KOPI dan croissant untuk sarapan para eksekutif dari Amerika di Shanghai, Jumat pekan silam, terasa lebih nikmat. Soalnya, kaum bisnismen Amerika di Cina pagi itu baru saja mendengar pengumuman dari Presiden Bill Clinton, bahwa Amerika Serikat akan tetap memberikan status MFN (most favored nation) pada Cina. Status MFN diberikan kepada mitra dagang AS agar komoditi dari negeri yang bersangkutan memperoleh bea masuk paling rendah, sehingga kegiatan perdagangan pun meningkat, yang tentunya sangat menguntungkan. Tentu, termasuk para usahawan dari Amerika sendiri, terutama mereka yang investasi di Cina, memproduksi komoditi ekspor dan diserap konsumen di AS. Mereka, terutama para pemimpin perusahaan Amerika yang berbisnis di Cina, selama beberapa bulan terakhir sangat cemas. Bill Clinton, sesuai dengan janjinya semasa kampanye pencalonan presiden tahun 1992, akan mencabut status MFN Cina, karena negeri itu dianggap telah melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi. Dimulai dengan penyekapan tokoh gerakan demokrasi Wei Jingshen (sejak tahun 1978 dan dilepas tahun silam ketika Cina hendak merebut simpati dunia untuk menjadi tuan rumah Olimpiade 2000 yang gagal itu). Lalu pembantaian demonstran di Tiananmen, Beijing, tahun 1989, sampai sederet penangkapan para intelektual dan aktivis pemuda sesudahnya. Catatan Human Right Watch yang diumumkan 19 Mei lalu mengungkapkan beberapa fakta. Dari hampir 500 orang yang disekap pada peristiwa Tiananmen, 200 orang masih di penjara. Itulah alasan Clinton untuk mencoret Cina dari daftar MFN. Tapi lain pula nyatanya. Kamis silam, Bill Clinton mengatakan, "Saya sudah memutuskan untuk mempertahan status MFN bagi Cina. Saya percaya keputusan ini akan memberikan keuntungan bagi perjuangan jangka panjang kita untuk perbaikan hak asasi di Cina dan demi kemajuan sejumlah kepentingan AS di negeri itu." Rupanya Bill Clinton menyadari, mencabut status MFN Cina akan lebih banyak mudaratnya ketimbang untungnya. Pihak Cina pun kelihatannya sudah tahu betul bahwa MFN merupakan perkakas lemah untuk diandalkan sebagai tekanan politik dalam hubungan dagang. MFN hanyalah kemudahan yang memang lazim diberikan kepada mitra dagang Amerika. Jadi, bukan perkara istimewa. Dan kenyataannya, kalangan usahawan dan politikus Amerika melihat rencana Bill Clinton itu justru akan merugikan diri sendiri. Misalnya, ribuan tenaga kerja di Amerika yang selama ini bekerja membantu kelancaran perdagangan Cina-AS akan menganggur. Peluang bisnis di Cina, yang sudah jadi rebutan usahawan dari banyak negara, akan menyempit buat pengusaha Amerika. Dan Cina, sebagai salah satu anggota Dewam Keamanan PBB dan punya hak veto, tentu boleh membalas langkah Amerika itu. Atau mengganjal upaya AS yang tengah membujuk Korea Utara untuk menghentikan pengembangan senjata nuklir. Bahkan ada yang bilang, kalau Cina dipojokkan, akan terjadi perang dingin kedua, yang bisa mengancam stabilitas Asia dan dunia. Lagipula, banyak yang meragukan efektivitas pencabutan status MFN pada perbaikan kondisi hak asasi di Cina. Tampaknya, karena mau lebih realistis, para negara sahabat Amerika pun, seperti Jepang, Jerman, dan Prancis, dalam perkara ini terang-terangan memihak Cina. Supaya tak merasa kehilangan muka, Bill Clinton mengatakan bahwa keputusan yang bertentangan dengan niatnya semula itu bukannya tanpa syarat. "Karena ini bukan berarti mengabaikan soal-soal hak asasi, tapi mencari jalan yang lebih baik," katanya. Untuk itu, dengan harapan Cina akan lebih bertanggung jawab dalam pelaksanaan hak asasi, Amerika mengharamkan impor senjata dan amunisi Cina. Itu tak akan berpengaruh banyak. Nilai penjualan senjata Cina ke AS hanya sekitar US$ 100 juta setahun, sangat jauh ketimbang total ekspornya yang mencapai US$ 31 miliar - dengan akibat Amerika mengalami defisit US$ 23 miliar dalam hubungan dagangnya dengan Cina. Kendati demikian, pemerintah Cina belum tentu akan gembira. Beijing akan lebih senang kalau urusan perdagangan antarnegara selayaknya tak dikaitkan dengan masalah sosial atau syarat lainnya. Dan itu berarti jalan bebas hambatan lebih mulus buat Cina menuju keanggotaan GATT atau, nantinya, World Trade Organisation (WTO). Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini