TOKO Emas Kendi di Coyudan, Solo, sore itu sudah hampir tutup
ketika muncul seorang lelaki keturunan Cina. Dengan tutur kata
yang ramah, ia menawarkan sebentuk cincin kepada pemilik toko,
Candra Putranto. Tawar-menawar terjadi dan Candra akhirnya
setuju membeli cincin seberat empat gram lebih itu dengan harga
Rp 45 ribu.
Lelaki ramah tadi agak aneh, ternyata menolak dibayar dengan
uang kontan. "Soalnya cincin ini milik famili saya. Kalau
dibayar dengan uang tunai, nanti dikira saya mencatut. Lebih
baik dibayar pakai cek saja," katanya. Karena alasan yang
dikemukakan cukup masuk akal, "permintaannya saya turuti," kata
Candra pekan lalu. Ia pun segera meneken selembar cek -- yang
dikeluarkan Bank Agung Asia di kota itu -- senilai Rp 45 ribu.
Siapa mengira cek tersebut bisa berubah nilai sehingga Bank
Agung Asia kebobolan Rp 4 juta lebih? Lelaki di atas ternyata
bukan sekadar menjual cincin. Ia seorang penipu yang licin.
Sampai pekan lalu polisi Solo belum berhasil menjejaki, apalagi
menangkapnya.
Cara yang ditempuh si penipu sebenarnya boleh dibilang cukup
sederhana. Ia hanya mengubah kata "puluh" dengan "juta" dari
kata-kata "Empat puluh ribu rupiah" yang tertera di kertas cek.
Dan angka Rp 45.000 pun tinggal disesuaikan menjadi Rp
4.005.000. Penghapusan angka dan huruf itu, menurut Kepala Dinas
Penerangan Markas Besar Polri Kol. Sakir Subardi, bisa dilakukan
dengan memakai sejenis zat kimia.
Setelah semuanya beres, dengan menyewa taksi gelap, ia menuju
Bank Agung Asia. Tiba di depan kantor tersebut, yang
berseberangan dengan Pasar Klewer, mobil disuruh berhenti. Lalu,
dengan alasan KTP-nya ketinggalan, si penipu menyuruh sopir
taksi menguangkan cek "aspal" itu. Yang disuruh mau saja. Sebab,
taksinya toh sudah disewa per jam Rp 3 ribu, sehingga makin lama
disewa makin baik. Tak tahunya, dia telah diperalat, untuk
mempecundangi Bank Agung Asia.
Kasus di atas hanyalah sebuah contoh kejahatan terhadap bank.
Penjahat tampaknya memang tak pernah putus akal untuk menggaet
uang, langsung dari sumbernya. "Ibarat lemari tempat gula, semut
mana yang tidak tertarik menggerogotinya?" seperti kata seorang
pejabat bank di Jakarta.
Beda dengan jenis kejahatan lain, seperti perampokan atau
penodongan, "semut" yang suka main-main dengan bank, menurut
polisi, biasanya cukup berpendidikan. Dia sekaligus juga
menguasai soal-soal perbankan, dan, "mereka itu kebanyakan WNI
keturunan Cina."
Dan penjahat bank umumnya pandai memanfaatkan situasi. Misalnya,
"mereka muncul di saat bank sedang sibuk atau ketika pegawai
banyak yang cuti," kata seorang pejabat di Citibank, Jakarta.
Mereka juga sepertinya tahu betul bila ada ruangan atau
peralatan sedang diperbaiki. Dalam keadaan seperti itu, seoran
petugas bank yang lengah, mudah saja 3ikibuli. Maka pada
saat-saat "lain dari biasa" seperti itu, "kewaspadaan mesti
ditingkatkan," kata pejabat bank tadi.
Selain menggunakan cek atau travel cek palsu maupun hasil
curian, menurut seorang pejabat di Bank Pacific Jakarta, jenis
kejahatan terhadap bank yang sering terjadi ialah over booking
dan pemalsuan saldo.
Over booking, kata pejabat tadi, adalah manipulasi dengan cara
menggaet dana seorang nasabah yang diketahui sering melakukan
transfer. Si penjahat -- yang tahu nomor rekening nasabah tadi
-- membuat surat perintah palsu, yang seolah-olah dibuat oleh
pemilik yang asli, agar bank tersebut memindahkan sejumlah uang
ke sebuah rekening di bank lain. Surat perintah tadi, dipercaya
pihak bank, karena dibubuhi tanda tangan yang ternyata juga
palsu.
Memalsu tanda tangan, seperti kata Kol Pol. Sakir, memang sudah
merupakan bagian dari keahlian yang harus dimiliki penjahat
bank. Seorang pemalsu yang ahli, kata Sakir, bisa meniru tanda
tangan -- dan hampir tanpa cacat -- hanya dengan mengamati dan
mengutak-atiknya selama dua jam.
Akan halnya pemalsuan saldo, di sini penjahat seolah-olah masih
mempunyai sejumlah uang di bank, padahal uangnya sudah habis.
Tapi karena kelicikannya, lewat kerja sama dengan orang dalam,
sepertinya ia masih mempunyai slmpanan, sehingga masih terus
bisa mengambil uang.
Memang, kata Kol.Pol. Sakir, dalam kejahatan terhadap bank,
rata-rata ada orang dalam yang terlibat. Keterlibatannya dengan
macam-macam cara. Ada yang hanya sekadar memberikan informasi --
misalnya, dengan memberitahu nomor rekening nasabah lain.
Kasus di Bank Agung Asia, Solo, pun tidak mustahil ada orang
dalam yang ikut membantu. Paling tidak, ada yang membocorkan
bahwa saat itu alat pengetes cek di situ, sedang rusak. Juga,
informasi bahwa Candra masih mempunyai dana lebih dari Rp 4
juta, pastilah bukan suatu kebetulan.
Contoh kerja sama yang rapi antara penjahat dan pegawai bank,
terjadi di BRI Yogyakarta. Ajen alias Liauw Yun Tjien, pemilik
Toko Serimpi, dengan ongkang-ongkang kaki bisa menggaet uang Rp
845 juta, berkat. kerja samanya dengan Salip, petugas pembukuan
yang juga memimpin bagian komputer.
Ajen, sebenarnya sudah tak punya dana di BRI. Tapi hal itu tidak
terekam dalam kertas laporan yang dibuat komputer. Soalnya, kata
sebuah sumber di BRI Yogya, Salip selalu mengangkat kertas tadi
bila komputer hendak merekamnya. Dengan cara itu, seolah-oleh
Ajen masih tetap punya dana, dan karenanya bisa mencairkan
cek-ceknya yang kosong.
Tapi akal bulus itu akhirnya ketahuan. Ajen dan Salip, kini
sedang diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dua buah rumah,
dua buah truk dan sebuah kios disita dari tangan Ajen. Dan dari
Salip, berhasil diamankan uang tunai Rp 3 juta dan 11 buah
lempengan emas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini