Namun, bagi rakyat Kor-Sel, Roh Tae-Woo dipandang sebagai penerus Chun dan seorang bekas jenderal yang bobot kepemimpinannya masih perlu ditanyakan. Apalagi, bayangan "Tragedi Kwangju 1980" masih teringat jelas. Roh, yang waktu itu menjabat komandan Keamanan dan Pertahanan Korsel, bertanggung jawab atas terbunuhnya 2.000 warga Kwangju. Mereka disiram dengan peluru begitu saja - bukan dengan gas air mata - oleh pasukan militer Kor-Sel yang tak biasa menghadapi kerusuhan. Para penduduk sipil di sana marah besar karena serangkaian penangkapan terhadap warga yang diduga mahasiswa. Sebegitu jauh, Roh Tae-Woo sudah menawarkan sebuah pertemuan dengan para pemimpin partai oposisidalam upaya mencari jalan keluar bagi kemelut politik dalam negeri. Tapi pendekatan ini ditanggapi keras oleh pemimpin RDP, Kim Young-Sam, yang menuduh, "DJP berusaha terus berkuasa, dengan memanipulasikan konstitusi dan mengkhianati rakyat yang ingin melakukan pemilihan presiden secara langsung." Maka, segelintir rekannya - termasuk yang mogok makan berniat turun ke jalan, Rabu ini. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini