SUARA puak Melayu-Singapura kembali terdengar. Sumbang dan pilu. Mereka terlihat begitu kecewa dengan tuduhan PM Singapura Lee Kuan Yew yang menganggap mereka lebih merasa sebagai puak Melayu ketimbang sebagai warga negara Singapura. Lebih lanjut, mereka tak sependapat dengan kesimpulan pengumpulan pendapat yang memperkuat tudingan PM Lee itu. Terlebih menyakitkan, kesimpulan dan pendapat tadi muncul dalam rangkaian kunjungan kontroversial Presiden Israel Chaim Herzog, November silam. Karena itu, setidaknya ada tiga hal penting yang hendak mereka cetuskan melalui forum 23 pembicara yang diselenggarakan oleh Berita Harian satu-satunya koran berbahasa Melayu di Singapura, pekan lalu. Pertama, kesetiaan kaum Melayu kepada Singapura tidak perlu dipertikaikan. Mereka memang mengakui bahwa dalam keadaan tertentu "mereka akan lebih bertindak sebagai orang Melayu yang beragama Islam". Namun, mereka mengharap hal ini "tidak disalahartikan sebagai tanda antinegara atau antipemerintah". Berikutnya, mereka mengakui Islam sebagai sandaran asas dan nilai hidup. Dalam hal seperti ini mereka tidak merasa sebagai hal yang mengurangi kedudukan mereka selaku rakyat Singapura. Maka, hal terakhir adalah sebuah saran agar pemerintah "bersikap lebih peka dan tidak menyinggung perasaan suatu kaum". Satu hal yang mereka sadari bahwa posisi mereka memang tidak sebaik puak Melayu di Malaysia atau di Brunei Darussalam. Kendala ini memang sangat tidak menguntungkan mereka yang hanya menguasai 14,8% dari populasi 2,5 juta penduduk. Sehingga, tidak berlebihan jika ada yang menganggap, kalau saja Singapura tidak terletak di tengah-tengah negara-negara Melayu, barangkali ia akan menjadi negara Cina ketiga, setelah RRC dan Taiwan. Dengan berbagai argumentasinya, Lee Kuan Yew dengan PAP (Partai Aksi Rakyat) yang memerintah negara tadi dua dekade terakhir ini sesungguhnya ingin menjadikan sebuah Singapura yang multikultural, multibahasa, dan multiagama. Terlebih setelah mereka mengikrarkan sebuah kesatuan politik yang berdaulat sendiri, lepas dari Federasi Malaysia, 1965. Sebuah langkah yang berani. Sebab, bagi kebanyakan negara berkembang, makin besar pluralisme berarti makin terbuka kesempatan pertikaian. Karena itu, di sana ada empat bahasa resmi: Inggris, Mandarin, Melayu, dan Tamil. Konsekuensinya berarti di sana harus ada empat tatatan pendidikan yang akan mewakili kepentingan mereka masing-masing. Kendati demikian, disadari atau tidak, Lee telah meletakkan sebuah landasan khusus bagi puak Melayu. Adalah bahasa Melayu yang mendapat kehormatan mengisi bait-bait syair lagu kebangsaan. Bahkan kepala negara pertama diambil dari keturunan Melayu - sementara sedikit sekali orang yang mengira bahwa keturunan Cina akan mendapat kesempatan serupa pada waktu itu. Bahkan konstitusi Singapura menjamin adanya "perlindungan menyeluruh" bagi kaum Melayu. Bahwasanya ada pergeseran dalam sikap PAP dalam mempertaruhkan kebijaksanaan nation building-nya tampaknya bisa dilihat sebagai konsekuensi rasionalisasi pemikiran yang mengakui pencapaian prestasi. Dengan bahasa yang lebih mudah, karena mereka yang berusaha merekalah yang mendapat. Kenyataan memang menunjukkan bahwa puak Melayu tertinggal. Maka, apa yang tampak di permukaan adalah cerminan baru Singapura dengan gaya Cina dan dalam langgam Inggris. "Sukar membentuk masyarakat majemuk seperti Singapura dengan satu identitas karena semua pihak mempunyai kepentingan masing-masing," kata Junaini Manin, ahli hukum yang ikut dalam forum 23 pembicara itu. Inilah sulitnya. Proses pembentukan bangsa di Singapura masih membutuhkan waktu panjang. Dalam proses tadi barangkali akan terjadi pergumulan mencari bentuk bangsa Singapura sesungguhnya. Mungkin saja PM Lee tidak sempat menikmati hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini