Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Setahun di Neraka Guantanamo

Ratusan orang meringkuk di Kamp Delta di Teluk Guantanamo. Tak diadili, tidak bisa ketemu keluarga dan pengacara. Amerika ngotot, mereka akan tetap di situ sampai perang terhadap terorisme berakhir.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya sudah mogok makan selama 27 hari dan saya akan meneruskannya entah sampai kapan. Kemudian, saya juga melakukan mogok minum dan bicara selama empat hari dan saya akan melakukannya sampai mereka membebaskan saya sebagai orang tak bersalah, atau sampai mereka memproses sebuah pengadilan untuk saya sehingga saya bisa mendapatkan semua hak saya, atau saya akan mati karena saya tidak bisa bertahan lagi di tempat ini." Sebuah keputusasaan, tentu. Dan cerita itu adalah cuplikan surat Fawzi al-Odah, 25 tahun, seorang guru agama dari Kuwait yang ditangkap pasukan Amerika Serikat di Afganistan saat dia menjadi relawan kemanusiaan. Surat tersebut melayang dari tahanan yang menjadi sorotan para aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia: Kamp Delta. Itulah penjara tanpa aturan hukum, tanpa prospek pembebasan di masa depan, di pangkalan Angkatan Laut Amerika di Teluk Guantanamo, Kuba. Fawzi hanyalah satu dari sekitar 650 orang lain yang ditahan pasukan Amerika karena dituduh sebagai anggota Taliban atau jaringan Al-Qaidah. Dan 11 Januari lalu, genap setahun orang-orang semacam Fawzi berada di "lubang gelap hukum". Pemerintahan Bush, sang promotor perang terhadap terorisme, menyebut mereka sebagai "pasukan tidak sah". "Mereka bukan tawanan perang, dan Konvensi Jenewa tidak berlaku bagi mereka," ujar Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Dengan kata lain, bagi mereka tidak perlu ada dakwaan, tidak perlu ada pengadilan, tidak perlu ada pengacara yang mendampingi, dan tidak perlu dikasih izin bertemu pengunjung. Menurut Rumsfeld, mereka bertindak ala teroris, berperang tanpa seragam, tanpa pangkat, dan tidak bertingkah laku layaknya tentara dalam peperangan. Dan sudah setahun pula orang seperti Fawzi al-Odah, yang belum tentu bersalah, berada di "lubang gelap hukum". Amnesti Internasional telah mendesak pemerintah AS agar segera membebaskan atau mengadili tahanan ini. Amnesti sangat prihatin dengan buruknya kondisi tahanan di Guantanamo, yang tidak sesuai dengan Konvensi Jenewa: tidak ada akses ke pengadilan, pengacara, dan keluarga. Satu-satunya jalur komunikasi dengan dunia luar yang belum tertutup hanyalah lewat Palang Merah Internasional, yang menjadi tukang pos bagi surat-surat untuk keluarga mereka. Lebih buruk lagi, tidak ada kejelasan berapa lama masa penahanan di sel yang sangat kecil selama 24 jam sehari itu. "Inikah cara Amerika membela hak asasi manusia dan menegakkan hukum?" demikian pernyataan Amnesti, bertepatan dengan setahun pengiriman tahanan pertama dari Afganistan ke Guantanamo. Namun, bak pepatah biarkan anjing menggonggong kafilah berlalu, pemerintahan Bush tidak peduli pada kritik aktivis hak asasi manusia dan tuntutan para pengacara tahanan. Negeri adidaya ini hanya menyatakan ini akan berlangsung sampai perang terhadap terorisme berakhir. "Amerika akan tetap menahan mereka sampai dianggap tidak diperlukan lagi," ujar Jenderal James Hill, Komandan U.S. Southern Command, yang mengawasi tahanan Guantanamo. Sampai kapan, tak seorang pun tahu. Yang pasti, Amerika memerlukan mereka untuk buka mulut tentang rencana para teroris. Dan AS merasa perlu mempertahankan langkah ini. Dengan cara itu mereka berhasil menggagalkan rencana serangan ke fasilitas AS di Singapura dan rencana serangan ke kapal AS dan Inggris di Maroko tahun lalu. Kini rasa putus asa sudah melanda para tahanan. Sebanyak 34 orang mencoba bunuh diri, baik dengan memotong urat nadi di tangan maupun gantung diri. Beberapa lainnya sudah bicara tentang keinginan mati. Banyak yang mengikuti jejak Fawzi al-Odah: mogok makan. Dan banyak lagi yang menderita gangguan mental. Bahkan salah satu dari lima tahanan yang dibebaskan tahun lalu juga mengalami gangguan mental. Dia tidak bisa berkomunikasi lagi, hanya ngedumel saat diajak bicara. Mereka mengalami penderitaan yang luar biasa dan panjang. Setahun yang lalu, tepatnya 10 Januari, 20 orang yang dituduh anggota Taliban dan Al-Qaidah diterbangkan dari Kandahar. Dengan kepala ditutup dan tangan diborgol di belakang, mereka melewati penerbangan selama 27 jam. Hari berikutnya, mereka tiba di pangkalan Angkatan Laut Amerika di Teluk Guantanamo. Mereka adalah rombongan pertama orang yang disangka sebagai anggota Taliban ataupun Al-Qaidah yang dibawa ke Guantanamo. Setelah turun dari pesawat, dengan tetap kepala ditutup dan tangan diborgol serta kaki juga dirantai, mereka semua dibawa ke dua bus. Di dalam bus, mereka dirantai lagi ke kursi. Penderitaan mereka tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian dibawa ke "Camp X-Ray" selama tiga setengah bulan. Mereka tinggal di sel-sel "kandang macan" seperti di Pulau Con Son pada masa Perang Vietnam, tempat penahanan para tahanan politik yang didukung AS di Vietnam Selatan. Di Guantanamo, para tahanan dijebloskan ke kerangkeng tak bertembok, berukuran 1,8 x 2,4 meter. Satu kerangkeng dan yang lainnya dihubungkan dengan rantai. Dan kalau terjadi angin besar atau badai, yang biasa terjadi di kawasan ini, mereka tidak terlindung sama sekali. Sedangkan kalau mau buang air, mereka harus memanggil penjaga dan dikawal ke toilet yang bisa dipindahkan. Tiga setengah bulan kemudian mereka dipindahkan ke Kamp Delta, yang lebih permanen. Mereka ditaruh di dalam container yang dibagi untuk beberapa kerangkeng berukuran 2 x 2,4 meter. Kelebihan kamp ini, mereka mendapatkan toilet di situ. Meski secara fisik keadaan Kamp Delta lebih baik dari Kamp X-Ray, perlakuan terhadap para tahanan tidak banyak berubah. Dalam seminggu, mereka hanya diperbolehkan keluar dari sel dua kali, masing-masing 15 menit. Itu pun harus dibagi untuk olahraga dan mandi, sehingga para tahanan hanya mandi dua kali dalam seminggu. Dan yang dinamakan lapangan olahraga adalah kandang sebesar 7,6 x 5,5 meter. Dan mereka hanya boleh berolahraga sendiri-sendiri karena, jika bersama-sama, dikhawatirkan akan menjadi ajang komunikasi dengan tahanan lain. Di kamp ini para tahanan juga dipindahkan secara reguler untuk menghindari kedekatan satu sama lain. Tak aneh kalau sebuah laporan di Miami Herald menyebutkan 10 persen tahanan di sana menderita gangguan mental. Bahkan, kalau sakit, mereka tetap diikat dan dimasukkan ke kereta dorong untuk dibawa ke rumah sakit. Di rumah sakit pun mereka langsung diikat ke tempat tidur. Namun, seburuk-buruknya perlakuan yang mereka terima di rumah sakit, para tahanan masih menganggap itu yang paling manusiawi. David Hicks, warga Australia yang juga ditahan di sana, menyatakan dalam suratnya bahwa ia merasa sangat menjadi manusia saat di rumah sakit, hanya karena ia bisa mandi setiap hari dan diberi kursi di selnya selama tiga hari setelah keluar dari perawatan. "Mereka diperlakukan lebih buruk daripada binatang," ujar Terry Hicks, ayah David. "Seekor anjing pun memiliki lebih banyak hak daripada para tahanan itu," ujarnya. Padahal para tahanan ini belum tentu bersalah seperti tuduhan Amerika. Seorang pejabat di kantor Departemen Pertahanan menyatakan, sekitar 10 persen dari tahanan itu sebenarnya tidak bersalah. Tidak diragukan, ada sejumlah tahanan yang benar-benar bagian dari jaringan Al-Qaidah dan Taliban. Sebut saja Mullah Faisal Mazloom, mantan Kepala Staf Taliban, dan Abd al-Hadi al-Iraqi, salah satu petinggi dalam jajaran komandan militer Al-Qaidah. Tetapi tak ada kepastian bahwa sejumlah tahanan lainnya masuk dalam kelompok itu. Sejauh ini pemerintah AS tak berhasrat membebaskan mereka. Setelah setahun, baru lima orang yang dibebaskan, warga Afganistan dan Pakistan. Pemerintah AS tidak bersedia mengeluarkan data siapa saja yang ada di sana. Namun, diperkirakan sebagian besar tahanan adalah warga Arab Saudi, setidaknya sekitar 150 orang, disusul kemudian warga Yaman sekitar 85 orang, warga Afganistan sekitar 100 orang, dan Pakistan sekitar 70 orang. Sementara itu, untuk negara Barat, yang terbesar adalah warga Inggris, tujuh orang. Lebih dari 600 orang yang belum tentu bersalah masih berada di neraka Guantanamo. Segala upaya penegakan hukum untuk mereka mentok. Di balik jeruji, mereka pun menghitung hari dengan tak pasti, hari-hari yang panjang, sepanjang kepentingan AS, seraya mengirim dan menanti surat yang sudah disensor. Purwani Diyah Prabandari (The Observer, Reuters, wsws.org, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus