KALIMAT terakhir yang diucapkan Aquino setelah tiba di tanah
airnya ialah "Saan tayo pupunta?" Kalimat Tagalog ini berarti:
"Ke mana kita akan pergi?" Sersan Avsecom itu menjawab tenang,
"Diyan lang po" -- "Hanya ke bawah."
Jarak antara jawaban sang sersan dan letupan peluru pertama tak
sampai enam puluh detik. Tetapi jarak sejarah yang
memisahkannya alangkah jauh. Tak ada lain Benigno "Ninoy"
Aquino, "anak ajaib" di atas panggung politik Filipina, bekas
gubernur dan senator termuda, dan musuh bebuyutan Presiden
Ferdinand Marcos.
Sejak 7 Agustus Ninoy menyatakan niatnya untuk pulang ke tanah
air. Tetapi kesulitan paspor menyebabkan rencana itu tertunda.
Beberapa hari sebelum 21 Agustus, hambatan ini rupanya sudah
teratasi. Dari Boston, melalui telepon, Ninoy memberitahu
adiknya, Butz, bahwa ia segera pulang.
Butz segera menyampaikan berita penting itu kepada para pengikut
dan simpatisan Aquino. Mereka mulai merencanakan upacara
penyambutan. "Jika Ninoy jadi pulang pada 7 Agustus, mungkin
hanya 10 ribu orang yang datang menyambut," tutur Butz kepada
Isma Sawitri dan Bambang Harimurti dari TEMPO, pekan lalu.
Karena diundurkan menjadi 21 Agustus, jumlah massa yang
mengelu-elukan hampir 20 ribu orang. "Tidak hanya dari Manila,
tapi hampir dari tiap pelosok negeri ini," kata Butz
menambahkan.
Perjalanan pulang Aquino dimulai dari Boston, 13 Agustus,
menumpang pesawat American Airlines dengan nomor penerbangan
195, yang berangkat pukul 12.55 waktu setempat. Pesawat ini
terbang menuju Chicago, kemudian Los Angeles. Di kota terakhir
ini Ninoy rupanya menyempatkan diri menginap semalam.
Ahad 14 Agustus, perjalanan dilanjutkan menuju Tokyo dengan
pesawat Pan Am. Persinggahan selanjutnya adalah Hong Kong dan
Singapura. Sampai titik ini, Ninoy menggunakan paspor atas
namanya sendiri. Tak jelas dari mana ia memperoleh paspor ini.
Menurut keterangan Ninoy sendiri, "dari seorang rekan di
konsulat Filipina di suatu tempat." Ia konon menerima paspor itu
dalam keadaan kosong.
Mulai dari Singapura, Aquino menggunakan paspor lain, atas nama
Marcial Bonifacio. Paspor itu konon diterimanya dari seorang
muslim Filipina, sekali lagi dalam keadaan kosong. Nama Marcial
Bonifacio mengingatkan orang pada Martial Law (undang-undang
darurat), dan Fort Bonifacio -- penjara tempat Ninoy dikurung
selama tujuh tahun. Penjara itu sendiri mengambil nama Andres
Bonifacio, pemimpin revolusi Katipunan melawan Spanyol, Agustus
1896.
Dari Singapura, Ninoy berbelok ke Kuala Lumpur. Ia kabarnya
menemui beberapa rekan diplomat di negeri itu. Tetapi Deputi
Menteri Luar Negeri Malaysia, Abdul Kadir Seikh Fadzir, dua
pekan lalu mengatakan tidak tahu menahu akan kehadiran Aquino di
negerinya. Menurut harian The News Straits Times, Ninoy memang
menjumpai beberapa sahabat di Singapura, Johor Baru, dan Kuala
Lumpur. Beberapa sumber malah menyebutkan tokoh oposisi Filipina
itu menjadi tamu Sultan Johor pada 16 Agustus. Ia tiba di Johor
Baru dengan kereta api dari Singapura.
Jumat 19 Agustus, dari Singapura Aquino terbang ke Taipei,
melalui Hong Kong. Di bandar udara internasional Kaytak, seorang
Filipina konon mengenali bekas senator itu, dan mengangguk
hormat. Ninoy bergegas menyingkir.
Ada tiga alasan mengapa Aquino memilih Taiwan sebagai batu
loncatan terakhir, sebelum menginjakkan kaki ke tanah airnya.
Pertama, Filipina tidak mempunyai hubungan diplomati dengan
Taiwan, sehingga pemerintah Filipina tidak bisa memaksakan
sesuatu terhadap Taiwan. Kedua, Taiwan dan RRC sama-sama
bertindak keras terhadap penggunaan senjata api tanpa izin,
sehingga tipis sekali kemungkinan Ninoy terjebak di tangan
seorang pembunuh bayaran. Dan ketiga, setiap orang yang memasuki
Taiwan harus mempunyai visa, sehingga sedikit banyaknya sebuah
tim pembunuh mengalami hambatan untuk masuk.
Di Taipei, Aquino bermalam di Grand Hotel (Yuan Shu Da Fon
Dian), hotel paling mahal di Taiwan. Hotel ini terletak di tepi
kota, dan satu-satunya yang bergaya arsitektur Cina. Di kota
inilah tampaknya Aquino merancang perjalanan pulangnya lebih
matang dan terperinci.
Sekitar 12 wartawan dan juru kamera mengikuti penerbangan Ninoy
dari Taipei ke Manila. Tidak jelas apakah semua mereka menerima
undangan resmi secara langsung, atau melalui kantor
masing-masing. Kepala Biro Hong Kong majalah Time, Sandra
Burton, misalnya, selesai melakukan sebuah laporan tentang
Indonesia langsung berangkat ke Taipei berdasarkan jadwal yang
ditentukan sebelumnya. Wartawan yang paling dekat dengan Aquino,
dan menyertai perjalanannya sejak awal ialah Ken Kashiwahara, 43
tahun, suami Lupita, adik perempuan Ninoy.
Minggu pagi 21 Agustus itu, Ninoy sarapan pagi di dalam
kamarnya. Seorang wartawan Jepang lagi, Kiyoshi Wakamiya,
mengaku berada di dalam kamar itu. Dari Taipei pula Ninoy
tampaknya menghubungi beberapa rekannya di luar negeri. Des
Alwi, bekas atase pers Indonesia mengaku sebagai salah seorang
yang menerima telepon Ninoy. "Kontak terakhir dengan Ninoy
terjadi Sabtu malam, 20 Agustus, 15 jam sebelum dia mati
terbunuh," tutur Des kepada Farida Sendjaja dari TEMPO, pekan
lalu.
Ninoy konon menanyakan kemungkinan terbang ke Manila melalui
Sabah, dengan pesawat Garuda. "Tapi Garuda yang singgah di Sabah
tidak mengangkut penumpang," jawab Des. Lagi pula, "ada problem
check in untuk masuk negara-negara ASEAN."
Menurut penuturan Kashiwahara, Ninoy tampak cerah pada pagi
menjelang keberangkatan. Mereka berbincang-bincang mengenai
pakaian yang akan dikenakan Aquino menuju Manila. Bekas senator
itu akhirnya memilih setelan putih, yang tiga tahun lalu
dikenakannya ketika berangkat ke Amerika.
Dari Taipei pula Ninoy sempat menghubungi istrinya, Corazon --
Cory -- yang tinggal di Newton, Massachussetts. Tak jelas apa
yang mereka perbincangkan. Kemudian ternyata, dari seberang sana
Cory membacakan kutipan Kitab Suci untuk sang suami. Itulah
rupanya percakapan mereka yang terakhir.
Selesai makan pagi, kafilah itu berangkat menuju bandar udara
internasional Chiang Kai Shek, Taipei. Masih menggunakan nama
Marcial Bonifacio, pemimpin Partai Liberal yang terlarang itu
menaiki pesawat China Airlines (CAL) dengan nomor penerbanan
811, Boeing 767. Mereka duduk di kelas ekonomi.
Menurut seorang pejabat Departemen Penerangan Taiwan, kantor CAL
di Manila sudah memberitahu CAL Taipei bahwa salah seorang
penumpang yang akan terbang ke Manila adalah Benigno Aquino.
Tetapi dalam manifes penerbangan tidak ada nama itu. "Kami lalu
meminta bantuan Perwakilan Kamar Dagang Manila di Taipei," ujar
pejabat yang tak mau namanya disebut itu kepada Moh. Cholid dari
TEMPO, di Taipei Dekan lalu. "Ternyata mereka -- The Phillipines
Asia Exchange Center tadi -- tak mau membantu."
Keterangan ini tak serta merta diterima Perwakilan Kadin Manila.
Direktur lembaga itu, Narciso Ramos, menerangkan kepada kantor
berita Taiwan, Central News Agency, "Karena CAL membawa
penumpang yang dokumennya tidak sah, mereka sebetulnya tidak
boleh terbang ke Manila." Lebih dari itu, menurut Ramos, "CAL
sudah tahu bahwa Marcial Bonifacio itu adalah Aquino."
Buktinya, "mereka memberikan pelayanan khusus terhadap orang
tersebut."
Keterangan yang diberikan memang agak simpang siur. Seorang
pejabat lain dari Departemen Penerangan Taiwan malah
mengatakan, negeri ini memiliki sistem keamanan sendiri."
Maksudnya, "sekuriti kami tidak bisa bertindak seperti FBI atau
CIA, kami tidak akan melakukan pemeriksaan ketat pada setiap
orang."
Di pesawat terbang yang sudah mengudara, Ninoy tampak gembira.
Namun ia tak bisa menutupi secercah kekhawatiran. Ia tak
bernafsu mencicipi makan siang yang dihidangkan para pramugari.
Sementara itu, di bandar udara internasional Manila, gelombang
massa mulai mengalir dari berbagai penjuru. Mereka mengenakan
pita-pita berwarna kuning. Pada beberapa poster terbaca
Maligayang Pagbabalik, Ninoy -- Selamat Pulang Kampung, Ninoy!
Di antara rombongan itu terlihat Dona Aurora, 73 tahun, bunda
Aquino.
"Kami tidak tahu betul apa yang bakal terjadi," tutur Ken
Kashiwahara kemudian. "Bagi Ninoy, setiap langkah maju menuju
Manila merupakan kemenangan besar. Pukul 13.05 waktu setempat,
Minggu 21 Agustus, pesawat menyentuh landasan bandar udara
Manila. Sebelum itu Ninoy sempat ke kamar kecil, mengenakan
rompi tahan peluru, yang dikatakannya "sama dengan yang dipakai
Presiden Ronald Reagan."
Suasana perjalanan itu sendiri sebetulnya hangat dan
menyenangkan. Para wartawan dan juru kamera tak hentinya
memotret setiap gerak-gerik Ninoy. Paling tidak ada sekitar lima
penumpang Filipina yang terheran-heran ketika mengenali bekas
senator mereka. Dua wanita muda bahkan menghadiahi Ninoy kecupan
manis.
Dari jendela pesawat yang sedang memutar menuju Gate 8, Ninoy
sekilas melihat kerumuman massa yang menyambutnya. Ia tak dapat
menyembunyikan kegembiraan. Rupanya Ninoy tidak sempat melihat
puluhan petugas berpakaian seragam, plus sekitar 300 berpakaian
preman, yang disiagakan menanti kedatangannya. Mereka bertebaran
di ruangan tunggu, di kantin, bahkan dekat ke landasan.
Makin dekat ke Gate 8, barulah tampak beberapa perwira Komando
Metropolitan (Metrocom). Sebuah truk biru dengan tulisan AVSECOM
-- Komando Keamanan Penerbangan -- berhenti di landasan. Dari
dalamnya berlompatan serdadu dengan seragam biru -- uniform
AVSECOM. Kesatuan ini terutama dipersiapkan untuk menghadapi
pembajakan di udara.
Para penumpang sudah menanggalkan sabuk pengaman, ketika dari
pengeras suara terdengar pengumuman agar tiap orang tetap duduk
di kursi masing-masing. Dari pintu depan pesawat, sebelah kiri,
yang berhubungan dengan tube (terowongan) ke gedung bandar
udara, tiga orang berseragam masuk bergegas. Mereka kelak
dikenali sebagai Sersan Arnulfo de Mesa dan Sersan Carlo Lat
(keduanya dari AVSECOM), dan Agen Polisi Kelas I Mario E. Lagaza
(dari Metrocom).
Serdadu pertama melewati Aquino tanpa mengenalinya. Tetapi yang
kedua segera menghampiri kursi bekas senator itu dan
membantunya berdiri. Orang pertama tadi berbalik dan memegangi
tangan Aquino yang lain. Petugas ketiga mengambil koper kecil
Aquino, dan mereka berempat menuju pintu ke luar.
Pada saat itulah Ken Kashiwahara baru sadar apa yang sedang
terjadi. Ia sempat melihat, kecerahan pada wajah Ninoy lenyap
sama sekali. Iparnya itu tampak murung, menggigit bibir.
Ken bangkit dan berteriak: "Kalian tak bisa membawanya begitu
saja. Dia adalah iparku." Tetapi para petugas itu tak terlalu
ambil pusing. "Baiklah," kata seorang sersan, "kalau begitu
silakan tetap duduk di kursi Anda."
Rombongan wartawan dan juru kamera berkerumun mengikuti Ninoy
dan ketiga petugas itu hingga pintu darurat. Tapi mereka
kemudian didorongkan dengan kasar, sehingga beberapa di
antaranya jatuh terduduk. Pintu kembali tertutup.
Beberapa saat kemudian, sebuah letusan senjata api menyalak di
siang bolong itu. Waktunya tepat pukul 13.15 waktu setempat.
Sampai di sini, cerita penembakan dan kematian Benigno Aquino
mulai terpecah-pecah ke dalam beberapa versi.
Menurut Sandra Burton, setelah tembakan pertama itu terdengar
dua tembakan lagi, lalu semua penumpang tiarap di lantai.
Menurut versi lain, empat detik setelah tembakan pertama,
terdengar lima tembakan berikutnya. Para wartawan berebutan
menghampiri jendela, berusaha mengetahui keadaan di luar.
Di landasan, tampak tubuh Aquino tertelungkup, dengan bagian
leher yang basah oleh darah. Menurut seorang penumpang Jerman,
Harmutt Albath, darah memancur dari belakang kepala itu bagaikan
"sebuah fountain." Dekat tubuh Aquino terkapar sesosok tubuh
lain dalam kemeja biru dan celana jean. "Seorang serdadu
memberondongkan 16 tembakan ke sekitar lambung orang itu," tulis
Sandra Burton. Suasana panik segera memenuhi seantero bandar
udara itu.
Tubuh Aquino dipapah ke dalam truk AVSECOM, dan dilarikan ke
Rumah Sakit Angkatan Darat Fort Bonifacio. Dari sana datang
pengumuman, Benigno Aquino wafat sebelum tiba di rumah sakit.
Peluru menembus belakang telinya kiri, kemudian keluar di dagu,
tepat di bawah bibir. Senjata yang digunakan adalah Smith &
Wisson Magnum 357, dengan nomor seri K-919079.
Tetapi versi lain dari peristiwa ini diberikan oleh Kiyoshi
Wakamiya, yang mengaku sebagai saksi mata. Menurut Wakamiya, ia
termasuk wartawan yang jatuh terduduk ketika didorong oleh
petugas di pintu ke luar. Ia malah memetik keuntungan dari
peristiwa itu. Dari kelangkang seorang juru kamera televisi,
katanya, ia bisa mengikuti terus perjalanan Aquino dan keempat
pengawal melewati tangga.
Tiba-tiba, cerita Wakamiya, dua orang petugas yang menggiring
Aquino serentak mencabut pistol, dan menembak tokoh oposisi itu
dari belakang. Dalam waktu yang bersamaan, seorang lelaki lain
didorongkan dari truk AVSECOM yang siap di landasan, lalu
ditembaki sampai mati. Wakamiya sendiri esoknya, 22 Agustus,
langsung pulang ke Jepang.
Wartawan TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa, tak berhasil menemui
Wakamiya. Sabtu 27 Austus baru diketahui ia meninggalkan Hotel
New Ohtani, Tokyo, dengan tujuan yang tidak jelas. Ia mengaku
sebagai kolumnis mingguan Shukan Sankei. Di mingguan ini, ia
memang pernah menulis semacam serial dengan judul Kiyoshi
Wakamiya, Perantau Internasional. Ceritanya tentang pembunuhan
itu, setelah dicocokkan di sana-sini, sulit dipercaya.
Autopsi atas jenazah Ninoy diputuskan bersama oleh Menteri
Pertahanan Juan Ponce Enrille, dan Panglima Angkatan Bersenjata
Mayor Jenderal Josephus Ramas. "Saya sendiri ikut menyaksikan
autopsi itu," tutur Butz, adik lelaki Ninoy, kepada Isma
Sawitri dari TEMPO.
Di bandar udara Manila, massa yang panik ditenangkan oleh
Salvador "Doy" Laurel. "Ninoy tertembak," pekik Doy di tengah
massa. "Kita tidak tahu apakah ia masih hidup." Tak lama
kemudian, semua menjadi jelas. Massa yang bubar itu berpindah ke
Times Street, Quezon City, rumah keluarga Aquino. Esok paginya,
jenazah Aquino tiba di rumah ini. Dona Aurora tak mengizinkan
jenazah itu dirapikan atau dipercantik. "Biarlah dunia
mengetahui apa yang mereka lakukan terhadap putraku," kata
wanita itu. Dan ia tidak menangis.
Sejumlah besar teka-teki langsung bangkit setelah peristiwa
pembunuhan yang luar biasa ini. Banyak sekali pertanyaan yang
tidak terjawab. Dan, tidak aneh, kalau kecurigaan pertama
langsung diarahkan ke alamat Marcos, tokoh yang pernah terancam
kedudukannya oleh popularitas Aquino.
Presiden Marcos sendiri dengan segera mengeluarkan pernyataan.
"Saya menyertai bangsa ini dalam mengutuk sekeras-kerasnya
pelaku pembunuhan Senator Aquino," demikian bunyi pernyataan
itu. Marcos kemudian membentuk Komisi Penyelidik, yang diketuai
Enrique M. Fernando, Ketua Mahkamah Agung.
Dalam keterangannya kepada TEMPO, Butz Aquino meragukan
integritas orang-orang yang duduk dalam komisi itu. "Empat dari
lima anggota komisi itu tidak bisa mengatakan 'tidak' kepada
Marcos," ujar Butz. Namun ia sendiri berpendapat, "Presiden
mungkin tidak terlibat." Lalu, siapa?
Tidak ada saksi mata, di luar para petugas yang berjaga di
landasan. Satu-satunya yang dituding sebagai pembunuh, langsung
tamat samar-samar ia hanya diidentifikasikan sebagai Rolando
Vizcarra, alias "Rolly".
Menurut Jiji Press, Jepang, Rolando Vizcarra adalah anggota
polisi Metropolitan Manila, dengan pangkat sersan. Ia
diceritakan tukang minum, dan dalam keadaan mabuk suka
menembakkan pistolnya ke atas. Kepolisian Manila segera
membantah keterangan ini. Konon dalam daftar anggota mereka
memang terdapat dua Vizcarra, tapi bukan yang "Rolly".
Sebuah sumber di Manila mengungkapkan kepada TEMPO, bahwa istri
'pembunuh' itu bernama Ruther Batuista. Menurut sumber ini,
pihak militer sebetulnya sudah mengetahui identitas "Rolly". Ia
seorang residivis. Dan orantuanya pernah merasa dirugikan oleh
tindakan Ninoy. Namanya sendiri memang bukan "Rolly".
Komisi Penyelidik yang dibentuk Marcos akhirnya tidak karuan.
Mula-mula anggota komisi, bekas Ketua Mahkamah Agung Roberto
Concepcion mengundurkan diri dengan alasan kesehatan. Marcos
menunjuk Jaime Kardinal Sin sebagai pengganti. Sin menolak,
dengan alasan kegiatannya dalam Muktamar Gereja Para Uskup.
Menurut berita terakhir dari Manila, Ketua Komisi sendiri dengan
resmi sudah menyatakan mengundurkan diri.
Salah satu pertanyaan besar yang menggoda: mengapa Ninoy
mengabaikan semua peringatan atas keselamatannya, dan pulang
justru pada saat yang kurang beruntung? Dalam keterangannya
kepada seorang wartawan, beberapa minggu sebelum pembunuhan itu,
tokoh oposisi ini sempat menjelaskan alasannya. Filipina,
menurut Ninoy, sedang terancam oleh persaingan antara kelompok
militer dan kiri. Ia mengharapkan semacam rekonsiliasi dengan
Marcos, demi menghidupkan kembali demokrasi dengan jalan damai.
Ia juga tidak berharap banyak, bila pemilihan umum 1984, seperti
dijanjikan Marcos, jadi dilaksanakan. Tapi ia berusaha
mengelakkan konfrontasi revolusioner. "Langkah itu sama dengan
bunuh diri," katanya.
Ia juga sadar partainya sedang terpecah belah. Ia tidak banyak
mengharapkan simpati generasi muda, sebab "kami tidak punya
media." Tapi dalam satu hal Ninoy tidak setuju dengan tokoh
oposisi lainnya. Mereka ini menyimpulkan bahwa Marcos sudah
tidak bisa lagi diajak berbicara, dan sudah terlalu tua untuk
diganti. Ninoy belum kehilangan harapan. "Dengan pulang kampung
ini, saya justru ingin membuktikan pada Marcos bahwa saya tidak
bermaksud menggulingkannya," kata Aquino.
Kalau begitu, siapa yang mengirimkan peluru maut itu ke tengkuk
Ninoy? Mengapa "Rolly" lolos dari pengawalan ketat petugas
keamanan, kendati tak memilikl secarik pun kartu pengenal?
Mengapa ia bisa begitu dekat dengan Aquino yang dikawal, tanpa
lebih dulu mencurigakan? Dan mengapa ia langsung diberondong?
Siapa pun penembak Ninoy, ia pasti profesional. Pembunuh itu
hanya membutuhkan tembakan tunggal untuk menamatkan sang korban,
justru tepat di bagian yang fatal. Sebuah tembakan kedua, atau
ketiga, mungkin akan lebih menyingkap misteri. Tapi sebuah
tembakan tunggal terlalu cepat untuk dilacak oleh mata
telanjang.
Pemerintah membuat film rekonstruksi peristiwa itu. Meski tidak
diputar untuk umum, wartawan TEMPO Isma Sawitri diberi
kesempatan menyaksikan film ini. Tetapi seorang sopir taksi
bercerita, melalui saluran 9 yang dikelola perusahaan swasta ia
juga menyaksikan film rekonstruksi, yang ternyata lain dengan
versi pemerintah.
Butz Aquino sendiri mengaku memiliki satu copy rekaman gambar
mengenai peristiwa pembunuhan itu. Butz tidak mengatakan di mana
film itu sekarang disimpan. Ia hanya memberi isyarat, film
dokumentasi itu akan digunakannya sebagai "kartu terakhir"
untuk membantah kesimpulan yang mungkin diambil Komisi
Pendidikan.
Autopsi yang dilakukan terhadap jenazah "Rolly" sangat
terlambat. Menurut autopsi itu, Rolly ditembus delapan peluru.
Menjelang pemakaman, Rabu lalu, tak putus-putusnya para pelayat
antre memberikan penghormatan terakhir kepada Ninoy. Beberapa
poster berseru, Ninoy, Hindi Ka Nag Iisa -- "Ninoy, Engkau Tidak
Sendirian." Wartawan TEMPO, Bambang Harimurti, yang pergi ke
Tarlac, provinsi kelahiran Aquino sekitar 160 km dari Manila,
melihat simpati massa yang luar biasa terhadap pemimpin oposisi
itu. Ketika Senin siang jenazah dibawa kembali dari Tarlac ke
Manila, beberapa wanita pingsan menahan duka. Jalanan antara
Tarlac dan Manila macet. Seoran wartawan ABC berkata, "saya
teringat pada Jakarta 1966."
Tetapi sebuah huru-hara agaknya tidak bakal terjadi. Janda
Aquino sendiri, Corazon "Cory" Cojuangoo, putri cantik keluarga
paling penting di Provinsi Tarlac itu tidak menginginkan hal
ini. "Dengan menempuh kekerasan, kita mengingkari keinginan
Ninoy sendiri," katanya. Meski demikian, di Universitas
Ramkhamhaeng, para mahasiswa sempat membakar patung Marcos.
Mereka sekalian menyelanggarakan diskusi panel dengan tema
"Krisis Politik di Filipina".
Tentara memang disiagakan di seantero kota, terutama di sekitar
kampus. Sementara itu, sebuah sisi lain terungkap lagi dalam
pembunuhan yang masih gelap ini. Menurut sebuah sumber, pada
mulanya Brigjen Luther Custodia, Komandan AVSECOM, diperintahkan
memeriksa dokumen perjalanan Ninoy, kemudian membawa tokoh
oposisi itu ke Komando Sekuriti Militer di Fort Bonifacio, untuk
ditempatkan di bawah pengawasan Mayor Jenderal Josephus Q.
Ramas.
Sumber lain menyebutkan, Jenderal Fabian Ver sendiri
memerintahkan supaya Aquino langsung dideportasikan, begitu tiba
di bandar udara Manila. Ternyata, kedua perintah itu tidak
terlaksana. Ketika Mayor Jenderal Prospero A. Olivas, Komandan
Metrocom, ditanya mengapa perintah Jenderal Fabian Ver itu tidak
dijalankan, Olivas memberi jawaban yang pelik. "Ada perintah
dari pejabat yang lebih tinggi, agar Custodio menahan Aquino,"
katanya. Siapa "pejabat yang lebih tinggi itu?" Dan mengapa
perintah "pejabat yang lebih tinggi" itu toh tidak berjalan,
bahkan Ninoy dihabiskan?
Pertanyaan seperti itu tetap panjang deretannya. Sulitnya bagi
Marcos, apa pun nanti yang dikemukakan oleh Komisi Penyelidikan
yang dibentuknya, tak bakal dengan cepat dipercaya orang.
Terbiasa dengan berita-berita yang disensur, masyarakat Filipina
jadi cenderung mencurigai pernyataan resmi apa pun, terutama
yang menyangkut keamanan.
Dalam kasus terbunuhnya Aquino, krisis kepercayaan itu nampaknya
makin memuncak -- apalagi motif orang yang dituduh membunuh
musuh politik Marcos itu tetap juga kabur. Berita dan ulasan
pers asing juga merepotkan pemerintah Filipina. Harian London
The Sunday Times menyatakan telah membuat rekonstruksi yang
mendetail peristiwa berdarah di bandar udara Manila itu, dan
kesimpulannya meneguhkan apa yang jadi kecurigaan selama ini:
Aquino ditembak salah satu orang tentara.
Tuduhan semacam itu -- yang di Manila difotokopi dan diedarkan
dengan bersemangat kepada para pembaca koran lokal yang tak puas
-- menyebabkan Marcos berada dalam posisi defensif. Kalaupun
pihak oposisi dalam hari-hari ini ternyata tak dapat berbuat
banyak untuk menumbangkannya, mereka berada di atas angin:
Marcos bukan saja harus membuktikan dirinya tak bersih rapi
juga membersihkan nama jenderal-jenderalnya.
Masa 18 tahun pemerintahannya nampaknya memang sedang menuju
titik balik. Penerus yang cukup kuat belum tampak sama sekali --
sementara ia dikabarkan sakit (lihat: Dari Lawan-laan ...).
Aquino pulang untuk mengelakkan Filipina dari kekuasaan militer
maupun komunis, tapi dia dicegat.
Tampaknya ada tangan-tangan yang saling berebutan 'menjamah'
Ninoy. Dan tokoh yang begitu percaya kepada demokrasi itu, kalau
betul ia pulang untuk semacam 'rujuk nasional', telah menjadi
korban dari suatu harapan dan cita-cita yang makin jauh. Dan,
anehnya, ia sendiri sadar, Filipina bisa sewaktu-waktu menjadi
"El Salvador yang lain", atau "Nikaragua kedua". Paling tidak
jadi sebuah teka-teki, untuk masa yang belum menentu, seperti
pertanyaannya sebelum ditembak: Ke mana kita akan pergi?
Akan jadi suatu tragedi bila jawabannya juga: "Hanya ke bawah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini