Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Toffler di Indonesia

Alvian Toffler mengarang buku The Third Wave, menunjukkan perubahan yang mendatangkan peradaban baru. Peradaban yang menuntut pemerintah lebih bersahaja, efektif dan demokratis, juga merontokkan birokrasi.

10 September 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI buku kumuh itu tertulis sebuah tangal dan sebuah tempat: "Racine, 30 September 1971." Berarti 17 tahun yang lalu sudah edisi murah Future Shock itu saya beli di satu kota kecil di Amerika. Saya ingat saya tak bisa berhenti membacanya dalam perjalanan pulang, melalui beberapa kota. Saya ingat buku itu seperti membangunkan saya dari sebuah tidur. Seperti semua orang, saya tahu dunia berubah, tapi buku Alvin Toffler itu menunjukkan, secara dramatis, dengan gaya penulisan yang memukau, bahwa perubahan itu sendiri pun berubah. Perubahan itu kian lama kian begitu cepat, hingga masa depan seakan-akan telah menongkrong di cuping hidung kita kini. Dan kita pun, yang kepergok, yang tak siap, terguncang dan kehilangan jejak. 17 tahun kemudian, pekan lalu, Alvin Toffler datang di Jakarta. Ia, bersama istri dan rekan sekerjanya, Heidi, jadi tamu dari Yayasan Panglaykim. Tujuh belas tahun adalah waktu yang lama bagi suatu zaman "peralihan Tofflerian". Orangnya sendiri sudah nampak lebih tua ketimbang potretnya. Juga, nama sang pengarang Future Shock itu kini telah hampir dilupakan orang nun di Amerika Serikat. Kemasyhuran berlangsung singkat sekarang, sebagaimana diinsafi Toffler sendiri. "A blizzard of best-sellers," tulisnya. Ia bicara tentang buku-buku laris, yang di zaman ini cepat datang dan cepat hilang bagaikan hujan salju yang kerap. Ia juga bicara tentang ide dan reputasi. Bahwa ia masih dibicarakan hangat di Indonesia, mungkin tidak teramat ganjil. Toffler, di ruang pertemuan CSIS di Tanah Abang, Jakarta, pekan lalu itu, berbicara bahwa dunia tak lagi sepenuhnya tepat terbagi dalam "negeri kaya" dan "negeri miskin". Kategori yang kini lebih pas, baginya, adalah "masyarakat yang cepat" dan "masyarakat yang pelan". Persisnya, ada masyarakat yang cepat memperoleh, menyalurkan, dan mengolah informasi, dan ada yang tak secepat itu jalannya. Kita tahu di mana kira-kira Indonesia berada. Bila benar kategorisasi Toffler itu, Indonesia mau tak mau tengah berada di perubahan, dan percampuran, antara "cepat" dan "pelan" itu. Ini negeri yang tak mereka kenal, kata suami-istri Toffler. Tapi ini juga negeri yang terletak di sebuah wilayah yang mengalami transformasi besar selama satu setengah dasawarsa ini. Di dalam The Third Wave, yang terbit delapan tahun yang lalu, Toffler menyebut peluncuran satelit komunikasi Palapa oleh Presiden Soeharto sebagai suatu contoh strategi ke masa depan yang dianggapnya tepat. "Gandhi with satellites, " tulisnya tentang strategi itu. Baginya, langkah itu mengikuti sebuah desain ke masa depan yang tak hanya hendak bertahan dengan "teknologi tepat guna". Gagasan ala Gandhi yang murni ini memang bagus. Toffler menyebutnya "strategi Gclombang Pertama", yang hendak menghindarkan kegalauan yang terjadi dalam proses industrialisasi. Tapi formula itu toh akhirnya hanyalah "suatu resep buat kemandekan". Sebaliknya, Gandhi-dengan-satelit adalah rencana ke masa depan yang menyadari akibat samping gegap gempitanya industrialisasi, tapi justru dengan menggunakan teknologi yang piawai: sistem komunikasi elektronik. Toffler menamakan itu "strategi Gclombang Ketiga". Harus dikatakan bahwa dengan itu kita sebenarnya sedang mengalami semacam drama -- dengan suspens yang tinggi. Kita bersemangat, atau sebaliknya: kita berkeringat dingin. Mungkin itu sebabnya membaca kembali Toffler, dan berdiskusi dengan dia, jadi menarik, dari segi kebutuhan kita untuk bertanya tentang diri kita sendiri secara lebih berani. Sudah tentu ia, juga istrinya, tak menawarkan sebuah blueprint. Dalam pertemuan pekan lalu itu, Toffler memberi kesan amat berhati-hati. Ia terkadang seperti meminta maaf akan kemungkinannya untuk khilaf menghadapi orang Indonesia. Yang kemudian saya tangkap ialah bahwa ia tak terasa seperti seorang optimis. Barangkali delapan tahun setelah The Third Wave, ia makin melihat dunia bukan tempat yang mudah untuk menampung perubahan yang diwartakannya. Ia pernah menyatakan bahwa "Gelombang Ketiga" dalam perubahan manusia -- yakni gelombang setelah habisnya proses industrialisasi -- akan mendatangkan sebuah peradaban yang lain. Bukan lagi standardisasi, yang diperlukan ketika manusia bekerja di pabrik alat-alat. Bukan lagi keseragaman. Juga bukan lagi pemusatan. "Peradaban baru ini akan menantang yang lama, akan merontokkan birokrasi, mengurangi peran negara-bangsa ...." Peradaban yang baru itu juga akan menuntut "pemerintah yang lebih bersahaja, lebih efektif, tapi juga lebih demokratis ketimbang yang pernah kita kenal sekarang". Bagi Toffler, kata kunci untuk peradaban "Gelombang Ketiga" itu -- yang dimungkinkan oleh alat komunikasi elektronik -- adalah desentralisasi, bukannya sentralisasi. Keanekaan atau bhineka, bukannya keseragaman. Kata kunci lain adalah "adaptif", atau kemampuan untuk menyesuaikan diri, pada saat yang tepat, dengan perubahan yang kian cepat dan kadang membingungkan itu. Birokrasi yang kita kenal, baik di pemerintah maupun di perusahaan swasta yang besar, tak mungkin punya kemampuan itu. Mereka terlalu menggergasi buat bisa bcrgerak lincah. Birokrasi juga sebuah pabrik, kata Toffler. Badan itu menghasilkan produk yang standar dan seragam. Padahal, di luar ruangannya, beribu-ribu hal dan kecenderungan baru terjadi, yang belum ada aturan dan pembakuannya. Birokrasi besar cuma akan menghasilkan sesuatu yang ketinggalan. Dan ketinggalan, di abad seperti ini, bcrarti berada di jalur yang gagal. Maka, akan malanglah pemerintah-pemerintah yang tak punya cara -- ataupun kehendak -- untuk membiarkan tukar-menukar pendapat dan informasi yang leluasa. Betapapun geniusnya sekelompok orang yang memerintah, kata Toffler, betapapun bersihnya mereka bagaikan orang suci, mereka dengan mudah berbuat salah dalam situasi seperti sekarang. Tak sekelompok orang pun bisa sendirian menampung beban informasi dan ide yang semakin beragam, saking cepatnya terjadi perubahan. Demokrasi, tak peduli apa model Barat apa model Timur, punya fungsi praktis ini: memanfaatkan informasi secepatnya dan setepatnya, untuk mengelakkan kekonyolan dan malapetaka. "Sebagaimana generasi kaum revolusioner yang telah wafat, kita juga punya nasib yang harus kita ciptakan," tulis Toffler di akhir The Third Wave. Di situ saya kira ia tak cuma bicara buat orang Amerika. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus