KUBU oposisi kembali harus mengakui Partai Aksi Rakyat (PAP) masih mencengkeram kuat rakyat Singapura. Hasil pemungutan suara, yang diumumkan Minggu subuh pekan lalu, membuktikannya. Dari 81 kursi parlemen yang diperebutkan, kelompok oposisi hanya sanggup menggaet satu kursi. "Masa peralihan sudah komplet," komentar Perdana Menteri Lee Kuan Yew tentang sukses PAP. Lee memang boleh menepuk dada. Kemenangan PAP itu dicapai tanpa campur tangan golongan gaek-gaek. Tapi sepenuhnya oleh generasi muda partai, yang rata-rata berumur sekitar 40 tahun. Itu sesuai dengan kehendak Lee menjadikan Pemilu 1988 ini sebagai ujian terakhir generasi penerus PAP. Karena itu, hanya Lee dari generasi pertama PAP yang ikut bertanding. Kepuasan Lee juga tak terlepas dari keberhasilan 14 wajah baru yang ditampilkan PAP. Mereka ternyata mampu menyabet 13 kursi. Satu-satunya yang gagal adalah Kenneth Tan yang bertanding di wilayah pemilihan Potong Pasir. Ia dikalahkan oleh tokoh oposisi kawakan Chiam See Tong, Sekjen Partai Demokrasi Singapura (SDP), yang menduduki peringkat kedua terbesar dibanding sembilan partai oposisi lainnya. "Saya akan melepaskan jabatan perdana menteri setiap-saat kalau penerus saya sudah merasa siap," ujar Lee seusai penghitungan suara. Sekalipun Lee pernah mengisyaratkan akan mundur di hari ulang tahunnya yang ke-65, minggu depan, toh kelihatan proses penggantian tak akan secepat itu. Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan Goh Chok Tong, yang disebut-sebut pewaris utama Lee, mengatakan dirinya siap mengambil alih tugas sebelum dua tahun. Tapi Goh adalah orang yang ditugasi Lee untuk menyusun anggota kabinet baru, yang diumumkan pekan ini. Betulkah Goh pemimpin Singapura di masa depan? Banyak pengamat yakin bahwa Goh hanya akan memangku jabatan perdana menteri untuk waktu singkat. Selanjutnya, Lee Hsien Loong yang bakal duduk di situ. Isyarat itu sudah dilontarkan Goh, pekan lalu, dengan mengaku belum tahu pasti peringkatnya sebagai calon perdana menteri. "Peringkat pertama mungkin masih dijatuhkan pada Lee Hsien Loong," ujarnya. Kekaguman Goh pada kedua Lee, yang sermg diyatakannya secara terbuka, membuat orang Nomor 2 Singapura itu dijuluki orang-orang oposisi sebagai "orang kasim (pembantu yang dikebiri) keluarga Lee". Karena itu, PAP sampai memasang taktik khusus untuk menampilkan Goh sebagai tokoh mandiri. Soalnya, dua hari menjelang hari pencalonan, dalam sebuah ceramah di depan para mahasiswa, Lee menyarankan Goh berkonsultasi dengan psikolog agar bisa berkomunikasi lebih lancar. Tapi anjuran itu dijawab Goh tak kalah keras, dan sempat membuat bingung para pengamat politik di Singapura. Ia menyatakan akan tetap mempertahankan gaya lamanya, dan merasa tak perlu mengikuti saran Lee itu. Orang baru lega setelah Goh menyatakan akan siap menduduki kursi perdana menteri. Tapi tokoh yang diberi kesempatan menjaring popularitas dalam pemilu kemarin bukan Goh, melainkan Lee muda. Dialah satu-satunya kontestan PAP yang mucul tiga kali dalam debat di televisi, sementara kontestan lainnya hanya kebagian satu kali. Perlakuan istimewa terhadap Lee itu sempat mengguncang Singapura, Jumat pekan lalu. Sekitar pukul 22.00, diperkirakan 300 sampai 400 pendukung Partai Pekerja (WP), seusai mengadakan kampanye di daerah pemilihan Bedok, menyerbu mobil stasiun keliling milik Singapore Broadcasting Corporation (SBC). Mobil itu dihajar para demonstran. Singapura kontan geger, karena ulah semacam itu sudah ditinggalkan belasan tahun silam. Goh, yang dikenal berperi laku paling kalem, sampai naik pitam melihat ulah pendukung WP itu. "Saya tak menginginkan pemilu seperti di Muangthai atau Filipina," ujarnya. "Kandidat ditembak, dan para pendukungnya baku hantam." Setelah alih generasi dilakukan, apa yang akan diperbuat Perdana Menteri Lee? Lee belum memberi kepastian. Dia cuma bilang, itu tergantung situasi nanti. Yang pasti, dia mengaku tak mengenal pensiun. Maka, kubu oposisi tetap yakin Leemengincar kursi presiden. Dasar pertimbangannya: Buku Putih yang diajukan pemerintah kepada parlemen dua bulan lalu. Dalam Buku Putih itu, antara lain tertulis usul agar presiden Singapura di masa mendatang dipilih lewat pemilu dan diberi hak veto dalam pemakaian dana cadangan negara, pengangkatan pejabat pemerintah di posisi-posisi strategis, dan pengesahan rancangan kebijaksanaan pemerintah. Kalau usul-usul dalam buku itu diloloskan, menurut oposisi, jelas akan membuka jalan bagi presiden menjadi diktator. Klop dengan isu yang santer dibicarakan kelompok oposisi akhir-akhir ini. "Lee akan terus berkuasa sampai mati," ejek Chiam See Tong. Belakangan tersiar kabar Lee akan tetap mempertahankan jabatan sebagai Sekjen PAP. Saat ini memang belum menunjukkan gelala parlemen akan membidani kelahiran seorang penguasa gaek di Singapura. Menurut tokoh oposisi, Chiam, kecenderungan itu baru akan tampak dalam pemilu mendatang. Tapi pendekar oposisi yang lain, Jeyaretnam, sudah berjaga-jaga dengan menawarkan jalan tengah berupa penyerahan kekuasaan baru yang akan disampaikan kepada presiden diberikan kepada parlemen. Sebab, parlemen lebih mewakili rakyat. Kekhawatiran Jeya itu dibantah Lee muda. Seorang presiden, katanya, tak akan bisa menjadi diktator kalau hanya punya hak untuk bilang "tidak". Sistem kepresidenan baru itu bagian dari rencana jangka panjang PAP untuk mempertahankan kekuasaan. Suatu saat, ketika kekuatan oposisi di parlemen mampu bersaing, PAP masih bisa berkelit dengan menguasai kursi presiden, sehingga Singapura akan tetap memiliki pemerintahan yang kuat dan terpusat. Menurut Chiam, langkah itu tak wajar. Repotnya, Lee hanya mengenal struktur pemenntahan yang bersifat kuat, terpusat, dan konfusianis. Konfusianis? Kata Chiam, Konfusius mengajarkan sebuah sistem kontrak sosial yang sebenarnya bermaksud mulia. "Selama pemerintah masih memberi kesejahteraan fisik, rakyat harus patuh." Persoalannya, ajaran itu diselewengkan untuk mengabadikan kekuasaan tanpa perlu menengok perubahan-perubahan nonfisik. Sampai kapan PAP akan mendominasi kancah politik di Singapura sulit ditebak. Tapi ada sebuah analisa yang banyak diminati dunia politik bahwa kekuatan oposisi akal melesat setelah Lee meninggal. Selama ini, karisma Lee yang dianggap paling banyak menentukan kemenangan PAP. Juga harus diakui perolehan suara PAP kali ini adalah yang terendah dibandingkan empat pemilu terakhir. Mereka cuma memperoleh 61,8%. Pada Pemilu 1984, ketika oposisi menyerobot 2 kursi parlemen, PAP menjaring 62,9% suara. Bahkan pada 1980, sewaktu PAP pertama kali kecolongan satu kursi parlemen, masih sanggup mengumpulkan 75,6%. "Dari sisi ini, oposisi boleh gembira," ujar Jeyaretnam, Sekjen Partai Pekerja (WP). Meski perolehan suara menurun, PAP untuk pertama kali berhasil menjaring banyak pemilih muda. Tak kalah menarik, para pemilih ternyata masih menanggap Lee sebagai calon paling andal. Dialah satu-satunya calon PAP yang berhasil menyedot 79,4% suara di wilayah pemilihan Tanjung Pager. Tertinggi dibanding 156 calon lainnya yang ikut bertanding. Padahal, semula banyak pengamat menduga, para pemilih akan lebih banyak memberikan suara pada calon-calon muda karena meningkatnya jumlah pemilih muda, dan saat peralihan kepemimpinan sudah di ambang pintu. Ramalan pihak oposisi tentang perolehan kursi bagi mereka juga meleset jauh. Harapan untuk menguasai 15 kursi ternyata hanya terwujud sebuah. "Padahal, masyarakat dunia sedang bangkit menuju demokrasi," ujar Jeyaretnam, yang mengaku kecewa bukan kepalang. Target oposisi mendapatkan lebih banyak kursi tak terwujud, menurut Jeyaretnam, lantaran kesulitan mendapat calon. Soalnya, peminat yang berani menunjukkan sikap akan mendapat ancaman PHK dari tempat mereka bekerja. Tak peduli mereka bekerja pada perusahaan lokal atau asing. Lebih runyam lagi, oposisi tak diberi kesempatan menjaring massa dengan memberikan peluang para pemenang menjadi wali kota. Kenyataan itu tentu saja membuat pemilih enggan memberikan suara kepada oposisi. Di samping itu, pemilih juga khawatir kalau tempat permukiman mereka dipimpin oleh seorang oposisi, tentu tak akan terawat lantaran wali kota kesulitan memperoleh dana dari pemerintah. Padahal, menurut Zainul AbidinRashid, penulis editorial kawakan, sekitar 20% pemilih di Singapura adalah massa mengambang. Ketika kelompok oposisi berhasil menggaet dua kursi pada Pemilu 1984, kata Zainal, karena mereka berhasil menjaring 12% dari seluruh suara massa mengambang itu. Senjata lain yang membuat oposisi sulit berkutik pada setiap pemilu adalah ketiadaan media massa yang menyokong mereka. Maklum, risiko terlalu besar bagi media massa di sana untuk bersikap netral, apalagi berpihak pada oposisi. Hukuman paling ringan adalah pembatasan sirkulasi, seperti pernah dialami majalah Far Eastern Economic Review, Time, Asia week, dan surat kabar The Asian Wall Street Journal. Lalu, apa rahasia kemenangan Chiam See Tong? Kabarnya, sesuai dengan skenario PAP agar ada suara oposisi di parlemen, maka Chiam dipilih lantaran dianggap tak membahayakan. PAP lebih gentar menghadapi Partai Pekerja (WP), yang dalam pemilu kali ini mengajukan 32 calon. Partai oposisi terbesar itu punya dua tokoh, andal, seperti Jeyaretnam dan Francis Seow. Ketangguhan kedua tokoh itulah jelas tak bisa dipungkiri. Pada Pemilu 1980, Jeyaretnam adalah politikus oposisi pertama yang berhasil merebut kursi parlemen. Gebrakan itu diulanginya tahun 1984 bersama Chiam See Tong. Hebatnya, meski harus tampil sebagai petarung tunggal di parlemen, popularitasnya tak kalah dengan Lee Kuan Yew, sehingga kancah politik di Singapura seolah hanya milik mereka berdua. Sementara itu, Seow kondang lantaran getol membela para korban Akta Sekuriti Dalam Negeri (ISA), yang memberi hak pemermtah menahan orang tanpa lewat proses pengadilan. Seow adalah pengacara yang mendampingi 22 tahanan politik, yang beberapa bulan lalu dituduh pemerintah terlibat dalam penyebaran ajaran komunisme. Selain itu, Seow juga kondang karena rajin berkampanye di mancanegara soal hak asasi manusia. Jadi, tak mengherankan kalau kedua tokoh itu harus menghadapi serangan paling gencar dari PAP. Pekan lalu, di wilayah pemilihan Eunos, PAP mengedarkan surat berisi daftar dosa Seow kepada setiap penduduk. Di sana disebutkan, Seow pernah terlibat manipulasi keuangan, terjerat utang S$ 1,3 juta, pernah didenda S$ 1.000 karena memberikan laporan keuangan palsu, dan masih menghadapi sejumlah ancaman hukuman lainnya, termasuk soal penggelapan pajak. Pukulan pada Jeyaretnam lain lagi. Pekan lalu, lewat sebuah kantor pengacara, Jeyaretnam dituntut minta maaf secara terbuka lewat empat koran berbeda bahasa -- Inggris, Tamil, Melayu, dan Mandarin -- lalu membayar sejumlah ganti rugi karena dianggap memfitnah dan mencemarkan nama baik Lee Kuan Yew, membacakan pernyataan maaf di hadapan peserta kampanye, dan menyerahkan surat jaminan bahwa dirinya tak akan mengulang perbuatan serupa. Mengapa Jeyaretnam diperlakukan demikian? Soalnya, Lee tak bisa menerima isi pidato kampanye Jeyaretnam di Bedok, yang mengungkit-ungkit kematian bekas Menteri Pembangunan Nasional Teh Cheang Wan, tahun 1986. Menurut Jeyaretnam, Teh bunuh diri lantaran diminta Lee agar bisa menghindarkan diri dari tuduhan korupsi. Dan Lee pula yang menyediakan racun bagi Teh. Tapi Jeyaretnam berkeras tak akan minta maaf, karena lebih suka menuntaskan perkara itu di pengadilan. Bagi Jeyaretnam dan Seow menghadapi pengadilan bukan urusan pertama kali. Jeyaretnam, November 1986, dijatuhi pengadilan hukuman sebulan penjara plus denda S$ 5.000 lantaran tak bisa mempertanggungjawabkan pengeluaran cek sebesar S$ 400. Akibatnya, Jeyaretnam harus mundur sebagai anggota parlemen, dan kehilangan hak mencalonkan diri selama enam tahun. Karena itu, dalam pemilu kali ini dia hanya bertindak sebagai juru kampanye. Seow, Mei lalu, ditahan lantaran dituduh menerima dana dari pemerintah Amerika untuk membiayai kegiatan politiknya. Tuduhan itu tak lain bersumber dari kemampuan Seow mencicil utang US$ 210.000 dalam waktu 18 bulan. Hanya saja kemudian tuduhan itu tak terbukti. Seow ternyata melunasi cicilan utangnya dengan berutang pada rekan-rekan bisnis lainnya. Termasuk dari pacar gelapnya, wanita pengusaha Siah Moi Guat. Rentetan kasus itulah yang membuat WP tak berkutik dalam pemilu kali ini. Para pemilih tak berani mengambil risiko dengan memberikan suara kepada calon yang diragukan kejujurannya, kendati isu nyinyir tersebar luas di sana, bahwa kasus-kasus itu sebenarnya bermotif politik. PAP menggunakan kekuasaannya untuk mengendalikan peradilan dan penyidikan guna meruntuhkan wibawa Jeyaretnam dan Seow. Tapi kini oposisi balik menggugat. Mohamed Juffri Mahmud, calon SDP dari Aljunied, kini menyiapkan tuntutan pengadilan kepada Goh Chok Tong. Alasan: dalam kampanye Kamis pekan lalu, calon perdana menteri itu menuduh Mahmud pernah terlibat dalam penjualan dokumen rahasia negara. Meski pernah ditangkap berdasarkan ISA gara-gara dicurigai melakukan tindak subversi dan dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan, Mahmud tetap menolak tuduhan itu. Dokumen itu, katanya, adalah file pribadi yang dia bawa ketika dipindahkan dari Departemen Sekuriti Dalam Negeri ke Departemen Penyidikan Penjahat, kala masih menjadi pegawai di kepolisian. Entah mana yang benar. Tapi, yang pasti, perkembangan politik di Singapura di hari-hari mendatang tak kalah ramai dibandingkan suasana sebelum pemilu lalu. Praginanto, Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini