Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Ia meninggalkan kita, meninggalkan bahasa

Tempo meminta lukman ali, mantan kepala pusat bahasa yang sering berhubungan dengan almarhum slamet djabarudi dalam hal bahasa, menulis sebuah obituari.

4 Juni 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAS, kenapa bahasa Indonesia para sarjana banyak yang tak betul?" tanya Slamet Djabarudi kepada saya dalam sebuah seminar beberapa waktu yang lalu. Saya menjawabnya dengan senyum, karena memang ada benarnya yang ditanyakannya itu. Kesarjanaan dalam bidang bahasa secara formal belum tentu menjamin kebolehan seseorang berbahasa dengan baik dan benar. Slamet tampaknya peka sekali melihat kesalahan-kesalahan bahasa. Ia ikut berusaha mengatasinya melalui redaksi media massa (karena ia wartawan) dan ceramah-ceramah dalam berbagai kesempatan, juga lewat Lembaga Pers Dr. Sutomo (karena ia dosen bahasa di sini). Slamet terutama menulis persoalan bahasa di TEMPO. Masalah yang dikemukakannya praktis dan penyajiannya populer. Disentuhnya pemakaian kata dan istilah atau nama asing, kata- kata bahasa daerah, tata bahasa, dan pemakaian singkatan yang sebagian besar diserap secara salah kaprah atau dipakai secara tak benar. Ia pernah, umpamanya, mencatat kata "kinerja" yang sudah muncul lebih kurang 15 tahun yang lalu sebagai pengganti performance. Tetapi rupanya kurang laku (TEMPO, 18 Mei 1991). Beranalogi dengan romance yang menjadi "roman", ia pun mengusulkan "performan" untuk performance. Selain itu, ia menegaskan pula yang diusulkan ahli bahasa lainnya. Misalnya, ia dukung yang mengusulkan commodity menjadi "komoditas", bukan komoditi (sebagaimana yang sudah terlanjur sekarang). Itu sejalan dengan university, activity, relativity, dan lain-lain, yang sudah lebih awal menjadi "universitas", "aktivitas", dan "relativitas". Slamet juga setuju penggantian supervisor menjadi "penyelia", cabin supervisor menjadi "penyelia kabin" (sebagaimana yang sering diucapkan pramugari dalam pesawat terbang). Bahkan ia menyetujui pula kata "sigi" menggantikan survey, dan "penyigi" untuk surveyor (TEMPO, 18 Mei 1991). Ejaan pun tak lepas dari pengamatannya. Selalu diusahakannya agar karangan-karangan dalam TEMPO dihindarkan dari kesalahan penulisan kata ulang (memakai angka 2), kesalahan pemakaian titik, dan tanda-tanda baca lainnya. Yang tak dapat dilakukannya dengan baik sebagai penyunting bahasa adalah pemotongan kata atas suku kata dalam ketikan naskah dalam komputer. Tetapi ini adalah kendala alat teknis. Pemakaian kata-kata bahasa daerah yang sudah masuk dalam perbendaharaan bahasa Indonesia disarankannya agar ditulis menurut sistem bunyi bahasa Indonesia. Jadi gudeg, mandeg, dan bedug (bahasa Jawa), menjadi "gudek", "mandek", dan "beduk" (TEMPO, 10 Agustus 1991). Bunyi g pada akhir kata dalam bahasa Indonesia tidak ada memang. Bunyi tersebut jadi bunyi k. Dalam semua tulisannya dan ucapannya, ia selalu berusaha mengajak kawan-kawannya serta masyarakat umum agar konsisten dalam mengikuti kaidah-kaidah bahasa yang berlaku. Sikap beginilah yang menyebabkan ia dijuluki "nyinyir" oleh teman- temannya sesama wartawan karena ia sering menegaskan secara berulang-ulang hal yang itu-itu lagi. Banyak kawannya menganggap bahwa ia merombak kebiasaan berbahasa para wartawan yang selalu diburu oleh waktu agar cepat mengungkapkan laporan- laporan yang perlu segera diketahui umum. Kawan-kawannya menganggap wajar kalau bahasa jurnalistik itu tak sempurna. Tapi Slamet tak menerima alasan ini. Kenapa tidak bisa sempurna, bila wartawan tersebut punya sedikit saja modal kesadaran dan kecintaan kepada bahasa Indonesia. Dalam usaha pembinaan dan pengembangan bahasa, ia termasuk gesit. Ia sering bolak-balik dari kantornya ke Pusat Bahasa untuk urusan penyuluhan, sayembara mengarang, dan rapat kerja (ia anggota pengurus Himpunan Pembina Bahasa Indonesia yang berkantor di Pusat Bahasa), sehingga oleh karyawan TEMPO ia sering dijuluki sebagai karyawan Pusat Bahasa yang bekerja di TEMPO, atau karyawan TEMPO yang dipekerjakan di Pusat Bahasa (TEMPO, 28 Oktober 1989). Kita hargai semua usahanya mengajak semua orang mencermatkan penggunaan bahasa Indonesia, bahasa yang harus menjadi tuan di rumahnya sendiri. Tetapi jalan masih panjang ke arah itu, sedangkan umur manusia amat pendek sehingga orang tidak pernah siap penuh menghadap Khaliknya. Akhirnya, kita tak perlu berpura-pura menyatakan bahwa orang- orang seperti Slamet pantas dicatat, bagaimanapun "kecilnya" jasanya. Lukman Ali

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus