KINI AS punya musuh dalam selimut. Setelah perang dingin usai, ancaman buat AS bukan lagi datang dari Rusia, melainkan dari negara-negara sekutunya. Kali ini tak lagi dalam bentuk serangan rudal militer, tetapi berupa pencurian rahasia bisnis. Berdasarkan survei American Society for Industrial Security tahun lalu, 37% dari 165 perusahaan AS menjadi sasaran operasi spionase ekonomi. Perusahaan komputer IBM, misalnya, telah kecolongan program komputer dan teknologi lainnya sampai senilai US$ 1 milyar. Bahkan 30 perusahaan yang dikontak majalah Newsweek mengaku menderita kerugian milyaran dolar karena spionase ekonomi. Menurut pejabat Washington, pemerintah yang terlibat dalam kejahatan ekonomi ini antara lain Jepang, Perancis, Jerman, Belanda, Belgia, Inggris, dan Korea Selatan. Mereka menugasi agen rahasianya bukan lagi untuk mengintip persenjataan pihak Eropa Timur, tapi mencuri data rahasia dari perusahaan-perusahaan besar AS. Sejak tahun 1980-an, dinas rahasia Perancis, Direction Generale de la Securite Exterieure (DGSE), berperan dalam kegiatan spionase jenis ini melalui 20 jaringannya. Operasi itu konon diketahui Presiden Francois Mitterrand. ''Kami tak hanya beroperasi di AS, tetapi juga ke seluruh dunia,'' tutur Pierre Marion, bekas ketua DGSE, kepada Newsweek. Marion juga mengakui, karena kerja keras timnyalah pemerintah Perancis memenangkan kontrak penjualan jet tempur bernilai milyaran dolar ke India. Tak cuma itu. Ia juga mengakui bahwa sejumlah perusahaan komputer Perancis dibangun berdasarkan teknologi yang dicuri para agen DGSE. Teknologi yang dicuri itu antara lain berupa data rahasia dari perwakilan IBM, Texas In- struments, dan perusahaan komputer lainnya, untuk diteruskan kepada komputer Perancis, Compagnie des Machines Bull. Bahkan DGSE tak segan-segan mendobrak pintu kamar hotel yang dihuni para pengusaha AS di Paris. Service 7, tim khusus DGSE, ketahuan terlibat 10 dari 15 kali pendobrakan pintu di hotel- hotel besar di Paris, setiap harinya. Kegiatan bernama Operasi Karung ini baru ketahuan pertengahan tahun 1980-an oleh seorang pengusaha AS yang berbisnis ke Paris. Ketika ketemu dengan kliennya dari Perancis, ia kaget. Catatan pinggir yang dibuat di memonya sudah ada kopinya di tangan kliennya itu. Ketika hal itu ia tanyakan, kliennya dengan enteng menjawab bahwa kopi itu ia peroleh dari pemerintahnya. Lain lagi metode yang digunakan olah para agen Jepang. Buletin berita antarkaryawan sebuah perusahaan merupakan sumber data yang bisa dimanfaatkan. Lalu para insinyur Jepang yang belajar lagi di sejumlah universitas AS, diam-diam mengirimkan semua hasil risetnya ke negaranya. Dan para turis Jepang ternyata tak sekadar berpariwisata. ''Lihat orang-orang Jepang yang ikut dalam per- jalanan wisata ke sebuah perusahaan,'' kata Robert Burke dari Monsanto Co. ''Mereka merekam semua kejadian dengan video dan mengambil setiap helai kertas.'' Metode yang lebih canggih, menggunakan komputer. Dulu, seorang spion duduk di bar dekat sebuah perusahaan yang diincarnya, dan mengorek informasi penting dari mulut seorang karyawan yang mabuk. Kini cukup menggunakan komputer yang dihubungkan ke telepon. Seperti yang diceritakan Thomas Sobczak dari Perusahaan Application Configured Computers, Inc. Dengan mengaku sebagai seorang mahasiswa, seorang agen Eropa menghubungi seorang Doktor melalui komputer untuk menanyakan seluk-beluk teknologi tertentu. Nomor telepon sang doktor dengan mudah didapatnya dari 10 ribu buletin komputer AS. Setelah menghubungi seorang ahli di Groton, Connecticut, spion Eropa itu melakukan hal yang sama di beberapa kota. Kemudian diketahui, agen Eropa itu ternyata tengah mengorek teknologi kapal selam yang markasnya ada di kota-kota tersebut. Agen Korea Selatan pun tak mau kalah. Seorang produsen komputer Dallas dikalahkan oleh sebuah perusahaan Korea Selatan dalam menjual produknya. Lalu ia mencoba mencari sebabnya, mengapa ia sampai dikalahkan. Untuk itu ia menyewa Phoenix Investigations, sebuah usaha detektif swasta. Setelah melakukan penyelidikan, Phoenix menemukan bungkus plastik kecil di toilet markas besar perusahaan itu. Dalam plastik itu ada sebuah pemancar kecil yang dihubungkan dengan kabel halus ke mesin faks, alat pengirim data ke seluruh penjuru dunia. Dari situlah rupanya data-data perusahan komputer di Dallas itu bocor. Sementara itu Komisi Intelijen di Senat menemukan bukti bahwa tahun 1992 saja, pihak intelijen Jepang melakukan kejahatan dalam spionase ekonomi. Antara lain, mereka menebarkan berita palsu tentang semikonduktor mikro bikinan AS yang dikatakan buruk mutunya membuat film tentang pengaruh buruk makanan bayi buatan AS terhadap para balita. Dan terakhir, membuat laporan palsu bahwa penyebab kecelakaan pesawat Japan Airlines tahun 1985 karena kela- laian para teknisi Boeing. Badan intelijen AS, CIA, mendata daftar kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh lima negara sekutu AS. Jepang, yang 80% kegiatan spionasenya ditujukan di bidang ekonomi, menempuh berbagai jalur. Antara lain, meminta badan antariksa AS, NASA agar lebih terbuka, dengan menekankan perlunya kebebasan informasi. Lantas, untuk mendukung kegiatannya itu, Jepang mendirikan sekolah spionase ekonomi yang diberi nama Institut Perlindungan Industri. Target utamanya, Lembah Silikon dan perusahaan pembuat semikonduktor AS. Perancis, yang mengincar Boeing, IBM, NCR, dan Texas Instruments, ternyata menggunakan pula maskapai penerbangan Air France sebagai agen rahasia. Jaringan televisi AS, NBC, dalam programnya berjudul Expose, meminta agar para pengusaha AS berhati-hati bila mengobrol di pesawat Perancis itu alat penyadap dipasang di mana-mana. ''Penumpang di sebelah Anda atau pramugarinya perlu dicurigai,'' kata penyiar NBC. Adapun Korea Selatan konon banyak memakai tenaga daru dunia hitam: geng kriminal dan pelacur, untuk menaklukkan perusahaan Jepang dan AS. Mereka juga merekrut staf parlemen dan menarik simpatisan dari karyawan pemerintahan. Menghadapi aksi ini, CIA tak bisa berbuat apa-apa. Sebab salah satu anggaran dasarnya menyebutkan, dilarang melakukan penyelidikan di dalam negeri kecuali atas perintah presiden. Dilihat dari sisi ini, CIA, yang dulu menjadi salah satu badan intelijen terkemuka di dunia, kini bisa dibilang ketinggalam zaman. Kegiatan CIA di luar AS masih terbatas pada hal-hal yang sifatnya umum, misalnya bagi kestabilan mata uang dolar. ''Kita ini benar-benar naif,'' kata John F. Quinn, bekas pejabat CIA di Tokyo. ''Hanya AS yang tak menggunakan spionase ekonominya.'' Bulan Juni mendatang Direktur CIA, R. James Woolsey, akan menghadap Kongres, untuk meyakinkan kalangan intelijen AS dan Presiden Clinton, bahwa AS sudah selayaknya membentuk badan spionase ekonomi. Seperti diketahui, masih banyak pro dan kontra tentang pengalihan misi badan intel AS yang kesohor ini. Banyak yang berpendapat perubahan itu akan meruntuhkan reputasi CIA yang sudah berusia 45 tahun. Pendapat lain meragukan kemampuan orang- orang CIA di bidang yang rumit ini. Tapi bila itu tak dilakukan, lalu apa tugas CIA kini, setelah musuh besarnya, yakni KGB, berganti fungsi? Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini