Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pelantikan

Letjen (purn) Wahono, dilantik menjadi Gubernur Jawa Timur menggantikan letjen (purn) Soenandar Priyosoedarmo. (nas)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Dalam Negeri Soepardjo Roestam seperti terkesima. Dengan agak heran ia menatap Ketua DPRD Jawa Timur Blegoh Soemarto yang terisak-isak mengucapkan pidatonya. "Saya percaya Pak Nandar tak dilepas oleh kami, rakyat Ja-Tim, dengan sia-sia. Karena Pak Nandar, Bapak Rakyat Ja-Tim, akan memegang tugas yang lebih besar, tugas nasional untuk rakyat Indonesia," kata Blegoh yang kemudian tak mampu meneruskan pidatonya. Air matanya menitik. Banyak mata hadirin yang ikut berkaca-kaca. Acara pelantikan dan serah terima jabatan Gubernur Ja-Tim di kantor Gubernur Jalan Pahlawan, Surabaya, Jumat pagi lalu memang diwarnai rasa haru. Letjen (Purn) Soenandar Prijosoedarmo, 59 tahun, yang menyerahkan jabatan gubernur kepada penggantinya Letjen (Purn) Wahono, tampaknya meman dilepas dengan berat oleh rakyat Ja-Tim. Menteri Soepardjo sendiri mengakui keberhasilan Soenandar. Soenandar dinilainya berhasil menerjemahkan kemauan dan program pemerintah yang njlimet menjadi rumusan yang gamblang, hingga mudah dipahami dan dilasanakan. Kepemimpman Soenandar disebutnya "kepemimpinan yang arif". Hingga kepindahannya dirasakan sebagai kehilangan bagi rakyat Ja-Tim. Toh kepergiannya tak terelakkan, "karena dibutuhkan untuk mengemban tugas nasional yang lebih besar," kata Soepardjo. Ia menunjuk persiapan Sidang Umum MPR mendatang yang penyiapan bahannya kini berada di pundak Soenandar sebagai Wakil Ketua MPR dan Ketua Badan Pekerja MPR. Banyak yang memang bisa dicatat selama tujuh tahun tujuh bulan Soenandar menjabat Gubernur Ja-Tim. Pada akhir Pelita II pendapatan per kapita rakyat Ja-Tim Rp 120 ribu per tahun, kini di akhir Pelita III tercatat Rp 240 ribu. Sedang kebutuhan fisik minimum di provinsi ini Rp 98 ribu per tahun buat tiap orang. "Jadi dapat disimpulkan: secara makro rakyat Ja-Tim sudah di atas kebutuhan fisik minimum, walau secara mikro masih ada yang di bawah fisik minimum," tutur Soenandar. Soenandar juga membanggakan Ja-Tim sebagai gudang pangan: 60% pengadaan beras nasilonal dari provinsi ini. Produksi beras Ja-Tim tahun lalu 5,3 juta ton, sedang kebutuhan cuma 3,6 juta ton. Pengadaan gula juga menggembirakan. Produksi 1,2 juta ton sedang kebutuhan 300-400 ribu ton. Pengiriman transmigran sampai tahun keempat Pelita III mencapai 339.505 jiwa, berarti di atas target. Dalam bidang kependudukan, 70% peserta Keluarga Berencana adalah KB Lestari, hingga Ja-Tim dikenal sebagai "tulang punggung keluarga berencana". Soenandar mengakui, ada sebagian rencananya yang tak bisa mencapai sasaran. Antara lain program untuk mengangkat naik nasib sekitar 60 ribu buruh nelayan Ja-Tim hingga bisa mencapai kebutuhan fisik minimum. Hambatan yang dihadapinya di sini adalah kredit motorisasi perahu nelayan yang ternyata tersendat-sendat. Yang dianggap penyebab keberhasilan utama Soenandar adalah sikapnya yang terbuka, demokratis dan mau merangkul semua pihak. "Orientasinya jelas: kerukunan dan pembangunan. Segala macam persoalan selalu dirembuk bersama. Cara ini sangat mengurangl timbulnya percekcokan," kata Imron Hamzah, Wakil Ketua DPRD Ja-Tim. "Ia seorang pemimpin, yang tak pernah memaksa atau mendorong-dorong untuk mewujudkan kemauannya. Tapi ia selalu datang dengan program yang ditawarkan, didiskusikan, dimatangkan, dan kemudian disepakati semua pihak," sambung Sekwilda Ja-Tim Tri Maryono. Gubernur baru Ja-Tim, Wahono, bukan orang baru buat Ja-Tim. Bekas Direktur Jenderal Bea Cukai yang berusia 58 ini kelahiran Tulungagung, Ja-Tim, dan pernah menjabat Pangdam VIII/Brawijaya pada 1970-1972. Menurut Wahono, ia tidak akan mengadakan perombakan total di tubuh Pemda Ja-Tim. "Saya akan meneruskan kebijaksanaan Pak Nandar," katanya pekan lalu. Prioritas kerjanya dalam waktu dekat ini: pembangunan disiplin. "Ini agar hasil yang telah kita capai tidak rusak sendiri," katanya. Seperti juga Soenandar, Wahono menolak untuk tinggal di Wisma Grahadi, rumah kediaman resmi gubernur. Keenam anaknya tidak akan ikut pindah ke Surabaya, "Mereka sudah besar dan sebagian sudah menikah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus