Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Presiden Mesir Al-Sisi memasukkan 13 tahanan politik ke daftar teroris.
Daftar teroris itu dianggap sebagai cara Al-Sisi membungkam kelompok oposisi.
Human Rights Watch menyerukan agar Mesir membebaskan orang-orang yang ditahan secara tak adil.
YANG dilakukan Rami Shaath sebenarnya tak istimewa amat. Dia hanya kencang mengkampanyekan boikot dan sanksi terhadap Israel. Tapi, pada 18 April lalu, Departemen Terorisme Pengadilan Mesir memasukkan pendiri partai politik Hizbul Dustur itu bersama 12 nama lain ke daftar teroris di negaranya. Pengadilan menganggap mereka bekerja sama dengan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Presiden Abdul Fattah al-Sisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Status “teroris” ini berlaku selama lima tahun. Selama itu pula Rami dan kawan-kawan dilarang bepergian ke luar negeri dan memegang jabatan publik. Aset mereka juga dibekukan dan keanggotaan di berbagai organisasi otomatis dicabut. Mereka yang berstatus legislator kehilangan kursi di parlemen. Bagi pengacara, itu berarti tak bisa lagi beracara di pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istri Rami, Celine Lebrun-Shaath, menuding ada motif politik di balik putusan pengadilan tersebut. “Ini adalah upaya keji untuk menodai reputasi orang-orang yang ada dalam daftar,” kata Celine, akhir April lalu. Pengacara Rami, Khalid Ali, menyatakan akan meminta banding atas putusan tersebut.
Kelompok oposisi menganggap putusan tersebut cuma upaya Presiden Al-Sisi membungkam pesaingnya. Orang-orang yang masuk daftar dulu ditangkap karena membentuk Koalisi Harapan, aliansi politik untuk menyambut pemilihan umum parlemen pada November nanti. Di tengah wabah Covid-19, “Kebijakan keamanan pemerintah semacam ini merupakan indikasi bahwa tujuan sebenarnya adalah membungkam setiap kritik atas pelanggaran hak asasi manusia,” demikian pernyataan Cairo Institute for Human Rights Studies yang diteken delapan organisasi hak asasi negeri itu.
Pengacara hak asasi manusia, Ala Abdulmunsif, menilai daftar teroris itu dibikin untuk kepentingan Al-Sisi. “Ini tak ada urusannya dengan konstitusi,” ujarnya kepada Middle East Eye, Kamis, 30 April lalu. Penetapan seseorang masuk daftar itu hanya berdasarkan rekomendasi dari jaksa, tanpa penyelidikan atau pemeriksaan di pengadilan lebih dulu. “Tujuannya adalah mengontrol musuh politik dengan membatasi gerak dan mengendalikan aset keuangannya.”
Middle East Eye mencatat pemerintah sekarang punya lebih dari 6.300 nama dalam “daftar teroris”. Sebagian kecil nama itu memang anggota kelompok milisi bersenjata yang berbahaya. Tapi kebanyakan adalah aktivis perdamaian, politikus, pengacara hak asasi manusia, dan orang biasa yang terkait dengan mereka. Di antaranya mantan presiden Muhammad Mursi, yang meninggal tahun lalu; pemain bola Muhammad Abu Trika; pengusaha Safwan Thabit; Abdul Munim Abul Futuh, mantan kandidat presiden dari Al-Ikhwan al-Muslimun, dan wartawan Hisham Gafar.
Adapun selusinan orang yang baru masuk daftar itu, selain Rami, di antaranya pengarang Khalid Abu Shadi, investor Umar al-Shaniti, dan tokoh revolusi Ziad al-Alimi—orang paling terkenal dalam “daftar teroris” terbaru.
Ziad al-Alimi./Facebook Free Ziad al-Alimi
Ziad adalah pemimpin Partai Sosial Demokrat dan satu dari 16 tokoh mahasiswa penggerak unjuk rasa akbar di Lapangan Tahrir yang menggulingkan Husni Mubarak pada 2011. Tahun lalu, dia dihukum penjara satu tahun dan denda 20 ribu pound Mesir atau sekitar Rp 19 juta karena dianggap menyebarkan berita palsu yang mengganggu ketertiban umum melalui wawancara televisi BBC pada 2017.
“Ziad al-Alimi ditahan secara tidak sah sejak Juni tahun lalu setelah ditangkap karena kegiatan politik damai,” ujar Direktur Riset dan Advokasi Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Philip Luther. Dalam wawancara itu, kata Luther, Ziad berbicara tentang pemenjaraan dengan motif politik, penghilangan paksa, dan penyiksaan di Mesir. “Kami menyerukan agar pemerintah Mesir segera dan tanpa syarat membebaskan Ziad dan mencabut semua dakwaan terhadapnya.”
Aktivisme Ziad terinspirasi dari Muhammad Mustafa al-Baradai, mantan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Diplomat Mesir itu menentang gagasan bahwa perubahan politik di Mesir perlu menunggu kematian Presiden Husni Mubarak. Ziad dan tokoh mahasiswa lain kemudian mendirikan Koalisi Pemuda Revolusioner. Mereka menggelar rapat rahasia dan berkoordinasi melalui jaringan media sosial seperti Facebook untuk menentukan waktu dan lokasi demonstrasi-demonstrasi kecil, yang kemudian berpuncak pada unjuk rasa akbar di Lapangan Tahrir.
Demonstrasi besar di Lapangan Tahrir pada 25 Januari 2011, yang disebut Revolusi 25 Januari, mendesak Presiden Husni Mubarak turun takhta. Protes merebak ke seluruh penjuru negeri. Sedikitnya 846 orang terbunuh dan lebih dari 6.000 orang cedera dalam unjuk rasa dan pemogokan massal selama dua pekan lebih itu. Puncaknya, pada 11 Februari 2011, Wakil Presiden Umar Sulaiman mengumumkan bahwa Mubarak lengser dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Junta militer pimpinan Muhammad Husein Tantawi kemudian menggelar pemilihan umum parlemen pada Januari 2012 dan Muhammad Mursi, tokoh Al-Ikhwan al-Muslimun, terpilih sebagai presiden. Tapi kekuasaan Mursi seumur jagung. Ia dikudeta kelompok militer pimpinan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi pada 2013. Al-Sisi terpilih sebagai presiden melalui pemilihan umum setahun kemudian. Sejak itu pula Al-Ikhwan al-Muslimun dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan anggotanya dipenjarakan atau diburu.
Meski dituduh pemerintah Al-Sisi sebagai bagian dari gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun, Ziad justru mengkritik organisasi itu. Dia menilai kelompok-kelompok islamis, termasuk Al-Ikhwan al-Muslimun, telah mencemari tradisi Mesir dengan pandangan intoleran dari Arab Saudi. “Mesir dibangun di atas keberagaman,” katanya. Ini yang membuat tuduhan pengadilan Mesir bahwa Ziad membantu Al-Ikhwan al-Muslimun kurang masuk akal.
Kini, organisasi-organisasi hak asasi manusia cemas terhadap nasib para tahanan politik di dalam penjara yang sudah sesak dan tidak higienis di tengah wabah corona. Dewan Nasional untuk Hak Asasi Manusia mencatat bahwa penjara-penjara di sana sudah kelebihan penghuni hingga 160 persen. Bahkan, akibat cuaca buruk belakangan ini, sejumlah penjara di Kairo dilanda banjir dan pemadaman listrik. Human Rights Watch menyerukan agar pemerintah membebaskan orang-orang yang ditahan secara tak adil.
Pemerintah juga melarang kunjungan keluarga ke narapidana di penjara dengan alasan “kesehatan publik dan keselamatan narapidana”. Ini berarti kerabat narapidana tidak dapat membawa obat-obatan, pakaian bersih, dan makanan segar langsung kepada mereka.
Hal ini dipersoalkan ibu Ziad, Ikram Yusif, yang cemas karena anaknya berisiko tinggi tertular virus corona. “Anak saya menderita diabetes, tekanan darah tinggi, bisul, dan banyak penyakit pernapasan yang mengganggu,” ujarnya. Ia mendesak pemerintah membebaskan para tahanan pembela hak asasi manusia. “Apa prioritas dalam mengatasi pandemi ini? Apakah kita terus menghukum rakyat atau merawat kesehatan penduduk seluas-luasnya?”
Ikram menulis di Facebook bahwa putusan pengadilan adalah upaya mendiskualifikasi putranya dari pemilihan umum karena Ziad akan bebas dari penjara pada Juni mendatang. “Kalian telah membuat kita menjadi bahan tertawaan di dunia dan tak akan ada yang percaya soal dongeng terorismemu lagi,” katanya, yang ditujukan kepada pemerintah Mesir.
IWAN KURNIAWAN (MIDDLE EAST EYE, AFP, THE DISPATCH)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo