Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ke mekah bukan untuk mati

Mungkinkah tragedi di mina, dan jumratul ula, kelak dihindari? dengarlah komentar para ulama terkemuka, seperti ditulis oleh yulizar kasiri.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALI Shariati pernah melukiskan, ibadah haji bagaikan perjalanan menuju maut. Karena itu, tokoh revolusioner Iran ini menyarankan: sebelum berangkat ke Tanah Suci, calon jemaah lebih dulu melunasi utang-utang, menghapus rasa benci kepada sanak-keluarga, dan membuat surat wasiat. Tamsil Syariati dalam bukunya Haji sungguh tepat. Tapi, jangan salah paham, Syariati tak menyarankan agar calon jemaah haji berniat mati di Mekah ketika menunaikan ibadah, seperti yang sering terdengar dari mulut jemaah. Karena berniat mati dalam berhaji, meminjam fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, ulama terkemuka Arab Saudi, sama saja dengan bunuh diri. Perbuatan itu jelas dilarang oleh Islam. Tapi perumpaan Syariati itu tampaknya lebih tepat ke suasana di Mekah pada musim haji, yang mudah merenggut nyawa. Tengok peristiwa Jumratul Ula, salah satu dari tiga tempat pelemparan jumrah di Mina, yang terjadi Senin pekan lalu. Peristiwa di atas jembatan tempat melempar jumrah itu terjadi setelah salat lohor. Sekitar 270 jemaah, menurut kantor berita Saudi Press Agency (SPA), tewas hanya dalam waktu tiga sampai empat jam. Dari jumlah itu, baru 127 jenazah yang sudah dikenal identitasnya enam di antaranya dari Indonesia. Boleh jadi, di antara mayat-mayat yang sulit dikenal identitasnya, terdapat sejumlah mayat jemaah kita. Musibah itu terjadi karena masing-masing ingin mendapatkan yang afdhal atau utama dalam ibadahnya. Sehingga, kata Menteri Agama Tarmizi Taher, terjadi konsentrasi manusia dalam waktu yang bersamaan. Memang pada hari tasyriq -- dua atau tiga hari sesudah yaumun-nahar (hari menyembelih kurban) -- Nabi Muhammad SAW melempar jumrah (melambangkan iblis) selepas salat lohor. Itu dimulai dari Jumrah Sughra (kecil), kemudian Jumrah Wustha (tengah), dan terakhir Jumrah Aqabah, yang terletak di atas perbukitan Aqabah, masing-masing berjarak 150 meter. Sayangnya, keinginan itu tak dilakukan secara tertib. Disengat panas 48 derajat Celsius, lautan jemaah yang mengambil nafar awal, yang segera meninggalkan Mina sebelum magrib, berlomba melempar jumrah. Seperti diberitakan SPA, ratusan ribu jemaah, usai salat lohor, berlarian menuju batu karang, tempat batu kerikil akan dilemparkan. Ini menyebabkan mereka saling dorong, hingga banyak korban jatuh terinjak. Tentu kejadian ini tak separah itu bila jemaah datang hanya dari arah Jumratul Ula. Peristiwa nahas ini mengingatkan orang pada tragedi Mina, 1990. Ketika itu, sekitar 1.400 jemaah tewas, termasuk 600-an jemaah Indonesia, yang terkurung di dalam terowongan Al-Muaisim. Itu terjadi karena jemaah, baik yang akan pergi melempar jumrah maupun yang pulang, berebutan dari dua arah untuk memasuki satu-satunya terowongan yang menghubungkan tempat jumrah dan Haratul Lisan. Tahun ini, sampai akhir Mei lalu, terdapat 829 jemaah yang meninggal. Itu termasuk yang tewas karena berdesak-desakan di jembatan tempat melempar jumrah di Mina tadi. Selain itu, umumnya mereka meninggal karena kelelahan dan sengatan matahari. Ini bisa dimaklumi. Soalnya, di antara empat tiang agama Islam, ibadah hajilah yang paling berat. Ini pernah diungkapkan ulama terkemuka Ali Yafie, bekas Rais Am NU. Sebab, katanya, untuk ibadah haji, jemaah perlu waktu setidaknya empat kali 24 jam. Selama itu, para jemaah bergerak dalam radius sekitar 100 km, meliputi Miqat, Mekah, Arafah, Musdalifah, dan Mina. Jarak antara Arafah dan Mina memang cuma 15 km. Tapi, pada musim haji, jarak yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki itu, oleh bus-bus yang mengangkut jemaah berjam-jam, bahkan pernah lebih dari 12 jam. Rombongan jemaah berangkat pukul 12 malam, entah kenapa sampai di Mina lewat pukul 12 siang. Hampir setiap tahun, perjalanan jemaah haji dari Arafah menuju Mina menelan banyak korban. Musibah sering juga terjadi di dekat Ka'bah, persisnya dekat Hajar Aswad. Umumnya, banyak di antara jemaah yang tergoda ingin mencium batu hitam yang menempel pada salah satu sisi dari Ka'bah yang berbentuk kubus itu. Karena, Nabi Muhammad dulunya pernah menciumnya. Tapi, belakangan, Umar Khatab dari Khalifah Rasyidin berusaha mendudukkan masalah. "Engkau hanya sebuah batu, tapi karena Rasulullah pernah menciummu, maka aku menciummu," kata Umar suatu ketika. Dengan kata lain, bukanlah wajib mencium batu itu. Mungkinkah musibah yang merenggut nyawa itu kelak diatasi, misalnya dengan menambah terowongan dan jalan layang di depan tempat melempar jumrah? Sulit, tampaknya, selama lautan jemaah masih kelewat bersemangat dalam menunaikan rukun Islam yang kelima ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus