Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari Hutan Salvador ke Gurun Yaman

Negara-negara kaya Arab merekrut tentara dari Amerika Selatan untuk bertempur di Yaman. Strategi perang yang didukung Amerika Serikat.

18 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAH-wajah asing terselip di antara deretan jasad tentara Arab Saudi di Yaman. Lusinan serdadu itu jelas bukan orang Arab, tapi mereka memerangi Houthi, milisi yang menjadi sasaran tembak pasukan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud.

Di gurun-gurun Yaman, para serdadu berkulit sawo matang itu mengangkat senjata. Mereka berpindah medan laga dari hutan belantara di pedalaman Amerika ke Yaman. Sebagian besar datang dari Kolombia, sisanya dari El Salvador, Cile, dan Panama.

"Kami kerap dipanggil tentara bayaran, pengkhianat, pengecut, dan oportunis," kata seorang pensiunan komandan tentara Kolombia kepada El Tiempo. "Tapi kami tidak seperti itu. Kami adalah orang-orang yang berani mengambil keputusan."

Mantan komandan itu adalah satu dari 800 eks tentara Kolombia yang berjibaku di padang pasir Arabia. Mereka direkrut oleh Uni Emirat Arab (UEA), berseragam tentara Saudi, dan membela pemerintah Yaman. Mereka bergabung dengan pasukan koalisi Arab Saudi untuk ikut dalam misi membasmi kelompok pemberontak Houthi.

Kelompok pertama serdadu bayaran Kolombia itu tiba di Yaman pada Oktober tahun lalu. El Tiempo melaporkan bahwa sekitar 100 tentara berbaris di garis depan pertempuran di Aden, kota pelabuhan di selatan Yaman. "Aden saat itu di bawah kendali Arab Saudi," demikian dituliskan harian Kolombia tersebut.

Campur tangan asing dalam konflik di Yaman makin terkuak saat Inggris mengakui dukungannya terhadap serangan udara koalisi Arab Saudi. Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond mengatakan tentara Inggris membantu agar kampanye militer Saudi tidak melanggar hukum kemanusiaan. "Kami memastikan target diidentifikasi dengan benar," ujarnya seperti dikutip Tasnim News pada Rabu pekan lalu.

Arab Saudi terjun memimpin koalisi militer dalam perang saudara di Yaman sejak Maret tahun lalu. Kerajaan Islam Sunni itu membela Abd Rabbuh Mansur Hadi, Presiden Yaman yang digulingkan oleh Houthi, karena dianggap korup serta pro-Barat dan Saudi. Kelompok pemberontak Islam Syiah ini memperoleh dukungan dari Iran, negara Syiah yang merupakan musuh bebuyutan Saudi.

Di Yaman, Saudi tidak datang sendirian. Kerajaan yang berhubungan dekat dengan Amerika Serikat itu membawa serta sembilan negara sekutu mereka, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Kuwait, Yordania, Mesir, Maroko, Pakistan, dan Sudan. Setiap negara mengirimkan bantuan militer ke Yaman untuk menggempur Houthi.

Namun tidak semua negara anggota koalisi mengerahkan seluruh tentara mereka. Negara-negara Arab yang kaya, seperti Arab Saudi, Qatar, dan UEA, "meminjam tangan" pasukan lain. Dalam perang Yaman, negara-negara itu menyewa serdadu upahan.

"Tentara bayaran merupakan pilihan menarik bagi negara kaya yang ingin bertempur dalam perang yang tidak diinginkan oleh rakyatnya," kata Sean McFate, peneliti senior dari Atlantic Council dan penulis buku The Modern Mercenary, seperti dilaporkan New York Times.

Sejak meletus pada Juli 2014, perang saudara di Yaman telah menewaskan 6.000 orang dan melukai 28 ribu lainnya. "Sebagian besar korban tersebut adalah warga sipil," demikian menurut catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, seperti dikutip Yahoonews.

Serdadu asing diterjunkan ke Yaman setelah lusinan tentara UEA tewas sejak memasuki negara itu pada Agustus tahun lalu. Sebulan berselang, sebuah roket menghantam pasukan koalisi dan menewaskan 45 tentara UEA, Saudi, dan Bahrain. "Pasukan Amerika Latin awalnya hanya bertugas menjaga keamanan di dalam negeri UEA," menurut bocoran dokumen yang diterima New York Times.

Masuknya serdadu Pan Latin ke perang Yaman bukan tanpa alasan. Menurut seorang mantan perwira militer Kolombia, tentara bayaran asal negaranya dikenal sangat terlatih menghadapi pemberontak. Serdadu Kolombia berpengalaman lima dekade memerangi gerilyawan sayap kiri Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) di hutan.

Para bekas tentara Kolombia juga terasah membekuk pedagang obat bius di negara mereka. Kemampuan ini memikat UEA untuk merekrut mereka. Apalagi militer UEA dikenal kurang berpengalaman dalam peperangan. "Tentara Kolombia bertahun-tahun terjun dalam perang yang bisa mereka taklukkan," ucapnya.

Ratusan serdadu asal Amerika Latin itu disebut merupakan karyawan Blackwater. Perusahaan militer Amerika yang kontroversial ini diketahui pernah mengirimkan tentara bayaran untuk mengeksekusi 17 warga sipil di Irak pada 2007. "Versi lain menyebutkan bahwa kontraktor di balik kekuatan militer UEA adalah perusahaan bernama Reflex Responses (R2)," seperti dilaporkan Middle East Eye.

Mantan perwira militer Kolombia tidak membantah informasi tersebut. Pria 48 tahun yang enggan diungkap identitasnya ini menyebutkan tentara Amerika Latin familiar dengan firma seperti Blackwater. Menurut dia, ada 1.500 tentara Kolombia, 1.000 tentara Peru, 500 tentara Cile, dan 250 tentara Salvador pernah dikontrak di Irak sepanjang 2004 dan 2006.

Pria itu menyebutkan bahwa tentara Kolombia kerap direkrut oleh perusahaan keamanan swasta internasional. "Mereka lantas diterjunkan ke sejumlah negara yang sedang berkonflik, seperti Irak, Afganistan, dan Sudan," ujar pensiunan tentara yang meninggalkan militer pada akhir 1990 tersebut.

Ia pernah bekerja untuk Blackwater pada 2004. Perusahaan yang kini bernama Academi tersebut dikontrak oleh Pentagon untuk memberi layanan militer dan keamanan di Irak. "Saat itu marak terjadi rekrutmen tentara Kolombia untuk bertempur di Irak," katanya. Sejak itu ia terjun ke Afganistan, UEA, Qatar, dan Djibouti.

Tak mengherankan bila ratusan eks tentara Pan Latin bersedia terbang hingga ke Semenanjung Arab. Mereka telah dijanjikan imbalan yang sangat menggiurkan. Harian Colombia Reports menyebutkan bahwa setiap tentara dibayar hingga US$ 1.200 (sekitar Rp 16,7 juta) per hari untuk misi selama tiga bulan di Yaman.

Selain itu, setiap tentara mendapat bonus US$ 1.000 (sekitar Rp 13,9 juta) per pekan di luar gaji mereka. "Bagi tentara yang selamat dalam perang akan langsung diberi status kewarganegaraan Uni Emirat Arab," demikian laporan Colombia Reports.

Jaime Ruiz, Presiden Asosiasi Purnawirawan Angkatan Bersenjata Kolombia, mengatakan segala iming-iming dari UEA itu tak hanya memikat bekas tentara. Banyak prajurit terbaik Kolombia akhirnya memilih hengkang. "Mereka berhenti sebagai tentara. Dengan gaji dan asuransi yang baik, mereka bisa mengirim lebih banyak uang kepada keluarga di Kolombia."

Bukan kali ini saja UEA bersinggungan dengan tentara bayaran. The Forbes menyebutkan negara sekutu Saudi tersebut diam-diam mengembangkan kekuatan serdadu asing sejak 2011. Saat itu UEA membangun kekuatan militer untuk mengantisipasi revolusi Arab Spring yang menjalari negara-negara Arab.

Kini UEA telah memiliki 1.800 tentara dari Amerika Latin. Hampir separuhnya telah diterjunkan dalam perang di Yaman. "Mereka bergabung dengan ratusan tentara bayaran asing lain yang berasal dari Sudan dan Eritrea," begitu menurut The Forbes. UEA juga membangun Zayed Military City, markas militer di tengah gurun khusus bagi tentara asing.

Masuknya ratusan serdadu Latin di Yaman tak terlepas dari peran Amerika Serikat. Analis perang dari Center for International Policy, William Hartung, mengatakan pemerintah Barack Obama telah melatih 30 ribu tentara dari empat negara untuk membentuk kekuatan serdadu bayaran Amerika Latin di Yaman. "Pasukan Kolombia dilatih kontraterorisme," katanya.

Keberadaan serdadu Amerika Latin di Yaman memang ibarat hantu. Milisi Houthi menuding mereka sebagai dalang di balik sejumlah serangan udara di Yaman. Namun UEA tak pernah mengakui para tentara bayaran itu sebagai bagian dari pasukan mereka. Pejabat Amerika juga menolak mengomentari keterlibatan negaranya dalam konflik Yaman.

Namun sebuah laporan investigasi terbaru dari Americas Program of the Center for International Policy membenarkan keterlibatan negara Amerika Latin dalam perang Yaman. "Ada sekitar 100 tentara El Salvador beroperasi di negara itu," menurut lembaga ini mengutip informasi dari seorang pejabat Kementerian Pertahanan El Salvador.

Mahardika Satria Hadi (NY Times, El Tiempo, Forbes, Middle East Eye)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus