DALAM almanak politik Filipina, 21 Agustus akhirnya tampil
bersama lambang-lambang yang menentukan -- dan berdarah. Pada 21
Agustus 1971, bom berletusan di tengah rapat umum Partai Liberal
di Plaza Miranda Square, Manila. Beberapa tokoh teman
seperjuangan Benigno Aquino tewas terbunuh. Sejumlah lainnya
menderita cedera.
Tepat 12 tahun kemudian, peluru berdesingan di bandar udara
internasional Manila (MIA). Kali ini, korban yang jatuh adalah
"Ninoy" sendiri, musuh politik Marcos nomor satu, dan simbol
kaum oposisi Filipina sejak satu dekade terakhir.
"Orang sering lupa bahwa Filipina adalah sebuah negeri Amerika
Latin," ujar Ninoy, dekat menjelang pulang kampung. Dan seperti
banyak negeri Amerika Latin, negeri ini mengalami sejarah
penaklukan Spanyol. Ekonominya terbelah antara segelintir
hartawan dan samudra rakyat yang papa. Selalu tergantung pada
bantuan dana dan senjata Amerika Serikat. Kekuasaan berpusat di
tangan satu orang, dengan tenggang rasa yang sangat tipis
terhadap oposisi. Dan, pembunuhan menjadi usaha politik yang
jamak.
Negeri tujuh ribu pulau itu, di samping selalu diamuk topan,
juga tiada hentinya dilanda keguncangan. Pada 1976 Marcos
berhasil menjinakkan gerakan separatis Islam Moro (MNLF). Tetapi
pada 1980 mereka bangkit lagi dengan tuntutan akan otonomi bagi
kawasan berpenduduk Islam. "Di Mindanao sudah ratusan terbunuh,"
kata tokoh oposisi, Jose W. Diokno, kepada wartawan TEMPO, Isma
Sawitri, pekan lalu. Di Davao, satu orang terbunuh tiap tiga
jam.
Tentara Rakyat Baru (NPA) yang disetir kaum komunis berkekuatan
hampir 10 ribu anggota bersenjata, 2.500 di antaranya pasukan
inti. "NPA kuat justru akibat tingkah Marcos," ujar Salvador
Laurel, yang kini memimpin UNIDO. Diduga, NPA menguasai 20% dari
seluruh kawasan Filipina. Hampir seluruh barangays (desa) di
Filipina disusupi komunis.
Penduduk, yang apatis dan putus asa, akhirnya lari ke gereja.
Pada gilirannya pastor dan biarawati berjuang di pihak jelata
ini. Di Ilocos Sur, ada pastor yang mengangkat senjata.
Kekerasan menjalar cepat ke seluruh negeri. "Belum lagi gerilya
kota dan gereja kiri," ujar Laurel. "Mereka semua mengandalkan
senjata, sama halnya dengan Marcos."
Karena itu, kini, Laurel tampaknya sependapat dengan gagasan
Aquino mengenai sebuah perlawanan tanpa kekerasan. Untuk itu
diperlukan UNIDO, sebuah kekuatan ketiga yang akan mewakili
"The Silent Mayority". Hanya, kekuatan ketiga ini tidak lebih
dari 30%. Sisanya yang 70% tetap saja mengandalkan senjata.
Sejak Presiden Ferdinand Marcos memberlakukan Undang-Undang
Darurat, 21 September 1972, cuaca politik Filipina memasuki
babak baru yang lebih suram. Kekuasaan makin terpusat di tangan
Marcos. Pers bebas diberangus, sejumlah tokoh oposisi ditangkap.
Ninoy sendiri, sehari setelah UU Darurat diumumkan, dimasukkan
ke dalam penjara.
Ketika UU Darurat akhirnya dicabut, Januari 1981 -- "sebuah
lelucon terbesar tahun ini," ujar kalangan oposisi ketika itu
keadaan telanjur parah. Marcos memang masih menggenggam setumpuk
kekuasaan. Tetapi di sekitarnya bertebaran berbagai kekuatan,
oposisi maupun bukan, terang-terangan atau tersamar. "Sebuah El
Salvador yang lain," seperti pernah diungkapkan Ninoy.
Maret lalu, mengatasi desas-desus akan ditunjuknya Imelda
sebagai pewaris kekuasaan sang suami, Marcos mengumumkan Cesar
Enrique Virata, 52 tahun, sebagai calon penerusnya. Ekonom yang
disegani itu menjabat perdana menteri, sekaligus Ketua Komite
Eksekutif, yang dipersiapkan menjalankan roda pemerintahan andal
kata sesuatu yang tidak diinginkan terjadi atas diri Presiden.
Virata, yang mengaku tidak punya ambisi politik, segera
menjalankan kebijaksanaan ekonomi yang ketat. Langkah ini
akhirnya membuat ia mulai disindir para kerabat Marcos, menteri
tertentu, bahkan Imelda sendiri. Ia dituduh terlalu membebek
kepada Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional.
Kalangan pengusaha besar, sebaliknya memihak Virata. Dan mereka
mendemonstrasikan sikap itu dengan berbondong-bondong menghadiri
jamuan makan malam untuk menghormati sang perdana menteri.
Popularitas Virata di kalangan pengusaha agaknya membuat Marcos
berpikir sekali lagi tentang tokoh 'penerus' yang akan menerima
tongkat kekuasaan. Di tengah kesangsian inilah tampil Jenderal
Fabian C. Ver, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina.
Selama UU Darurat, Angkatan Bersenjata (AFP) tumbuh menjadi
kekuatan yang mengesankan.
Ketika UU Darurat dicanangkan, AFP berkekuatan 58 ribu serdadu.
Kini jumlah itu jadi 146 ribu. Dalam tempo sepuluh tahun,
anggaran belanja AFP melonjak dari Rp 82 milyar menjadi Rp 1
trilyun.
Jumlah jenderal juga naik. Ketika UU Darurat diberlakukan, AFP
memiliki 27 jenderal. Kini jumlah mereka 107.
Aquino memilih saat yang tepat -- atau runyam, tergantung dari
cara kita melihat untuk pulang. Marcos sedang dihadang berbagai
problem. Sejak dua minggu sebelum Aquino terbunuh, ia surut dari
publikasi. Keterangan resmi menyebutkan sang Presiden sedang
menulis sejarah Filipina. Tetapi sumber oposisi yakin Marcos
baru saja menjalani pembedahan ginjal. Penguasa itu, konon,
bahkan harus menjalani cuci darah secara periodik.
Banyak tokoh nasional Filipina kini menilai apa pun bisa
terjadi, setelah kematian Aquino. Generasi muda mulai sadar
Ninoy berkorban untuk mereka, kaum oposisi insaf Ninoy pulang
untuk mempersatukan. Kini tinggallah soal bagaimana mereka
bersatu menghadapi suatu masa "Setelah-Marcos" yang sudah di
ambang pintu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini