Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPEKAN terakhir, beberapa kali Dennis Kucinich harus bolak-balik ke Gedung Putih. Butuh empat kali berembuk dengan Presiden Obama, sebelum politikus Partai Demokrat yang mewakili Negara Bagian Ohio itu mengubah pendapatnya dari ”no” menjadi ”yes”. Tadinya, bersama sejumlah politikus Demokrat lain, Kucinich berkukuh menolak mendukung Rancangan Undang-Undang Pelayanan Kesehatan (Health Care Bill) yang diajukan sang Presiden.
Beratnya pertarungan meloloskan RUU ini pula yang membuat Obama terpaksa menunda lawatannya ke Indonesia dan Australia, yang mestinya berlangsung awal pekan ini, menjadi Juni mendatang. Kondisi di dalam negeri membuatnya nyaris tak bergerak. Dia harus menghadapi penolakan anggota DPR dari Partai Republik serta meyakinkan teman-temannya sendiri dari Partai Demokrat untuk menyetujui RUU tersebut. Sejumlah politikus Demokrat bahkan terang-terangan menentang Obama. Maka dia harus bertahan di Washington untuk mengawal RUU hingga pemungutan suara di DPR Amerika Serikat pada 21 Maret lalu.
Obama memang amat menaruh perhatian pada RUU Pelayanan Kesehatan. Kebijakan ini merupakan janji yang selalu disampaikannya pada saat berkampanye untuk menjadi presiden sepanjang 2008. Untuk melaksanakan reformasi kesehatan di Amerika Serikat (USA) diperlukan dana sekitar US$ 940 miliar atau setara Rp 9.000 triliun selama sepuluh tahun. Dengan dana itu, 32 juta dari 47 juta warga yang belum mendapat asuransi kesehatan—kebanyakan kaum miskin dan pensiunan—akan menerima polis secara bertahap. Besarnya biaya ini menyebabkan pro dan kontra terhadap RUU Pelayanan Kesehatan begitu keras.
Menurut RUU itu, 95 persen warga Amerika mesti mendapatkan asuransi kesehatan—baik oleh negara maupun perusahaan dan individu. Bila tidak, pihak yang bertanggung jawab, individu atau perusahaan, akan didenda. Hukuman denda juga akan dijatuhkan kepada rumah sakit yang menolak pelayanan kesehatan menyeluruh bagi warga miskin. Selama ini baru 83 persen warga Amerika yang sudah mendapat jaminan kesehatan.
Persoalannya, dana US$ 940 miliar itu akan dikumpulkan dari kenaikan pajak sampai 3,8 persen. Beberapa di antaranya pajak keuntungan investasi—termasuk menyewakan rumah, dividen saham, sampai pajak asuransi buruh yang pekerjaannya berisiko tinggi. Maka, jelas, kebijakan ini akan mengusik kaum industri, investor, dan buruh sekaligus. Menghadapi pemilihan umum DPR pada November mendatang, para politikus tentu tak ingin citranya jatuh di mata calon pemilih bila dianggap mendukung kebijakan yang tidak populer.
Senat sudah meloloskan RUU ini pada Desember lalu. Sesuai dengan proses politik di Amerika, sekarang giliran DPR untuk memberikan suara. Pemerintahan Obama butuh 216 (separuh anggota DPR + 1) suara untuk menang voting. Nancy Pelosi, Ketua DPR dari Partai Demokrat, secara tersirat menyebut masih ada 37 politikus yang harus diyakinkan untuk mengubah suara dari ”tidak” menjadi ”ya” dan mendukung RUU tersebut.
Maka Pelosi dan Ketua Senat Harry Reid meminta Obama membantu membujuk teman-temannya di DPR. Pelosi sendiri sudah melobi beberapa kaukus, misalnya Kaukus Antiaborsi, yang selama ini berjarak dengan Demokrat. Suara kaukus ini diakomodasi dengan menjamin tindakan aborsi tak mendapat jaminan kesehatan.
Obama antara lain diserahi tugas oleh partainya melobi kaukus kaum Hispanik. Mereka rupanya senang dengan pendekatan sang Presiden. ”Presiden bilang, ini menentukan kelancaran pemerintahannya tiga tahun ke depan,” ujar seorang anggota DPR dari kaukus ini yang menolak disebut namanya. Di Negeri Abang Sam, para politikus memiliki suara independen dalam menentukan lolos-tidaknya rancangan kebijakan presiden di parlemen. Mereka bergantung pada konstituennya, bukan pada elite partai.
Begitu beratnya upaya meloloskan RUU Kesehatan, kubu Partai Republik seolah mendapat angin untuk memukul pemerintah Obama. Senator Jim DeMint, misalnya, setengah berharap pertarungan ini menjadi ”Waterloo”—lokasi perang tempat Napoleon Bonaparte menderita kekalahan di Eropa—bagi Obama. ”Kalau bisa mengalahkan Obama (dengan RUU tersebut), ini akan menghancurkan (kepercayaan dirinya memerintah Amerika),” ujarnya.
Konsultan Demokrat, James Carville, sepakat dengan pendapat itu. Dia menilai inilah waktunya kubu Demokrat jorjoran menunjukkan kekuatannya di pemerintahan maupun di Kongres. ”Kalau RUU ini tak lolos, mudah saja menilai bahwa Demokrat tak bisa memimpin Amerika. Mereka menang di Kongres dengan dominan, menjanjikan reformasi kesehatan, tapi hasilnya nol besar.”
Di Washington, satu sumber Tempo menyampaikan: Obama sebetulnya tak terlalu ingin menuruti keinginan rekan dan sekutunya yang memintanya menjaga gawang di Washington. ”Dia tetap ingin ke Indonesia dan Australia.” Namun sang Presiden akhirnya melunak karena ingin berkonsentrasi supaya bisa menang dalam pertempuran melawan kaum konservatif, baik Republik maupun sebagian kecil Demokrat.
Selain itu, Juni mendatang dinilai sebagai waktu yang lebih tepat untuk mengadakan lawatan. ”Dia tetap ingin mengajak putri-putrinya yang saat itu mulai libur musim panas,” ujar sumber tersebut. Bila kunjungan dipaksakan pada 21 Maret ini, liburan sudah hampir habis dan mereka harus masuk sekolah pada pekan berikutnya.
Ernie Bower, peneliti Centre for Strategic and International Studies Amerika, menilai ada bagusnya juga lawatan ini diundurkan hingga Juni. Dengan beberapa kali penundaan voting di DPR, Obama bisa berkonsentrasi mendesakkan RUU ini diputuskan sebelum tengah tahun. Bila sebelum Juni lolos menjadi undang-undang, pemerintahannya tinggal berkonsentrasi meneruskan politik luar negerinya yang tertunda.
Obama merasa amat penting untuk merajut kembali citra Amerika yang terpuruk di mata dunia Islam selama delapan tahun pemerintahan George Walker Bush Jr. Salah satu negara yang dipilih untuk menjalankan agenda ini adalah Indonesia. Di sini, Obama akan berpidato tentang rekonsiliasi hubungan Islam dengan dunia Barat. ”Melanjutkan pidatonya di Kairo, Mesir,” Bower melanjutkan.
Pembicaraan tentang Perjanjian Kemitraan Komprehensif pun bisa lebih matang dilakukan berikut menentukan langkah konkret yang dapat dilakukan. Apalagi pembicaraan tentang pelatihan kembali Kopassus sebetulnya sedikit lagi mendapat lampu hijau. ”Kalau dilakukan sekarang, keduanya terdesak untuk berunding dengan waktu yang mepet.”
Menurut sumber Tempo di Washington, ada kompromi dari Kongres saat ini agar Leahy Amendment tak berlaku lagi sama sekali. ”Komprominya tentara yang muda-muda bisa melakukan pelatihan dan dikirim ke Amerika,” ujarnya. Leahy Amendment diusulkan Senator Patrick Leahy pada 1992 untuk mengembargo TNI, termasuk pembelian persenjataan dan pelatihan dari Amerika, karena pelanggaran hak asasi. Pada 2005, lantaran bencana tsunami di Aceh, embargo dibatalkan sebagian karena alasan kemanusiaan: pesawat Hercules milik Indonesia butuh suku cadang untuk kegiatan pengiriman bantuan dan penyelamatan korban. Tapi saat itu bantuan untuk Kopassus masih terhadang lampu merah.
Bila lawatan itu berhasil, publik Amerika akan kembali memberi nilai tinggi kepada sang Presiden. ”Banyak pakar dan publik yang mengkritik Gedung Putih saat ini. Inikah cara Anda menjalankan pemerintahan? Start, stop, start, stop,” ujar Bower. Kunjungan yang sukses akan membungkam mereka dan juga kaum konservatif.
Toh, Barbara Lee, politikus Demokrat dari California, membantah penundaan lawatan ke Indonesia dan Australia semata-mata demi kepentingan Obama dan Demokrat. Kepada kontributor Tempo di Washington, Lee menyatakan, alasan utama adalah kewajiban moral Abang Sam kepada warganya yang miskin. ”Ini bukan soal (menjamin kursi) presiden (Demokrat). Ini soal mereka yang belum mendapat hak-haknya. Tak ada argumentasi lain selain kewajiban moral.”
Yophiandi (Jakarta), Dini Djalal (Washington, DC), Politico, NYT, WPost, AP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo