Nadira Akhmed berjalan tegap dalam barisan yang berpawai di jalanan Diyala, kota pertanian dekat Baghdad, awal Januari lalu. Kalashnikov tersandang di pundaknya. Seragam hijau yang dikenakannya menunjukkan dia anggota milisi Yerusalem alias milisi Al-Quds, yang dibentuk Presiden Saddam Hussein untuk membantu membebaskan rakyat Palestina dari pendudukan Israel.
Namun, Nadira dan sekitar 30 ribu rekan milisinya kini bukan siap berangkat ke Palestina. Tanah air memanggilnya. Nadira dan kawan-kawan mengatakan siap mempertahankan negerinya dan membela pemimpin besar mereka. "Kami tidak takut mati di medan perang," ujar Nadira, yang sehari-harinya berprofesi sebagai guru.
Di bawah ancaman serangan Presiden Amerika Serikat George W. Bush, pemerintahan Saddam giat merekrut dan melatih orang sipil untuk menjawab tantangan. Bahkan seorang pejabat Irak menyatakan milisi itu, yang kini berjumlah mencapai 7 juta orang, dipersiapkan menjadi martir.
Jika serangan Amerika berlangsung, besar kemungkinan mereka memang benar-benar bakal mati. Kekuatan militer Amerika bukanlah tandingan bagi Irak. Saddam tahu benar, mengerahkan orang-orang sipil untuk menjadi tameng serangan adalah yang paling mungkin dia lakukan. Irak akan hancur, tapi kematian warga sipil akan mencoreng Amerika secara politik.
Para milisi direkrut dari berbagai kalangan: aktivis partai, guru, pedagang, hingga pelajar. Seperti tampak dalam parade di Diyala, perempuan juga bukan pengecualian. Para pelajar putri berseragam dan ibu-ibu berkerudung hitam menyandang senapan di pundaknya. "Mereka akan berperang di jalanan, di sekolah, ataupun di ladang-ladang pertanian," ujar Hussein Ali Tala, Sekretaris Jenderal Partai Baath untuk kawasan Diyala.
Serdadu kagetan itu mendapat berbagai jenis pelatihan selama dua bulan. Mereka diajari berperang di jalanan hingga melakukan pertolongan pertama. Kaum perempuan juga dilatih mempersiapkan makanan untuk keperluan logistik pasukan besar.
Tidak semua orang tampaknya suka memperoleh peran barunya. Seorang warga Irak yang sedang berada di Damaskus, Suriah, bercerita bagaimana orang tidak berani menentang pemerintah. Jika menolak, kata dia, risikonya langsung ditahan atau, yang lebih buruk, dieksekusi mati.
Warga Diyala mungkin memang rela berperang membela Saddam. Kota itu dihuni orang Sunni dan Syiah yang hidup berdampingan secara damai. Saddam memuji mereka karena kegagahberanian warga kota itu dalam Perang Teluk yang lalu, ketika Amerika dan sekutunya memaksa Irak keluar dari Kuwait.
Namun, tidak demikian halnya dengan warga Syiah di Kufah, Irak bagian selatan. Banyak warga Syiah?umumnya merasa sebagai mayoritas tapi ditindas kelompok minoritas Sunni?menjadi relawan milisi karena takut. Milisi Fadayen, pendukung Saddam, selalu mengawasi gerak-gerik mereka. Pasalnya, dalam perang yang lalu mereka berpihak pada Amerika, meski, ketika belakangan dihabisi Saddam, Amerika tidak berbuat apa-apa untuk melindungi mereka.
Sejak itu, nyaris semua orang memata-matai mereka. Dari aktivis Partai Baath, anggota milisi, hingga polisi mendapat tugas pasang mata terhadap kegiatan warga Syiah ini. Bahkan pejabat Partai Baath sering kali mengunjungi rumah warga hanya untuk mengabsen anggota keluarga. "Pernah kepala saya dipukul dengan gagang senapan hanya gara-gara saya tidak tahu di mana saudara saya berada," ujar seorang warga Kufah.
Meski mereka dicurigai tidak setia, warga Kufah tidak lepas dari kewajiban menjadi relawan. Pejabat Baath yang datang ke rumah warga bukan sekadar mengabsen. Mereka juga pasang mata kalau-kalau ada anggota keluarga lelaki yang bisa dipaksa menjadi "relawan" milisi Yerusalem selama dua bulan.
Warga Syiah di Karbala juga mengalami hal yang sama. Mereka melakukan pemberontakan dalam Perang Teluk lalu. Mereka juga kemudian dihajar habis-habisan oleh pasukan Saddam. Takut pengalaman buruk terulang, 50 tokoh Syiah menyampaikan petisi yang ditulis dengan darah mereka: "Kami menyatakan bahwa kami akan dengan sukarela ikut mempertahankan kemenangan Irak dan tanah suci."
Keterpaksaan menjadi relawan bukannya tidak beralasan. Oktober lalu, Saddam memanggil semua pemimpin suku di Irak Selatan ke istananya. Dengan Al-Quran di kedua tangan, mereka disumpah tidak akan mengulangi pemberontakan 12 tahun lalu. Sang Saddam sudah mengancam.
Purwani Diyah Prabandari (Boston Globe, Washington Post, The New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini