AKHIRNYA Presiden Soeharto turut juga memberikan tanggapan. Seusai pertemuan Kepala Negara dengan Tim P-7 Kamis pekan lalu, Ketua Tim P-7 Roeslan Abdulgani mengungkapkan kepada pers, Presiden dalam pembicaraannya menyinggung juga tentang silang pendapat yang timbul dalam masyarakat mengenai istilah "negara sekuler" dan "sekuralisme". Menurut Roeslan Pak Harto mengatakan: bangsa Indonesia sebaiknya tidak menggunakan istilah atau semantik asing sebagai tolok ukur masalah-masalah prinsip kenegaraan Indonesia. "Sebaiknya kita bertitik tolak dari hasil galian kita sendiri. Kita kan sudah sepenuhnya merdeka," kata Presiden seperti dikutip Roeslan. Dalam percakapan itu, Pak Harto sama sekali tidak menyebut nama seseorang. Sekalipun tak disebut, bisa diduga ucapan Presiden itu menanggapi pendapat Ketua Umum DPP PDI Soenawar Soekowati yang dilontarkan dua hari setelah pidato kenegaraan Kepala Negara 16 Agustus. Dalam suatu rapat F-PDI di DPR yang khusus mempelajari pidato Presiden tersebut, Soenawar antara lain mengatakan: paham sekularisme yang memisahkan masalah kenegaraan dengan masalah keagamaan dapat ditemui dalam pidato tersebut. Di situ Kepala Negara dengan tegas menyatakan bahwa Pancasila bukan agama. "Untuk ini PDI harus berani menegaskan bahwa negara RI adalah secular state," kata Soenawar. Dikatakannya juga, dalam negara yang berfalsafahkan Pancasila ini, tidak boleh ada yang alergi menyebut negara RI menganut sekularisme. Ucapan Soenawar itu ternyata mengundang kritik. Roeslan Abdulgani menyatakan tidak melihat adanya nilai atau unsur sekularisme dalam pidato Pak Harto. Roeslan berpendapat, sekularisme mengandung arti pemisahan antara agama dan pemerintahan. Di situ pemerintah tidak mencampuri atau tidak mengurus agama. "Dasar negara kita adalah Pancasila, dan sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini berfungsi sebagai sumber pembimbing moral sila-sila lainnya. Lagi pula negara kita punya departemen agama, yang bertugas menyuburkan kehidupan beragama bagi seluruh warga negara," kata Roeslan. Disimpulkannya: RI adalah negara Pancasila. Sekretaris MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia) dan Uskup Agung Jakarta Mgr. Dr. Leo Soekoto, S.J., juga tidak setuju bila RI dikatakan negara sekuler. "Indonesia adalah negara yang unik: tidak diatur berdasar ajaran agama tertentu, tetapi pemerintah membantu dari segi kenegaraan agar rakyatnya bebas memeluk agama masing-masing, dan beribadat sesuai dengan syariatnya," ujarnya. Membantu dari segi kenegaraan bukan berarti pemerintah mencampuri hal-halintern masing-masing agama. Semua ini, kata Leo, menjadikan "Indonesia bukan negara sekuler, bukan pula negara teokrasi." Wakil Ketua MPR/DPR Nuddin Lubis malah memandang perlu adanya clearance atas ucapan Soenawar karena masalah ini prinsipiil sekali. Pidato Presiden itu, menurut hematnya, hanya untuk mengingatkan kembali bahwa Pancasila tidak akan menghilangkan agama. Untuk meredakan suasana, maka F-PDI pekan lalu mengeluarkan penjelasan tertulis "untuk menghindari kesalahpahaman." Kepada TEMPO Senin lalu Soenawar menjelaskan, pengarahannya pada F-PDI itu merupakan penegasan kembali pandangan PDI: dalam negara yang berdasar Pancasila ini ada pemisahan kekuasaan politik dan penyelenggaraan pemerintahan negara dari kekuasaan agama. "Bukan agamanya," kata Soenawar. Dan negara demikian, menurut teori secara teknis bahasa kenegaraan, umumnya disebut secular state. "Tapi waktu itu saya tandaskan pada fraksi agar jangan dicampuradukkan dengan sekularisme, karena mempunyai makna yang berbeda. Dan juga kalau bicara secular state jangan dikaitkan dengan atheisme," katanya. Penegasan kembali itu oleh Soenawar dianggap perlu karena DPP PDI menduga adanya hambatan dalam pelaksanaan asas tunggal Pancasila. "Kami menilai hambatan ini antara lain karena adanya interpretasi yang menyesatkan mengenai asas tunggal Pancasila," ujarnya. Toh ditambahkannva, ia setuju pendapat Presiden untuk tidak menggunakan lagi istilah asing sebagai tolok ukur masalah prinsip kenegaraan Indonesia. Seberapa jauh sebenarnya perbedaan sekuler dan sekuralisme? Dr. Syafii Ma'arif, dosen Filsafat Sejarah IKIP Negeri Yoyakarta, berpendapat perbedaan antara kedduanya sebenarnya hanya "otak-atik permainan anak-anak." "Hakikatnya sama saja. Suatu negara sekuler tentu saja tak bisa dipisahkan dengan sekuralisme, yaitu paham yang melatarbelakanginya," katanya. Menurut Ma'arif, 48 tahun, suatu negara bisa disebut menganut sekuralisme jika sudah menolak intervensi wahyu dalam persoalan praktis kehidupan manusia: segala persoalan dunia diberikan otonomi mutlak pada manusia, tanpa campur tangan Tuhan. Memang sering merepotkan jika orang berbicara dengan iIstilah yang belum sama-sama disepakati artinya -- apalagi bila diambil begitu saja dari perkembangan sejarah yang lain dari di Indonesia. Di tahun 1970 tokoh cendekiawan muda Islam Nurcholish Madjid juga pernah menyerukan "sekularisasi" -- yang tentu saja bukan berarti hilangnya hidup beragama -- dan dia dikecam ramai-ramai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini