PITA dan confetti. Kaus dan bendera. Semua bermunculan dari segala penjuru Manila. Untuk pertama kali sesudah enam bulan Cory berkuasa, warna kuning kembali. Kamis pekan lalu itu rakyat memperingati genap tiga tahun meninggalnya Benigno Aquino Jr., suami Presiden Corazon Aquino yang tak lama kemudian berangkat ke Indonesia. Peringatan dimulai menjelang tengah malam ketika kembang api mengerjap-ngerjap di atas Manila. Di samping itu, ada misa gereja, peresmian batu pualam hitam di landasan bandar udara Manila -- persis di tempat Ninoy jatuh tertembak -- dan peresmian patung perunggu Almarhum di Kota Tarlac. Paling sedikit 50.000 orang berkumpul di Taman Luneta untuk mengenangkan seorang tokoh yang kematiannya menyingkapkan ufuk baru dalam sejarah Filipina. Tapi Cory pun tidak sekadar menyuarakan masa lampau. Dalam satu bagian pidatonya, ia terus terang berkisah tentang tugas-tugas yang mengimpit. "Tanggung jawab terasa sangat besar hingga ada saatnya saya merasa amat payah. Saya tidak tahu bagaimana kita bisa mengatasi semua masalah ini." Putus asa? Ia mungkin hanya tidak kuasa menyembunyikan keprihatinannya. Sejak kudeta Tolentino 6 Juli berselang, Manila seakan dilanda keresahan politik. Pers tidak henti-hentinya memberitakan rencana kudeta oleh pihak militer maupun kelompok loyalis Marcos. Pada saat yang sama Menhan Juan Ponce Enrile sibuk menyerang pemberontak komunis -- atau orang-orang yang dianggapnya berhaluan kiri dalam pemerintahan Aquino. Serikat buruh militan, terutama yang bergabung dalam Gerakan 1 Mei (Kilusang Mayo Uno) dengan gencar melancarkan aksi-aksi mogok. Mereka kabarnya diberi angin oleh Menaker Augusto Sanchez, seorang pengacara yang terkenal sebagai pembela "kaum tertindas". Petugas keamanan memang belum sampai menembakkan peluru, tapi situasi sudah sedemikian rupa hingga barikade kawat berduri terpaksa dipasang kembali di jembatan Mendiola. Dan Cory untuk pertama kali memerintahkan Menaker Sanchez agar aksi protes ditindak tegas. Menurut Newsweeek, selama enam bulan terakhir, lebih dari 3 juta jam kerja terbuang percuma gara-gara aksi mogok. Rekor ini bukan saja menyabot upaya perbaikan ekonomi, tapi juga menyebabkan penanam modal asing urung menanam modal di Filipina. Iklimnya tidak menguntungkan, begitu komentar yang sering terdengar. Apalagi sebagian aksi mogok itu ternyata ditunggangi maksud-maksud politik, sampai-sampai menuntut penutupan pangkalan militer AS di Filipina. Kerisauan tak cuma di situ. Sebuah kejutan misalnya diungkapkan dalam sidang kabinet, Rabu, di Malacanang, oleh Enrile. Ia "menemukan bukti" tentang adanya plot penculikan terhadap Presiden Aquino beserta 40 pejabat sipil militer, katanya, antaranya Wapres Salvador Laurel, Jenderal Fidel Ramos, dan Enrile sendiri. Penculikan itu akan dilakukan kelompok Marcos. Tampaknya Cory tidak terpengaruh oleh kejutan Enrile, sementara dari Hawaii, Marcos (lihat Masih Ada Pesta buat Imelda) segera membantah adanya plot semacam itu. Tapi rakyat memang bisa bingung atau geli. Wapres Salvador Laurel, menambah perkara ketika ia pada sebuah konperensi pers di Cebu, tanpa ragu memastikan bahwa selama Presiden Aquino berada di luar negeri, dialah yang akan menjadi penjabat presiden. Lalu ditambahkannya, "Andai kata Presiden memberi wewenang pada saya, maka akan saya luruskan semua salah kaprah yang selama ini dilakukan pemerintah." Apa maksud Laurel? Kuat dugaan, pernyataan itu ditujukan ke dua sasaran: Cebu dan Malacanang. Kabarnya, para pengusaha di Cebu -- sebuah pulau di selatan Manila mengajukan tuntutan agar sekretaris eksekutif presiden, Joker Arroyo, Menteri Pemerintahan Daerah Aquilino Pimentel, dan Menaker Augusto Sanchez dipecat. Ketiganya dianggap sebagai "orang-orang berhaluan kiri" yang sikap politiknya mencurigakan para penanam modal. Arroyo dan juru bicara presiden, Rene Saguisag, benar-benar kaget mendengar tekad Laurel untuk "melurus-luruskan" itu. Dan Arroyo -- yang acap kali dijuluki "presiden kecil" -- menandaskan bahwa seorang penjabat presiden tidak diperlukan, apalagi karena komunikasi antara Filipina dan ketiga negara yang dikunjungi Cory cukup baik. Saguisag berpendapat begitu pula. Sebelum perang mulut antara sesama pembantunya meruncing, Cory segera mengeluarkan Administrative Order No. 4 yang intinya berbunyi, "selama dalam perjalanan ke luar negeri, Presiden akan bertugas seperti biasa." Tapi demi kelancaran roda pemerintahan, Cory melimpahkan wewenang pada Arroyo untuk menandatangani surat-surat, sedangkan Laurel akan memimpin sidang kabinet dan mewakili Presiden dalam berbagai kegiatan sosial. Cory berhasil mencarikan jalan keluar yang jitu, tapi keputusan itu jelas menunjukkan bahwa ia tidak percaya pada "Doy" Laurel. Hubungan Cory-Doy mulai akrab ketika keduanya bekerja sama demi menggalang oposisi menghadapi Marcos. Mereka kemudian dipercaya sebagai calon-calon UNIDO -- Laban dalam pemilu Februari lalu. Dan Laurel -- yang semula berambisi menjadi presiden -- mundur seraya membuka peluang emas bagi Cory. Tapi klni rupanya Doy terauhkan dari pusat kekuasaan. "Konstitusi kemerdekaan" menggariskan adanya kekuasaan mutlak di tangan Presiden Corazon Aquino. Tiga tindakan kontroversial yang dilakukan Cory dengan kekuasaan itu ialah: membubarkan parlemen (Batasang Pambansa), mempreteli semua aparat pemerintahan arcos, di tingkat daerah khususnya, dan menawarkan gencatan senjata enam bulan kepada pemberntak komunis NPA. Pihak militer seperti merasa disengat tukala gencatan senjata itu ditawarkan. Mereka sama sekali tidak dikonsultasi, padahal merekalah yang merasa paling tahu tentang sepak terjang komunis. Enrile pun terang-terangan "mencibirkan" gencatan itu, tapi kemudian ia melihat bahwa Cory ternyata sanggup bersikap setegar batu granit. Memang isu komunis akhirnya menimbulkan retak berat dalam hubungan Cory -- Enrile. Tapi perkembangan menunjukkan bahwa Enrile -- yang semakin mantap posisinya sejak berhasil mematahkan gejolak Tolentino -- terpaksa "mengakui" keunggulan Cory. Mengapa? Ia sedia menghormati hasil perundingan antara pemerintah dan komunis, dan ia malah menjamin keamanan selama perundingan berlangsung. Laurel juga terpukul seperti Enrile. Karena Batasang dibubarkan, ia bukan lagi perdana menteri, sedangkan praktek-praktek kemudian menunjukkan bahwa ia pun tidak bisa berbuat banyak dengan jabatan wakil presiden. Penggantian gubernur dan kapten barangay di seluruh Filipina, yang dengan gencar dilakukan Aquilino Pimentel, telah menyebabkan Laurel kian sukar tersenyum. Sebagai orang kepercayaan Cory -- Pimentel adalah anggota PDP Laban, partai Ninoy -- sang menteri telah tak semena-mena memborong semua jabatan kepala daerah untuk golongannya sendiri, tanpa mau berbagi dengan UNIDO yang dipimpin Laurel. Retak pun tak terhindarkan lagi dalam hubungan Cory-Laurel. Adapun kerja sama Cory dengan kelompok teknokrat Katolik seperti Menkeu Jaime Ongpin dan Menperdag Jose Consepcion Jr. berjalan baik-baik saja. Sebagaimana halnya Cory, mereka sama sekali tidak berpengalaman di bidang pemerintahan. Pernah menjabat sebagai direktur utama Benquet Corp. -- sebuah perusahaan pertambangan kepunyaan konco Marcos, tugas utama Ongpin kini adalah memperjuangkan penjadwalan kembali utang Filipina yang sebesar US$ 25 milyar itu, seraya mengusahakan pinjaman baru. Di pihak lain Jose Concepcion Jr., yang melejit namanya sebagai pemimpin Namfrel, dewasa ini masih berkutat dengan program agraria yang mesti diseimbangkan dengan program agroindustri. Kebijaksanaan Marcos yang menganakemaskan industri hingga pertanian terbengkalai serta merta disisihkan. Dua pendekar hukum, Jovito Salonga dan Jose Diokno -- keduanya dulu anggota Partai Liberal -- punya soal tersendiri. Salonga, sebagai Ketua Komisi Pemerintahan yang Baik, memang berhasil merebut kembali harta Marcos dan konco-konconya di Filipina. Tapi ia juga mencemaskan banyak pengusaha. Komisinya, yang terlalu rajin main sita saham dan harta orang, dianggap sewaktu-waktu bisa merugikan nama baik pemerintahan Aquino. Komisi Hak-Hak Asasi yang dipimpin Diokno juga kurang populer, khususnya di kalangan militer. Tekad Diokno untuk membongkar dan mengadili setiap pelanggaran hak asasi, baik yang dilakukan sipil maupun militer, telah menimbulkan rasa waswas bagi Menhan Enrile dan Kastaf AFP (Angkatan Bersenjata Filipina) Jenderal Fidel Ramos. Bagi mereka, sangat tidak adil jika NPA yang merongrong kedaulatan negara ditawari amnesti, sedangkan AFP yang menegakkan kedaulatan negara justru sama sekali tidak diampuni. Dalam keanekaragaman sikap itu, Cory punya pengagumnya sendiri. Pemerintahan Aquino, yang seluruhnya beranggotakan 24 orang, tiga di antaranya terhitung paling dekat dengan Presiden: Sekretaris Eksekutif Joker Arroyo, 59, Juru Bicara Kepresidenan Rene Saguisag, 47, dan Menpen Teodoro Locsin Jr., 38, yang merangkap sebagai penulis pidato Cory. Arroyo, seperti halnya Cory, berasal dari keluarga kaya, tapi mempertahankan gaya hidup sederhana dan berpedoman pada rasa keadilan sosial yang amat peka. Arroyo adalah sahabat dan pengacara bagi Benino dan Cory, terutama selama delapan tahun Ninoy di penjara. Saguisag, yang berasal dari kelas bawah dan bangga dengan latar belakang sosialnya ini, bertindak sebagai pengacara Cory, selama kampanye pemilu. Berbeda dengan Enrile dan Laurel, ketiganya tidak punya ambisi politik. Sangat masuk akal jika Cory condong menumpahkan kepercayaan penuh pada mereka. Bahkan sikap Presiden yang lunak terhadap komunis tidak lain terpengaruh pandangan Arroyo dan Saguisag, yang merasa yakin bahwa komunis justru bisa tumbuh karena penindasan Marcos. Dibantu orang-orang kepercayaan itu, Cory secara bertahap menyesuaikan diri dengan tugas-tugas berat kepresidenan, yang jadwalnya tidak terbatas hanya pukul 9 sampai pukul 17 setiap hari. Dia terbukti mampu. Dia tidak canggung lagi menyetop perang mulut antarmenteri, satu hal yang kini lumrah dalam sidang kabinet. Dalam gayanya sendiri ia muncul sebagai stabilisator bagi kabinet yang ibarat kapal teromban-ambinsr dipermainkan ombak besar. Dalam keadaan seperti itu, Kabinet Aquino dikecam pedas oleh Uskup Agung Manila, Jaime Kardinal Sin. Pada misa Jumat pekan lalu, Kardinal Sin memperingatkan bahwa kemenangan revolusi, "sedikit demi sedikit mulai menguap." Rohaniwan terkemuka yang memainkan peran penting dalam perjuangan menggulingkan Marcos ini mengkhawatirkan akan munculnya "setan baru" yang sama buruknya dengan yang dulu. "Si kaya tergoda dan mulai serakah. Jumlah yang miskin semakin banyak. Politikus tua yang dulu belum mendapat kesempatan, sekarang memperkuat basis kukuh ...." Kardinal Sin -- seperti biasa -- tidak menuding siapa pun. Ia hanya kecewa Cory memang menjanjikan lapangan kerja bagi satu juta orang, yang rencananya akan disalurkan ke proyek besar seperti pembuatan jalan, bendungan, dan irigasi. Tapi jangankan itu, Cory malah terpaksa menginstruksikan petugas keamanan agar menumpas aksi-aksi mogok. Sampai kini pemerintah hanya punya dana pas-pasan untuk administrasi sehari-hari. Untuk menghemat, sidang kabinet justru tidak pernah dilengkapi acara makan siang. Bantuan dari AS, Eropa, dan Jepang, yang diduga akan mengalir deras, justru tersendar-sendat. Sebagian kesalahan terletak pada pemerintah Filipina sendiri yang tidak kunjung mencapai kesatuan pendapat dalam hal penjadwalan kembali utang yang US$ 26 milyar itu. Ada pertentangan antara Menperdag Jose Concepcion dan Menteri Perencanaan Ekonomi Solita Monsod. Pemerintah akhirnya mengalihkan harapan kepada Komisi Salonga, yang menguber harta Marcos ke segenap pelosok. Dari hasil penyitaan berbagai perusahaan konco Marcos, seperti San Miguel, Benguet, Philippine Long Distance Call ditambah sejumlah bank, telah terkumpul US$ 85 juta uang tunai US$ 15 juta, permata, dan 41 pesawat terbang. Jumlah ini jelas jauh dari memadai, hingga Salonga mengharapkan beberapa bank Swiss bersedia menyerahkan sebagian dari US$ 5 milyar harta Marcos yang tersimpan di sana -- yang terbukti memang harta curian -- kepada pemerintah Filipina. "Kemungkinan besar simpanan Swiss itu sudah bisa diserahterimakan dalam tempo beberapa bulan pokoknya kurang dari setahun," kata Salonga optimistis. Cory rupanya tidak sabar menunggu. Keputusannya untuk berkunjung ke AS juga karena masalah ekonomi yang sangat mendesak itu. "Banyak orang menganjurkan supaya lawatan itu ditunda," ucap Cory dalam sebuah acara kaum ibu. "Tapi apa boleh buat, program perbaikan ekonomi tidak bisa menunggu." Tapi banyak pengamat berpendapat langkah Cory tidak tepat. "Satu lawatan yang terlalu jauh untuk hasil yang terlalu kecil . . . ," kata Kolumnis Max Soliven, seperti dikutip Asiaweek. Apalagi kalau dihitung-hitung adanya risiko kudeta, ataupun konflik terbuka antarmenteri. Di tengah haru biru semacam itu, Kastaf Jenderal Fidel Ramos adalah tokoh yang paling bisa menahan diri. Kalau Cory membentuk komisi pengusut khusus untuk membonkar kudeta Tolentino, maka AFP juga punya komisi penyidik yang bekerja diam-diam. Kalau dulu ia menentang keras gagasan mengusut pelanggaran hak asasi oleh pihak militer, kini ia malah menganjurkan. Alasan: Karena dengan cara begitu pelanggaran hak asasi yang dilakukan pemberontak komunis juga mesti dan pantas diusut. Tentu itu tak mudah, karena kaum komunis Filipina juga sudah siap untuk menggunakan cara legal (lihat: Sison, Sebuah Siasat?), suatu hal yang lebih sulit dihadapi jika Cory Aquino tak ingin dituduh sewenang-wenang. Isma sawitri Laporan Kantor-Kantor Berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini