DI Pondok Gede, Bekasi, Hans Bague Jassin merencanakan mengganti mesin tulis dengan cangkul, sastra dengan cabai. Dengan aba-aba dari sejumlah hadirin: satu, dua, tiga, kritikus sastra itu langsung menghunjamkan cangkulnya ke tanah. "Alhamdulillah. Wah, lumayan capek," katanya dengan wajah berseri dan celana tergulung. Lalu Jassin menyatakan diri hendak menjadi petani cabai. Seriuskah Jassin? Siapa tahu. Yang jelas, peristiwa Rabu pekan lalu itu menandai dibukanya perkampungan seniman Jakarta -- rencana yang tertunda-tunda sejak 1974, karena keruwetan pengurusan tanah. Di tanah luas di perbatasan Jakarta Timur- Bekasi itu, Jassin kebagian kapling seluas 2 kali 600 m. Tapi bukan cabai yang pertama-tama akan ditanami Jassin. "Dalam dua tiga bulan ini saya akan membangun rumah dulu, cukup tipe 70 saja. Baru tanah selebihnya akan saya tanami, misalnya cabai." Dan itu bukan karena calon juragan cabai ini tak punya rumah di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin waktu itu pernah memberi hadiah rumah di Grogol, Jakarta Barat. Tapi Jassin tak betah di sana. "Saya mengajarnya di Rawamangun, sekitar 25 km dari sana. Coba hitung, berapa kali harus naik bis kota," itulah keberatannya. Ia lantas menetap di Tanah Tinggi, yang lebih dekat ke Rawamangun dibandingkan dari Grogol. Bila kini ia merencanakan pindah ke perkampungan seniman, "sekarang 'kan saya sudah tua," kata orang yang telah 70 tahun merasakan hidup ini. Maksudnya, ia kini sudah bisa banyak diam di rumah. Dan bila di samping rumah tanah masih luas, apa salahnya bertanam cabai. Bila kritik kurang pedas, bisa dicampur cabai, apakah begitu, Pak Jassin?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini