Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Anak-cucu Imam Bukhari

Umat muslim soviet berjumlah 20% dari 275 juta penduduk soviet. mereka bisa menyesuaikan ajaran islam dengan doktrin marxisme-leninisme. gorbachev menyerukan perang lebih keras terhadap umat muslim.(ln)

24 Januari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMUNISME ternyata tak mampu mengubah ajaran Islam. Di Uni Soviet, setelah lebih dari enam dasawarsa partai komunis berkuasa, kenyataan inilah yang terjadi. Huru-hara di Alma Alta, Desember silam (TEMPO, 27 Desember 1986), ternyata merupakan puncak ketegangan antara penduduk Muslim di kawasan Asia Tengah dan pemerintah pusat di Moskow. Kerusuhan berdarah di ibu kota Republik Kazakhstan ini, menurut versi Kremlin merupakan percikan api nasionalisme bangsa Kazakh yang menentang dipilihnya seorang Rusia (putih) sebagai ketua partai komunis lokal. Dinmukhamed Kunayev, ketua lama, seorang Kazakh, dituduh Moskow tak becus dan korup selama 22 tahun memerintah Kazakhstan, satu dari lima negara bagian Soviet yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan ini, dunia melihat satu lagi contoh penerapan Glasnos, yaitu kebijaksanaan keterbukaan Gorbachev - yang bukan saja tidak menutup-nutupi tapi, sebaliknya, cepat menyiarkan fakta tak sedap itu ke seluruh dunia. Tapi benarkah yang terjadi di Alma Ata hanya sekadar percikan nasionalisme Kazakh, seperti diberitakan Kremlin? Ternyata, di balik percikan, ada masalah lebih mendalam yang tak terbatas pada orang Kazakh: gelombang anti-Rusia di kalangan pemeluk Islam. Gejala ini, konon, erat hubungannya dengan kian kuat dan berkembangnya masyarakat Muslim Soviet. Juga berkaitan dengan aksi pemerintah Gorbachev yang semakin memojokkan penduduk beragama Islam. Singkat kata, ada gejolak nasionalisme yang diperkuat kebangkitan Islam, di Asia Tengah, berhadapan dengan sentimen ras (Rusia) yang terselubung di balik kebijaksanaan politik Gorbachev. Semenjak memegang tampuk kekuasaan 22 bulan silam, Gorbachev telah "membersihkan" lebih dari separuh anggota Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet (PKUS) di semua negara bagian. Tapi gerakan antikorupsl, regionalisme, dan nepotisme ini tampak dibarengi dengan semakin kuatnya cengkeraman Moskow. Cengkeraman itu terutama dimanifestasikan lewat kader-kader PKUS keturunan Slav (Rusia putih) yang sesuai dengan "fatwa" Kremlin, merajai eselon atas. Hal ini amat dirasakan di negara-negara bagian Soviet, yang penduduk Islamnya justru merupakan mayoritas. Di Uzbekistan, 80% anggota komite sentral digeser, dan muncul pemimpin baru asal Rusia. Gelombang pencopotan ini tampak dipertegas dengan mampirnya Gorbachev di Tashkent, ibu kota Uzbekistan, dalam perjalanan ke India, akhir November lalu. Selain mengkritik inefisiensi dan korupsi, Gorbachev, menurut harian lokal Pravda Vostoka menyerukan "perang lebih keras melawan gejala keagamaan". Dia juga mengecam pejabat partai komunis (lokal), "Khususnya mereka yang mengaku bermoral komunis, tapi nyatanya membantu berkembangnya pandangan kolot dan kegiatan keagamaan." Sejak menjadi penguasa Kremlin, inilah pernyataan pertama Gorbachev yang langsung menyorot masalah agama. Kuat dugaan, kritik keras itu terpaksa dilakukan, karena Gorbachev merasa khawatir. Apalagi setelah invasi Soviet atas Afghanistan, 1979, kebanyakan masyarakat Muslim negara itu cenderung bersimpati pada "saudara seagama" yang menjadi "musuh Rusia putih". Dengan sekitar 50 juta orang penganut Islam, Soviet merupakan negara berpenduduk Muslim kelima terbesar dunia (sesudah Indonesia, Pakistan, India, dan Bangladesh). Tersebar dari perbatasan dengan Polandia, Iran, Afghanistan, sampai Cina. Muslim Soviet yang mayoritas Suni itu (Syiah (10%) kini muncul sebagai kekuatan baru. Di kalangan mereka, Nasser dipuja, Khomeini dianggap hebat. Muslim Soviet merupakan mayoritas di republik-republik Asia Tengah (kecuali Kazakhstan), dan Azerbaidzan di kawasan Kauskasus. Mayoritas Muslim paling besar terdapat di Republik Uzbekistan (13 juta orang), menyusul Kazakhstan, Azerbaidzan, Kirghizia, Tadzhikistan, dan Turkmenia. Negeri-negeri ini merupakan warisan para ulama besar dari abad-abad kejayaan Islam, seperti Imam Bukhari, Samarqandi, atau mistikus besar Naqsyabandi. Walaupun sejak 1918 Uni Soviet secara resmi mengesahkan kebebasan beragama pada prakteknya justru kampanye antiagama gencar dijalankan. Pendidikan pemimpin agama dibatasi, pelajaran agama pada anak di bawah 18 tahun dilarang, dan semua murid sekolah diindoktrinasi untuk menjadi ateis. Ternyata, penduduk Muslim kuat bertahan. Menurut sejumlah pengamat, ini tak lain karena mereka berhasil menyesuaikan diri. Helene Carrere d'Encausse, dalam bukunya Decline of an Empire (Newsweek Book New York, 1981), menyebutkan sejumlah contoh "keluwesan" Islam di Soviet. Misalnya fatwa ulama yang menyatakan Islam tak bertentangan dengan ideologi komunis, karena sama-sama bertujuan memperjuangkan keadilan di dunia ini. Dalam melakukan ibadat, Islam pun lihai berkelit. Karena puasa dilarang (yang menyebabkan produktivitas ekonomi menurun), kini buruh Muslim mempersamakan ibadat puasa dengan suatu cara berdiet. Aktivitas di masjid sekarang ini diperkirakan ada 200 masjid di seluruh negara itu - memang terbatas pada angkatan tua. Tapi pendidikan Islam berkembang, dua atau tiga siswa tiap tahun melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar, Kairo. Karena melakukan kurban di hari raya Idul Adha dilarang, para ulama tak kehabisan akal. Mereka berfatwa: kurban boleh saja diganti dengan uang dalam jumlah tertentu. Kenyataan ini rupanya tak lepas dari pengamatan Moskow. Sebuah artikel di koran PKUS, Pravda, mensinyalir betapa perkembangan agama di Uzbekistan kian meningkat dan, sebaliknya, "program antiagama sangat tak memuaskan". Seorang pejabat partai di Tadzhikistan mengeluh karena semakin banyak jumlah orang beragama, sedang para mullah kian berani mengobar-ngobarkan nasionalisme lokal. Di Kirghizia, pejabat partai mengkhawatirkan membesarnya pengaruh Islam atas diri wanita dan anak-anak. Bagaimanapun, Islam dan perkembangannya yang pesat itu sudah melewati batas proporsi yang bisa dimaafkan Moskow. Apalagi sejumlah republik di sebelah Barat (kelompok Slav dan Baltik), seperti Rusia, Ukraina, Belorusia, Latvia, Lithunia, dan Estonia, sedang mengalami kemerosotan angka kelahiran. Sebaliknya, republik-republik di Asia Tengah dan Kauskasia mengalami pertumbuhan penduduk yang amat pesat. Walaupun kini penduduk Muslim hanya sekitar 20% dari 275 juta penduduk Soviet, jika perkembangannya dibiarkan, bisa membawa dampak besar terhadap peta bumi politik Uni Soviet di masa depan. Farida Sendajaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus