Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Marcos, mereka mulai menuduh

Reaksi dan latar belakang atas pembunuhan tokoh oposisi Filipina, Benigno S. Aquino dari pengasingannya di Amerika Serikat, sebelum ditembak. (ln)

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALIMAT terakhir yang diucapkan Aquino setelah tiba di tanah airnya ialah "Saan tayo pupunta?" Kalimat Tagalog ini berarti: "Ke mana kita akan pergi?" Sersan Avsecom itu menjawab tenang, "Diyan lang po" -- "Hanya ke bawah." Jarak antara jawaban sang sersan dan letupan peluru pertama tak sampai enam puluh detik. Tetapi jarak sejarah yang memisahkannya alangkah jauh. Tak ada lain Benigno "Ninoy" Aquino, "anak ajaib" di atas panggung politik Filipina, bekas gubernur dan senator termuda, dan musuh bebuyutan Presiden Ferdinand Marcos. Sejak 7 Agustus Ninoy menyatakan niatnya untuk pulang ke tanah air. Tetapi kesulitan paspor menyebabkan rencana itu tertunda. Beberapa hari sebelum 21 Agustus, hambatan ini rupanya sudah teratasi. Dari Boston, melalui telepon, Ninoy memberitahu adiknya, Butz, bahwa ia segera pulang. Butz segera menyampaikan berita penting itu kepada para pengikut dan simpatisan Aquino. Mereka mulai merencanakan upacara penyambutan. "Jika Ninoy jadi pulang pada 7 Agustus, mungkin hanya 10 ribu orang yang datang menyambut," tutur Butz kepada Isma Sawitri dan Bambang Harimurti dari TEMPO, pekan lalu. Karena diundurkan menjadi 21 Agustus, jumlah massa yang mengelu-elukan hampir 20 ribu orang. "Tidak hanya dari Manila, tapi hampir dari tiap pelosok negeri ini," kata Butz menambahkan. Perjalanan pulang Aquino dimulai dari Boston, 13 Agustus, menumpang pesawat American Airlines dengan nomor penerbangan 195, yang berangkat pukul 12.55 waktu setempat. Pesawat ini terbang menuju Chicago, kemudian Los Angeles. Di kota terakhir ini Ninoy rupanya menyempatkan diri menginap semalam. Ahad 14 Agustus, perjalanan dilanjutkan menuju Tokyo dengan pesawat Pan Am. Persinggahan selanjutnya adalah Hong Kong dan Singapura. Sampai titik ini, Ninoy menggunakan paspor atas namanya sendiri. Tak jelas dari mana ia memperoleh paspor ini. Menurut keterangan Ninoy sendiri, "dari seorang rekan di konsulat Filipina di suatu tempat." Ia konon menerima paspor itu dalam keadaan kosong. Mulai dari Singapura, Aquino menggunakan paspor lain, atas nama Marcial Bonifacio. Paspor itu konon diterimanya dari seorang muslim Filipina, sekali lagi dalam keadaan kosong. Nama Marcial Bonifacio mengingatkan orang pada Martial Law (undang-undang darurat), dan Fort Bonifacio -- penjara tempat Ninoy dikurung selama tujuh tahun. Penjara itu sendiri mengambil nama Andres Bonifacio, pemimpin revolusi Katipunan melawan Spanyol, Agustus 1896. Dari Singapura, Ninoy berbelok ke Kuala Lumpur. Ia kabarnya menemui beberapa rekan diplomat di negeri itu. Tetapi Deputi Menteri Luar Negeri Malaysia, Abdul Kadir Seikh Fadzir, dua pekan lalu mengatakan tidak tahu menahu akan kehadiran Aquino di negerinya. Menurut harian The News Straits Times, Ninoy memang menjumpai beberapa sahabat di Singapura, Johor Baru, dan Kuala Lumpur. Beberapa sumber malah menyebutkan tokoh oposisi Filipina itu menjadi tamu Sultan Johor pada 16 Agustus. Ia tiba di Johor Baru dengan kereta api dari Singapura. Jumat 19 Agustus, dari Singapura Aquino terbang ke Taipei, melalui Hong Kong. Di bandar udara internasional Kaytak, seorang Filipina konon mengenali bekas senator itu, dan mengangguk hormat. Ninoy bergegas menyingkir. Ada tiga alasan mengapa Aquino memilih Taiwan sebagai batu loncatan terakhir, sebelum menginjakkan kaki ke tanah airnya. Pertama, Filipina tidak mempunyai hubungan diplomati dengan Taiwan, sehingga pemerintah Filipina tidak bisa memaksakan sesuatu terhadap Taiwan. Kedua, Taiwan dan RRC sama-sama bertindak keras terhadap penggunaan senjata api tanpa izin, sehingga tipis sekali kemungkinan Ninoy terjebak di tangan seorang pembunuh bayaran. Dan ketiga, setiap orang yang memasuki Taiwan harus mempunyai visa, sehingga sedikit banyaknya sebuah tim pembunuh mengalami hambatan untuk masuk. Di Taipei, Aquino bermalam di Grand Hotel (Yuan Shu Da Fon Dian), hotel paling mahal di Taiwan. Hotel ini terletak di tepi kota, dan satu-satunya yang bergaya arsitektur Cina. Di kota inilah tampaknya Aquino merancang perjalanan pulangnya lebih matang dan terperinci. Sekitar 12 wartawan dan juru kamera mengikuti penerbangan Ninoy dari Taipei ke Manila. Tidak jelas apakah semua mereka menerima undangan resmi secara langsung, atau melalui kantor masing-masing. Kepala Biro Hong Kong majalah Time, Sandra Burton, misalnya, selesai melakukan sebuah laporan tentang Indonesia langsung berangkat ke Taipei berdasarkan jadwal yang ditentukan sebelumnya. Wartawan yang paling dekat dengan Aquino, dan menyertai perjalanannya sejak awal ialah Ken Kashiwahara, 43 tahun, suami Lupita, adik perempuan Ninoy. Minggu pagi 21 Agustus itu, Ninoy sarapan pagi di dalam kamarnya. Seorang wartawan Jepang lagi, Kiyoshi Wakamiya, mengaku berada di dalam kamar itu. Dari Taipei pula Ninoy tampaknya menghubungi beberapa rekannya di luar negeri. Des Alwi, bekas atase pers Indonesia mengaku sebagai salah seorang yang menerima telepon Ninoy. "Kontak terakhir dengan Ninoy terjadi Sabtu malam, 20 Agustus, 15 jam sebelum dia mati terbunuh," tutur Des kepada Farida Sendjaja dari TEMPO, pekan lalu. Ninoy konon menanyakan kemungkinan terbang ke Manila melalui Sabah, dengan pesawat Garuda. "Tapi Garuda yang singgah di Sabah tidak mengangkut penumpang," jawab Des. Lagi pula, "ada problem check in untuk masuk negara-negara ASEAN." Menurut penuturan Kashiwahara, Ninoy tampak cerah pada pagi menjelang keberangkatan. Mereka berbincang-bincang mengenai pakaian yang akan dikenakan Aquino menuju Manila. Bekas senator itu akhirnya memilih setelan putih, yang tiga tahun lalu dikenakannya ketika berangkat ke Amerika. Dari Taipei pula Ninoy sempat menghubungi istrinya, Corazon -- Cory -- yang tinggal di Newton, Massachussetts. Tak jelas apa yang mereka perbincangkan. Kemudian ternyata, dari seberang sana Cory membacakan kutipan Kitab Suci untuk sang suami. Itulah rupanya percakapan mereka yang terakhir. Selesai makan pagi, kafilah itu berangkat menuju bandar udara internasional Chiang Kai Shek, Taipei. Masih menggunakan nama Marcial Bonifacio, pemimpin Partai Liberal yang terlarang itu menaiki pesawat China Airlines (CAL) dengan nomor penerbanan 811, Boeing 767. Mereka duduk di kelas ekonomi. Menurut seorang pejabat Departemen Penerangan Taiwan, kantor CAL di Manila sudah memberitahu CAL Taipei bahwa salah seorang penumpang yang akan terbang ke Manila adalah Benigno Aquino. Tetapi dalam manifes penerbangan tidak ada nama itu. "Kami lalu meminta bantuan Perwakilan Kamar Dagang Manila di Taipei," ujar pejabat yang tak mau namanya disebut itu kepada Moh. Cholid dari TEMPO, di Taipei Dekan lalu. "Ternyata mereka -- The Phillipines Asia Exchange Center tadi -- tak mau membantu." Keterangan ini tak serta merta diterima Perwakilan Kadin Manila. Direktur lembaga itu, Narciso Ramos, menerangkan kepada kantor berita Taiwan, Central News Agency, "Karena CAL membawa penumpang yang dokumennya tidak sah, mereka sebetulnya tidak boleh terbang ke Manila." Lebih dari itu, menurut Ramos, "CAL sudah tahu bahwa Marcial Bonifacio itu adalah Aquino." Buktinya, "mereka memberikan pelayanan khusus terhadap orang tersebut." Keterangan yang diberikan memang agak simpang siur. Seorang pejabat lain dari Departemen Penerangan Taiwan malah mengatakan, negeri ini memiliki sistem keamanan sendiri." Maksudnya, "sekuriti kami tidak bisa bertindak seperti FBI atau CIA, kami tidak akan melakukan pemeriksaan ketat pada setiap orang." Di pesawat terbang yang sudah mengudara, Ninoy tampak gembira. Namun ia tak bisa menutupi secercah kekhawatiran. Ia tak bernafsu mencicipi makan siang yang dihidangkan para pramugari. Sementara itu, di bandar udara internasional Manila, gelombang massa mulai mengalir dari berbagai penjuru. Mereka mengenakan pita-pita berwarna kuning. Pada beberapa poster terbaca Maligayang Pagbabalik, Ninoy -- Selamat Pulang Kampung, Ninoy! Di antara rombongan itu terlihat Dona Aurora, 73 tahun, bunda Aquino. "Kami tidak tahu betul apa yang bakal terjadi," tutur Ken Kashiwahara kemudian. "Bagi Ninoy, setiap langkah maju menuju Manila merupakan kemenangan besar. Pukul 13.05 waktu setempat, Minggu 21 Agustus, pesawat menyentuh landasan bandar udara Manila. Sebelum itu Ninoy sempat ke kamar kecil, mengenakan rompi tahan peluru, yang dikatakannya "sama dengan yang dipakai Presiden Ronald Reagan." Suasana perjalanan itu sendiri sebetulnya hangat dan menyenangkan. Para wartawan dan juru kamera tak hentinya memotret setiap gerak-gerik Ninoy. Paling tidak ada sekitar lima penumpang Filipina yang terheran-heran ketika mengenali bekas senator mereka. Dua wanita muda bahkan menghadiahi Ninoy kecupan manis. Dari jendela pesawat yang sedang memutar menuju Gate 8, Ninoy sekilas melihat kerumuman massa yang menyambutnya. Ia tak dapat menyembunyikan kegembiraan. Rupanya Ninoy tidak sempat melihat puluhan petugas berpakaian seragam, plus sekitar 300 berpakaian preman, yang disiagakan menanti kedatangannya. Mereka bertebaran di ruangan tunggu, di kantin, bahkan dekat ke landasan. Makin dekat ke Gate 8, barulah tampak beberapa perwira Komando Metropolitan (Metrocom). Sebuah truk biru dengan tulisan AVSECOM -- Komando Keamanan Penerbangan -- berhenti di landasan. Dari dalamnya berlompatan serdadu dengan seragam biru -- uniform AVSECOM. Kesatuan ini terutama dipersiapkan untuk menghadapi pembajakan di udara. Para penumpang sudah menanggalkan sabuk pengaman, ketika dari pengeras suara terdengar pengumuman agar tiap orang tetap duduk di kursi masing-masing. Dari pintu depan pesawat, sebelah kiri, yang berhubungan dengan tube (terowongan) ke gedung bandar udara, tiga orang berseragam masuk bergegas. Mereka kelak dikenali sebagai Sersan Arnulfo de Mesa dan Sersan Carlo Lat (keduanya dari AVSECOM), dan Agen Polisi Kelas I Mario E. Lagaza (dari Metrocom). Serdadu pertama melewati Aquino tanpa mengenalinya. Tetapi yang kedua segera menghampiri kursi bekas senator itu dan membantunya berdiri. Orang pertama tadi berbalik dan memegangi tangan Aquino yang lain. Petugas ketiga mengambil koper kecil Aquino, dan mereka berempat menuju pintu ke luar. Pada saat itulah Ken Kashiwahara baru sadar apa yang sedang terjadi. Ia sempat melihat, kecerahan pada wajah Ninoy lenyap sama sekali. Iparnya itu tampak murung, menggigit bibir. Ken bangkit dan berteriak: "Kalian tak bisa membawanya begitu saja. Dia adalah iparku." Tetapi para petugas itu tak terlalu ambil pusing. "Baiklah," kata seorang sersan, "kalau begitu silakan tetap duduk di kursi Anda." Rombongan wartawan dan juru kamera berkerumun mengikuti Ninoy dan ketiga petugas itu hingga pintu darurat. Tapi mereka kemudian didorongkan dengan kasar, sehingga beberapa di antaranya jatuh terduduk. Pintu kembali tertutup. Beberapa saat kemudian, sebuah letusan senjata api menyalak di siang bolong itu. Waktunya tepat pukul 13.15 waktu setempat. Sampai di sini, cerita penembakan dan kematian Benigno Aquino mulai terpecah-pecah ke dalam beberapa versi. Menurut Sandra Burton, setelah tembakan pertama itu terdengar dua tembakan lagi, lalu semua penumpang tiarap di lantai. Menurut versi lain, empat detik setelah tembakan pertama, terdengar lima tembakan berikutnya. Para wartawan berebutan menghampiri jendela, berusaha mengetahui keadaan di luar. Di landasan, tampak tubuh Aquino tertelungkup, dengan bagian leher yang basah oleh darah. Menurut seorang penumpang Jerman, Harmutt Albath, darah memancur dari belakang kepala itu bagaikan "sebuah fountain." Dekat tubuh Aquino terkapar sesosok tubuh lain dalam kemeja biru dan celana jean. "Seorang serdadu memberondongkan 16 tembakan ke sekitar lambung orang itu," tulis Sandra Burton. Suasana panik segera memenuhi seantero bandar udara itu. Tubuh Aquino dipapah ke dalam truk AVSECOM, dan dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Darat Fort Bonifacio. Dari sana datang pengumuman, Benigno Aquino wafat sebelum tiba di rumah sakit. Peluru menembus belakang telinya kiri, kemudian keluar di dagu, tepat di bawah bibir. Senjata yang digunakan adalah Smith & Wisson Magnum 357, dengan nomor seri K-919079. Tetapi versi lain dari peristiwa ini diberikan oleh Kiyoshi Wakamiya, yang mengaku sebagai saksi mata. Menurut Wakamiya, ia termasuk wartawan yang jatuh terduduk ketika didorong oleh petugas di pintu ke luar. Ia malah memetik keuntungan dari peristiwa itu. Dari kelangkang seorang juru kamera televisi, katanya, ia bisa mengikuti terus perjalanan Aquino dan keempat pengawal melewati tangga. Tiba-tiba, cerita Wakamiya, dua orang petugas yang menggiring Aquino serentak mencabut pistol, dan menembak tokoh oposisi itu dari belakang. Dalam waktu yang bersamaan, seorang lelaki lain didorongkan dari truk AVSECOM yang siap di landasan, lalu ditembaki sampai mati. Wakamiya sendiri esoknya, 22 Agustus, langsung pulang ke Jepang. Wartawan TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa, tak berhasil menemui Wakamiya. Sabtu 27 Austus baru diketahui ia meninggalkan Hotel New Ohtani, Tokyo, dengan tujuan yang tidak jelas. Ia mengaku sebagai kolumnis mingguan Shukan Sankei. Di mingguan ini, ia memang pernah menulis semacam serial dengan judul Kiyoshi Wakamiya, Perantau Internasional. Ceritanya tentang pembunuhan itu, setelah dicocokkan di sana-sini, sulit dipercaya. Autopsi atas jenazah Ninoy diputuskan bersama oleh Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrille, dan Panglima Angkatan Bersenjata Mayor Jenderal Josephus Ramas. "Saya sendiri ikut menyaksikan autopsi itu," tutur Butz, adik lelaki Ninoy, kepada Isma Sawitri dari TEMPO. Di bandar udara Manila, massa yang panik ditenangkan oleh Salvador "Doy" Laurel. "Ninoy tertembak," pekik Doy di tengah massa. "Kita tidak tahu apakah ia masih hidup." Tak lama kemudian, semua menjadi jelas. Massa yang bubar itu berpindah ke Times Street, Quezon City, rumah keluarga Aquino. Esok paginya, jenazah Aquino tiba di rumah ini. Dona Aurora tak mengizinkan jenazah itu dirapikan atau dipercantik. "Biarlah dunia mengetahui apa yang mereka lakukan terhadap putraku," kata wanita itu. Dan ia tidak menangis. Sejumlah besar teka-teki langsung bangkit setelah peristiwa pembunuhan yang luar biasa ini. Banyak sekali pertanyaan yang tidak terjawab. Dan, tidak aneh, kalau kecurigaan pertama langsung diarahkan ke alamat Marcos, tokoh yang pernah terancam kedudukannya oleh popularitas Aquino. Presiden Marcos sendiri dengan segera mengeluarkan pernyataan. "Saya menyertai bangsa ini dalam mengutuk sekeras-kerasnya pelaku pembunuhan Senator Aquino," demikian bunyi pernyataan itu. Marcos kemudian membentuk Komisi Penyelidik, yang diketuai Enrique M. Fernando, Ketua Mahkamah Agung. Dalam keterangannya kepada TEMPO, Butz Aquino meragukan integritas orang-orang yang duduk dalam komisi itu. "Empat dari lima anggota komisi itu tidak bisa mengatakan 'tidak' kepada Marcos," ujar Butz. Namun ia sendiri berpendapat, "Presiden mungkin tidak terlibat." Lalu, siapa? Tidak ada saksi mata, di luar para petugas yang berjaga di landasan. Satu-satunya yang dituding sebagai pembunuh, langsung tamat samar-samar ia hanya diidentifikasikan sebagai Rolando Vizcarra, alias "Rolly". Menurut Jiji Press, Jepang, Rolando Vizcarra adalah anggota polisi Metropolitan Manila, dengan pangkat sersan. Ia diceritakan tukang minum, dan dalam keadaan mabuk suka menembakkan pistolnya ke atas. Kepolisian Manila segera membantah keterangan ini. Konon dalam daftar anggota mereka memang terdapat dua Vizcarra, tapi bukan yang "Rolly". Sebuah sumber di Manila mengungkapkan kepada TEMPO, bahwa istri 'pembunuh' itu bernama Ruther Batuista. Menurut sumber ini, pihak militer sebetulnya sudah mengetahui identitas "Rolly". Ia seorang residivis. Dan orantuanya pernah merasa dirugikan oleh tindakan Ninoy. Namanya sendiri memang bukan "Rolly". Komisi Penyelidik yang dibentuk Marcos akhirnya tidak karuan. Mula-mula anggota komisi, bekas Ketua Mahkamah Agung Roberto Concepcion mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Marcos menunjuk Jaime Kardinal Sin sebagai pengganti. Sin menolak, dengan alasan kegiatannya dalam Muktamar Gereja Para Uskup. Menurut berita terakhir dari Manila, Ketua Komisi sendiri dengan resmi sudah menyatakan mengundurkan diri. Salah satu pertanyaan besar yang menggoda: mengapa Ninoy mengabaikan semua peringatan atas keselamatannya, dan pulang justru pada saat yang kurang beruntung? Dalam keterangannya kepada seorang wartawan, beberapa minggu sebelum pembunuhan itu, tokoh oposisi ini sempat menjelaskan alasannya. Filipina, menurut Ninoy, sedang terancam oleh persaingan antara kelompok militer dan kiri. Ia mengharapkan semacam rekonsiliasi dengan Marcos, demi menghidupkan kembali demokrasi dengan jalan damai. Ia juga tidak berharap banyak, bila pemilihan umum 1984, seperti dijanjikan Marcos, jadi dilaksanakan. Tapi ia berusaha mengelakkan konfrontasi revolusioner. "Langkah itu sama dengan bunuh diri," katanya. Ia juga sadar partainya sedang terpecah belah. Ia tidak banyak mengharapkan simpati generasi muda, sebab "kami tidak punya media." Tapi dalam satu hal Ninoy tidak setuju dengan tokoh oposisi lainnya. Mereka ini menyimpulkan bahwa Marcos sudah tidak bisa lagi diajak berbicara, dan sudah terlalu tua untuk diganti. Ninoy belum kehilangan harapan. "Dengan pulang kampung ini, saya justru ingin membuktikan pada Marcos bahwa saya tidak bermaksud menggulingkannya," kata Aquino. Kalau begitu, siapa yang mengirimkan peluru maut itu ke tengkuk Ninoy? Mengapa "Rolly" lolos dari pengawalan ketat petugas keamanan, kendati tak memilikl secarik pun kartu pengenal? Mengapa ia bisa begitu dekat dengan Aquino yang dikawal, tanpa lebih dulu mencurigakan? Dan mengapa ia langsung diberondong? Siapa pun penembak Ninoy, ia pasti profesional. Pembunuh itu hanya membutuhkan tembakan tunggal untuk menamatkan sang korban, justru tepat di bagian yang fatal. Sebuah tembakan kedua, atau ketiga, mungkin akan lebih menyingkap misteri. Tapi sebuah tembakan tunggal terlalu cepat untuk dilacak oleh mata telanjang. Pemerintah membuat film rekonstruksi peristiwa itu. Meski tidak diputar untuk umum, wartawan TEMPO Isma Sawitri diberi kesempatan menyaksikan film ini. Tetapi seorang sopir taksi bercerita, melalui saluran 9 yang dikelola perusahaan swasta ia juga menyaksikan film rekonstruksi, yang ternyata lain dengan versi pemerintah. Butz Aquino sendiri mengaku memiliki satu copy rekaman gambar mengenai peristiwa pembunuhan itu. Butz tidak mengatakan di mana film itu sekarang disimpan. Ia hanya memberi isyarat, film dokumentasi itu akan digunakannya sebagai "kartu terakhir" untuk membantah kesimpulan yang mungkin diambil Komisi Pendidikan. Autopsi yang dilakukan terhadap jenazah "Rolly" sangat terlambat. Menurut autopsi itu, Rolly ditembus delapan peluru. Menjelang pemakaman, Rabu lalu, tak putus-putusnya para pelayat antre memberikan penghormatan terakhir kepada Ninoy. Beberapa poster berseru, Ninoy, Hindi Ka Nag Iisa -- "Ninoy, Engkau Tidak Sendirian." Wartawan TEMPO, Bambang Harimurti, yang pergi ke Tarlac, provinsi kelahiran Aquino sekitar 160 km dari Manila, melihat simpati massa yang luar biasa terhadap pemimpin oposisi itu. Ketika Senin siang jenazah dibawa kembali dari Tarlac ke Manila, beberapa wanita pingsan menahan duka. Jalanan antara Tarlac dan Manila macet. Seoran wartawan ABC berkata, "saya teringat pada Jakarta 1966." Tetapi sebuah huru-hara agaknya tidak bakal terjadi. Janda Aquino sendiri, Corazon "Cory" Cojuangoo, putri cantik keluarga paling penting di Provinsi Tarlac itu tidak menginginkan hal ini. "Dengan menempuh kekerasan, kita mengingkari keinginan Ninoy sendiri," katanya. Meski demikian, di Universitas Ramkhamhaeng, para mahasiswa sempat membakar patung Marcos. Mereka sekalian menyelanggarakan diskusi panel dengan tema "Krisis Politik di Filipina". Tentara memang disiagakan di seantero kota, terutama di sekitar kampus. Sementara itu, sebuah sisi lain terungkap lagi dalam pembunuhan yang masih gelap ini. Menurut sebuah sumber, pada mulanya Brigjen Luther Custodia, Komandan AVSECOM, diperintahkan memeriksa dokumen perjalanan Ninoy, kemudian membawa tokoh oposisi itu ke Komando Sekuriti Militer di Fort Bonifacio, untuk ditempatkan di bawah pengawasan Mayor Jenderal Josephus Q. Ramas. Sumber lain menyebutkan, Jenderal Fabian Ver sendiri memerintahkan supaya Aquino langsung dideportasikan, begitu tiba di bandar udara Manila. Ternyata, kedua perintah itu tidak terlaksana. Ketika Mayor Jenderal Prospero A. Olivas, Komandan Metrocom, ditanya mengapa perintah Jenderal Fabian Ver itu tidak dijalankan, Olivas memberi jawaban yang pelik. "Ada perintah dari pejabat yang lebih tinggi, agar Custodio menahan Aquino," katanya. Siapa "pejabat yang lebih tinggi itu?" Dan mengapa perintah "pejabat yang lebih tinggi" itu toh tidak berjalan, bahkan Ninoy dihabiskan? Pertanyaan seperti itu tetap panjang deretannya. Sulitnya bagi Marcos, apa pun nanti yang dikemukakan oleh Komisi Penyelidikan yang dibentuknya, tak bakal dengan cepat dipercaya orang. Terbiasa dengan berita-berita yang disensur, masyarakat Filipina jadi cenderung mencurigai pernyataan resmi apa pun, terutama yang menyangkut keamanan. Dalam kasus terbunuhnya Aquino, krisis kepercayaan itu nampaknya makin memuncak -- apalagi motif orang yang dituduh membunuh musuh politik Marcos itu tetap juga kabur. Berita dan ulasan pers asing juga merepotkan pemerintah Filipina. Harian London The Sunday Times menyatakan telah membuat rekonstruksi yang mendetail peristiwa berdarah di bandar udara Manila itu, dan kesimpulannya meneguhkan apa yang jadi kecurigaan selama ini: Aquino ditembak salah satu orang tentara. Tuduhan semacam itu -- yang di Manila difotokopi dan diedarkan dengan bersemangat kepada para pembaca koran lokal yang tak puas -- menyebabkan Marcos berada dalam posisi defensif. Kalaupun pihak oposisi dalam hari-hari ini ternyata tak dapat berbuat banyak untuk menumbangkannya, mereka berada di atas angin: Marcos bukan saja harus membuktikan dirinya tak bersih rapi juga membersihkan nama jenderal-jenderalnya. Masa 18 tahun pemerintahannya nampaknya memang sedang menuju titik balik. Penerus yang cukup kuat belum tampak sama sekali -- sementara ia dikabarkan sakit (lihat: Dari Lawan-laan ...). Aquino pulang untuk mengelakkan Filipina dari kekuasaan militer maupun komunis, tapi dia dicegat. Tampaknya ada tangan-tangan yang saling berebutan 'menjamah' Ninoy. Dan tokoh yang begitu percaya kepada demokrasi itu, kalau betul ia pulang untuk semacam 'rujuk nasional', telah menjadi korban dari suatu harapan dan cita-cita yang makin jauh. Dan, anehnya, ia sendiri sadar, Filipina bisa sewaktu-waktu menjadi "El Salvador yang lain", atau "Nikaragua kedua". Paling tidak jadi sebuah teka-teki, untuk masa yang belum menentu, seperti pertanyaannya sebelum ditembak: Ke mana kita akan pergi? Akan jadi suatu tragedi bila jawabannya juga: "Hanya ke bawah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus