Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah menyiapkan skenario mengendurkan aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Daerah dengan tren kasus baru menurun seperti DKI berancang-ancang mengurangi PSBB.
Larangan mudik ditempuh sebagai salah satu cara menekan angka kasus corona baru.
TUJUH belas hari setelah Ibu Kota menerapkan pembatasan sosial berskala besar pada 10 April lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengklaim keberhasilan metode tersebut. Ketua Gugus Tugas Covid-19 Doni Monardo menyatakan laju kasus positif virus corona di Jakarta melambat. “Saat ini kurvanya telah flat,” kata Doni pada Senin, 27 April lalu.
Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana tersebut, pemerintah akan terus menggenjot tes cepat atau rapid test untuk mencegah penyebaran corona. Ia menargetkan kasus positif di Indonesia menurun mulai Juni mendatang. “Sehingga pada Juli diharapkan kita sudah bisa mengawali hidup normal kembali,” ujar mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu.
Sebelum Doni mengumumkan keberhasilan pembatasan sosial, kasus harian di Jakarta memang mengalami penurunan dalam lima hari. Pada 21 April lalu, pemerintah Jakarta mencatat ada 167 kasus harian, lantas berangsur turun hingga 65 kasus baru yang terjadi pada 26 April. Besoknya atau 27 April—ketika Doni mengklaim terjadi perlambatan—pasien terinfeksi corona bertambah 86 orang, kemudian naik hingga 118 kasus positif baru pada 28 April lalu.
Keyakinan Doni mengundang keraguan sejumlah pakar kesehatan. Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Hermawan Saputra, mengatakan data pemerintah belum konsisten karena beberapa titik di Jakarta masih mengalami peningkatan kasus. Adapun Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menilai penurunan angka positif ditengarai karena lambatnya deteksi dini. Tri memperkirakan puncak wabah di Jakarta baru terjadi pada pengujung Juni. “Tren memang bisa turun, tapi pembatasan sosial tak boleh dilonggarkan,” ujarnya.
Menurut juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, hingga Senin, 27 April lalu, sudah dilakukan pemeriksaan terhadap 75.117 spesimen dengan menggunakan metode polymerase chain reaction. Pada hari yang sama, Singapura sudah menggelar lebih dari 140 ribu pemeriksaan. Menurut seorang pejabat pemerintahan yang mengetahui pelaksanaan pengujian cepat di Indonesia, rata-rata dalam sehari dilakukan 4.000 rapid test. Jumlah ini, kata pejabat tersebut, masih di bawah angka ideal, 7.000 tes per hari.
Di tengah tren kasus positif corona yang belum stabil itu, pemerintah justru menimbang opsi melonggarkan pembatasan sosial berskala besar. Adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. yang menggaungkan rencana pemerintah itu saat membuka diskusi online yang diselenggarakan Komisi Informasi Pusat pada 30 April lalu. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut mengatakan pemerintah sedang berpikir untuk menghidupkan kembali sentra-sentra bisnis yang masih bisa beroperasi di tengah pandemi.
Mahfud juga mengatakan pemerintah meninjau ulang kegiatan belajar di rumah. Salah satu sebabnya, masyarakat mengeluhkan kegiatan pembelajaran kerap tersendat jaringan Internet. “Kami sedang memikirkan relaksasi pembatasan sosial tanpa mengurangi protokol pencegahan penularan virus corona ini,” ujar Mahfud.
Dua orang yang mengetahui proses pengkajian relaksasi atau pelonggaran pembatasan sosial mengatakan pemerintah akan menetapkan sejumlah indikator bagi daerah yang akan mengendurkan isolasi wilayah. Menurut keduanya, patokan utama yang dibuat pemerintah tetap berlandaskan data penularan virus yang terjadi di daerah itu. Pemerintah akan memeriksa tren kasus baru harian di daerah yang akan melonggarkan pembatasan sosial. Kriterianya, angka pasien baru harus turun secara konsisten dalam periode 7, 10, sampai 14 hari. Di sisi lain, kata narasumber yang juga pejabat pemerintah itu, jumlah pasien sembuh harus meningkat.
Ketika status relaksasi diberikan, tak semua sektor otomatis bisa langsung beroperasi. Pemerintah berencana mengizinkan lebih dulu sektor industri serta usaha kecil dan menengah seperti toko bahan pokok dan restoran. Menurut sumber yang sama, perusahaan yang dibolehkan beraktivitas kembali diwajibkan menerapkan protokol yang ketat, seperti jadwal masuk kerja dan jaga jarak antarkaryawan.
Pemerintah daerah yang berniat melonggarkan pembatasan sosial pun mesti memenuhi sejumlah syarat yang ditetapkan pemerintah pusat. Seorang pakar yang mengetahui pembahasan relaksasi pembatasan sosial menyebutkan pemerintah daerah akan diminta menjalankan tes cepat secara massal untuk warganya. Selain itu, mereka harus meningkatkan kecepatan dan kemampuan melacak warga yang pernah berinteraksi dengan pasien corona.
Hal lain yang diminta saat pengenduran pembatasan sosial adalah lokasi isolasi. Menurut pakar yang sama, daerah diminta menyediakan dan memperbanyak fasilitas umum seperti Wisma Atlet Kemayoran untuk merawat pasien corona. Tempat isolasi khusus dinilai efektif untuk melokalisasi penularan ketimbang karantina mandiri di rumah masing-masing.
Pemerintah daerah pun mulai ancang-ancang mencabut status pembatasan sosial. Salah satunya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ketika menggelar rapat lewat video telekonferensi dengan ratusan pengusaha pada 28 April lalu, dia menyatakan pembatasan sosial bisa segera diakhiri jika sejumlah indikator penularan Covid-19 di Jakarta merendah. “Kita akan kembali normal bila angka pasien dalam pengawasan dan tingkat kematian karena corona terus turun,” ujar Anies.
Untuk menekan laju penularan virus, pemerintah mengambil sejumlah kebijakan. Salah satunya melarang mudik Lebaran. Semula aturan tak boleh pulang kampung itu hanya berlaku bagi aparat sipil negara, tentara, polisi, dan pegawai badan usaha milik negara. Belakangan, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa larangan mudik ditujukan untuk seluruh masyarakat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menjelaskan, Presiden menerima sejumlah masukan dari para menteri pada rapat 21 April lalu sebelum melarang mudik. Dalam pertemuan itu, Suharso berpendapat angka penularan virus corona bisa berlipat ganda bila pemerintah tak mencegah mudik. “Pola interaksi masyarakat ketika mudik Lebaran, seperti salaman dan sungkem, berpotensi meningkatkan contact rate dan risiko penularan,” kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu.
Suharso memberikan saran berdasarkan masukan yang diperoleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dari para pakar kesehatan masyarakat. Salah satunya tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Anggota tim peneliti UI, Pandu Riono, mengatakan pihaknya membuat pemodelan kasus Covid-19 dalam situasi mudik. Pandu dan tim memperkirakan ada tambahan 200 ribu kasus positif corona di seluruh Jawa bila pemerintah tak melarang mudik Lebaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana sepi ruang tunggu keberangkatan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, 17 April 2020. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perhitungan tim UI, puncak penularan wabah diprediksi terjadi tepat pada 1 Syawal atau 24 Mei 2020. Pada hari itu, pertambahan kasus di Pulau Jawa saja dapat mencapai 40 ribu orang. “Melihat risiko penularan yang bisa terjadi, kami menyarankan larangan mudik. Tak cukup sekadar imbauan agar tak pulang kampung,” kata Pandu.
Seorang petinggi di pemerintahan yang mengikuti pembahasan pulang kampung menyebutkan kebijakan larangan mudik diambil setelah Presiden Jokowi memastikan bantuan sosial telah terdistribusi di lapangan. Pemerintah memang menyiapkan bantuan bagi perantau di Jakarta dan sekitarnya yang masuk kelompok miskin, yaitu paket senilai Rp 600 ribu selama empat bulan.
Presiden juga menimbang jumlah orang yang masih berniat pulang kampung jika pemerintah tak mengeluarkan larangan. Soal potensi arus mudik ini, Jokowi mendapat masukan dari Kementerian Perhubungan. Berdasarkan survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan, masih ada 24 persen penduduk yang ingin mudik. Dengan perkiraan 14,9 juta orang pulang kampung sebagaimana pada 2019, sedikitnya 3,5 juta orang masih berniat mudik.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi, yang terlibat dalam rapat itu, mengatakan Jokowi mendengarkan semua masukan sebelum melarang mudik. Semula ada dua opsi waktu dimulainya larangan mudik, yakni 24 April dan 7 Mei—hari libur peringatan Waisak. Namun, menimbang masih ada jutaan orang yang masih ingin mudik, pemerintah akhirnya memutuskan mempercepat larangan. “Agar tak makin banyak orang yang keluar dari episentrum corona di wilayah Jakarta dan sekitarnya,” ujar Budi.
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan, sehari setelah Presiden Jokowi melarang mudik, lembaganya langsung menggelar rapat dengan sejumlah instansi, antara lain Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, Kementerian Pekerjaan Umum, Jasa Marga, dan dinas perhubungan di sejumlah provinsi. Dalam rapat tersebut, pemerintah menyepakati pengawasan arus mudik dengan menyekat pintu masuk daerah yang tergolong zona merah penularan Covid-19 dan telah memberlakukan status pembatasan sosial. “Pemudik yang berniat melintasi daerah itu akan diminta putar balik,” ujar Adita. Hingga 29 April lalu, petugas telah memaksa 14 ribu kendaraan balik arah di sejumlah gerbang perlintasan.
RAYMUNDUS RIKANG, EGI ADYATAMA, MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo