Chul dan Soyeon, kakak-beradik laki-perempuan, baru berusia sepuluh dan delapan tahun. Mereka ditinggal pergi ayahnya—yang tak sanggup mencari makan untuk keluarga—dan ditinggal mati ibunya. Seperti menjadi yatim-piatu tidak cukup, rumah mereka di Hamkyung, sebuah kota pertambangan batu bara di Korea Utara, kini sudah diminta kembali oleh negara.
Tanpa makan dan tempat berteduh, mereka nekat pergi ke Sambong di perbatasan Cina. Tak gentar oleh derasnya Sungai Tumen yang membatasi kedua negeri, mereka menyeberanginya untuk memimpikan hidup yang lebih baik.
Chul dan Soyeon sama sekali tak tahu apa artinya mencari suaka ke negara lain akibat problem politik dan ekonomi di negerinya. Mereka hanya sering mendengar dari teman-teman ayah mereka bahwa Cina adalah negeri dengan banyak makanan dan memiliki kereta api yang cepat karena tidak kekurangan bahan bakar. "Kalaupun mati, lebih baik kami mati dalam perjalanan ke Cina," kata Chul, yang sepanjang hidupnya belum pernah merasakan cukup makan.
Kakak-beradik itu tidak sendirian. Menurut Human Rights Watch, sebuah lembaga swadaya hak asasi manusia, sekitar 10 ribu hingga 300 ribu warga Korea Utara menerobos masuk ke Cina. Jumlah tepatnya sulit diketahui karena pemerintah Cina sendiri keras menolak pelarian dari Korea Utara itu.
Cina juga tidak bersedia bekerja sama dengan para pekerja sosial hak asasi manusia yang bertujuan membantu para pencari perlindungan politik, meskipun negeri itu meneken kesepakatan PBB untuk melindungi pengungsi. Bahkan, apabila ada pelarian dari Korea Utara berhasil menerobos masuk gedung kedutaan negara asing di Beijing, aparat Cina selalu berusaha menarik mereka keluar untuk dikembalikan ke negara asal.
Amerika Serikat dan sekutunya juga tak ambil peduli terhadap nasib warga sipil Korea Utara ini. Hanya Korea Selatan yang berlapang dada menerima pelarian dari saudara utara mereka, terutama sejak pemerintahan Kim Dae-jung menerapkan kebijakan "matahari bersinar", yang merupakan langkah awal upaya penyatuan kembali dua negara di semenanjung itu.
Presiden George W. Bush lebih menyoroti soal krisis nuklir di negeri itu. Nuklir memang menjadi problem. Korea Utara beberapa pekan terakhir berencana membangun kekuatan persenjataan nuklirnya yang dihentikan pada 1993. Sikap pemimpin Kim Jong-il yang menantang Amerika, dengan demonstrasi massa berjumlah puluhan ribu, membuat Presiden Bush kian khawatir. Beberapa pekan ini dilakukan upaya diplomatik antara pihak Amerika dan Korea Utara dengan perantara Cina dan Korea Selatan.
Namun, diplomat Amerika yang dipimpin Asisten Menteri Luar Negeri, James Kelly, tidak banyak menghasilkan keputusan konkret. Bahkan Amerika sempat meradang ketika tawaran untuk memberikan bantuan energi dan pertanian, sebagai ganti pelucutan nuklir, justru ditolak Presiden Kim.
Sebenarnya, perang atau tidak, krisis nuklir atau tidak, rakyat Korea Utara sudah sangat menderita. Selain kelaparan, pelarian penduduk ke Cina adalah persoalan yang sampai kini belum bisa diukur besarnya. Human Rights Watch menyebutnya sebagai "eksodus yang tak kelihatan". Penerobosan seperti yang dilakukan Chul dan Soyeon tampaknya lebih banyak lagi dilakukan warga Korea Utara yang lebih dewasa.
Bila para pelarian dewasa itu tertangkap dan dikembalikan, nasib mereka "lebih buruk dari kematian". Menurut pengakuan mantan pelarian yang berhasil selamat dari kamp perbudakan di Korea Utara, orang-orang yang tertangkap di Cina dan dikirim kembali ke negaranya diperlakukan sebagai pengkhianat negara. Hukumannya adalah penjara seumur hidup dengan bekerja paksa di tambang rahasia atau menjadi obyek eksperimen kimia. "Luka arang keranjang di sekujur tubuh, hanya saya masih bernapas," kata pelarian itu kepada sukarelawan Human Rights Watch.
Kalaupun selamat dan bisa tinggal di Cina, nasib para pelarian itu juga tidak lebih baik. Biasanya mereka ditampung di rumah milik keluarga campuran Korea-Cina dan diberi makan sehingga merasa berutang budi. Kemudian yang lelaki dijadikan buruh murah, sementara yang perempuan dijual sebagai obyek seksual laki-laki Cina.
"Dunia tidak bisa lagi menutup mata terhadap para pencari suaka dari Korea Utara," kata Mike Jendrzejczyk, Direktur Human Rights Watch Asia, di Washington. Tapi, sayangnya, cerita-cerita tentang manusia yang tertindas, disiksa, dan teraniaya tidak lebih menarik perhatian Washington ketimbang senjata nuklir.
Bina Bektiati (Monthly Chosun, Human Rights Watch, The Economist, dan The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini