Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Murat Karayilan buru-buru menyingkirkan setiap kemungkinan yang bisa membuat pemerintah Turki melemparkan tudingan kepadanya sebagai pelaku teror mutakhir. Tak ada sangkut-paut serangan teror di klub malam Reina di Istanbul dengan Partai Peserta Kurdistan (PKK), kelompok gerilyawan Kurdi yang dipimpinnyabegitulah bunyi pesannya.
"Pasukan Kurdi tidak tahu-menahu atas serangan itu. Kami tidak pernah menyerang warga sipil tak berdosa," kata Karayilan pada Senin pekan lalu. Tudingan memang tak lantas tertuju ke PKK. Sebab, kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS lebih dulu mengklaim sebagai dalang penembakan brutal yang telah menewaskan 39 pengunjung klub elite itu. Namun reaksi Karayilan cukup beralasan karena PKK—selain ISIS akhir-akhir ini—kerap menjadi bulan-bulanan tudingan pemerintah Turki saban ada serangan teror di negara tersebut.
Ankara mencap PKK sebagai kelompok teroris. Sejak dipimpin Abdullah Ocalan pada 1980-1990, hingga dikomandani Karayilan kini, PKK selalu masuk daftar musuh utama Ankara. Sebelum tragedi di klub Reina, PKK berulang kali dituduh sebagai biang kerok serangkaian aksi pengeboman, penembakan, hingga penculikan polisi, tentara, ataupun warga sipil di seantero Turki.
Sejak Juli 2015, saat gencatan senjata dengan Ankara kandas, PKK dilaporkan melancarkan 80 serangan bom, menewaskan 265 orang dan melukai 1.460 lainnya. Ankara keras membalas PKK. Sepanjang Desember lalu saja militer Turki melumpuhkan 170 gerilyawan PKK—100 orang di antaranya tewas. "Kami bertekad membasmi setiap serangan dan ancaman teror terhadap Turki," kata Presiden Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya.
Perlawanan Partai Pekerja Kurdistan merentang jauh sebelum Erdogan bertakhta. Sejak berdiri pada 27 November 1978, PKK telah lantang menantang Ankara. Dari gerakan politik, mereka beralih mengangkat senjata mulai Agustus 1984, sebagai respons atas tindak represif rezim militer Turki kala itu, yang berkuasa setelah kudeta empat tahun sebelumnya. "Ketika didirikan di Turki, PKK menganut ideologi kiri dan nasionalisme radikal," kata Martin van Bruinessen, pakar isu Kurdi dari Universitas Utrecht, Belanda.
Bruinessen, melalui surat elektronik, menuturkan bahwa PKK berambisi membentuk otonomi di Kurdistan. Dalam pandangan mereka, Kurdistan dibagi-bagi dan dijajah empat negara, yaitu Turki, Irak, Iran, dan Suriah. "PKK akan berjuang membebaskan dan mempersatukan seluruh Kurdistan," ujarnya. Kurdistan, area pegunungan di ketinggian 1.950 meter di atas muka laut, merupakan pertemuan ujung tapal batas Turki, Irak, Iran, dan Suriah. Kurdistan menjadi kampung halaman bagi hampir 30 juta orang Kurdi.
Selama tiga dasawarsa, konflik Ankara versus PKK berlumuran darah. Pertikaian mereka telah merenggut lebih dari 40 ribu jiwa. Dari persembunyian di area pegunungan di tenggara Turki dan Irak utara, ribuan pengikut PKK terus melawan Ankara. Namun, "Kami tak ingin mendirikan negara," kata seorang komandan tempur PKK, Cemil Bayik, dalam wawancara dengan BBC. "Kami ingin hidup dalam batas wilayah Turki, bebas di tanah kami sendiri."
Tekanan bertubi-tubi tak membuat ciut nyali PKK. Perlawanan mereka terus menguar bahkan setelah Abdullah Ocalan, 68 tahun, diciduk aparat Turki pada 1999. Sejak awal, Apo—sebutan Ocalan, yang berarti "paman"—menjadi panutan di PKK. Dukungan dari Apocu—para pengikut Apo—tak pernah luntur, meski "sang paman" diterungku seumur hidup di penjara Pulau Imrali di Laut Marmara, sejauh 64,6 kilometer dari Istanbul.
Di Turki, etnis Kurdi mencapai 14,7 juta jiwa. Sebagian besar tinggal di kota-kota Kurdi di Turki tenggara, seperti Diyarbakir, Batman, Siirt, Van, Elazig, Gaziantep, Kilis, dan Adiyaman. Meski mengisi hampir seperlima populasi Turki dan menjadi etnis minoritas terbesar di negara itu, warga Kurdi kerap mendapat perlakuan diskriminatif. Sampai 1991, misalnya, orang Kurdi dilarang berbincang dengan bahasa Kurdi di Turki kecuali di dalam rumah.
Tidak semua warga Kurdi sepaham dengan PKK—kelompok yang akrab disebut Kongra-Gel dan KADEK. Menurut Martin van Bruinessen, strategi kekerasan PKK juga menuai kritik. Namun operasi balasan militer Turki di kota-kota Kurdi rupanya memakan korban warga sipil dan menghancurkan ribuan rumah. Akibatnya, "PKK meraup dukungan dari banyak orang Kurdi. Ratusan anak muda lari dari kota ke gunung untuk ikut gerilya PKK," ujarnya.
Sokongan juga mengalir deras dari diaspora Kurdi. The Kurdish Project, mengutip data Foreign Policy Journal, memperkirakan 1,2 juta orang Kurdi terserak di luar Kurdistan. Sekitar 80 persen dari mereka berasal dari Turki. "Mereka pergi akibat penganiayaan dan penindasan rezim," begitu menurut organisasi nirlaba di bidang budaya Kurdi tersebut. Mayoritas diaspora Kurdi itu ada di Eropa—sekitar separuhnya tinggal di Jerman.
PKK dilaporkan meraup 30 juta euro (sekitar Rp 423,2 miliar) tiap tahun. Duit jumbo itu, menurut intelijen Turki, mengucur dari sumbangan berbagai yayasan dan organisasi pro-Kurdi di negara-negara Eropa. Padahal Uni Eropa mencatat PKK dalam daftar kelompok teroris sejak 2002. Semua yayasan itu disebut berada dalam naungan The European Kurdish Democratic Societies Congress atau KCD-E, yang bermarkas di Charleroi, Belgia. "Lembaga itu dipimpin Yuksel Koc dan Semse Gullu," begitu dilaporkan situs pro-pemerintah Daily Sabah.
Selain menyokong dana, diaspora Kurdi, lewat organisasi payung Kongres Nasional Kurdistan atau KNK, melancarkan kampanye di penjuru Eropa. Dalam pertemuan tahunan ke-16 pada 2-3 Oktober lalu, KNK kembali mengecam Ankara. "Turki menerapkan kebijakan untuk menghancurkan dan mengalahkan Kurdi," begitu pernyataan sikap bersama mereka. Lebih dari 250 orang delegasi dari semua partai politik Kurdi di Suriah, Turki, Iran, dan Irak hadir dalam pertemuan di markas KNK di Brussels, Belgia.
Adem Uzun, anggota eksekutif KNK, membantah kabar bahwa pihaknya dan KCD-E dianggap berafiliasi dengan PKK. Kepada kontributor Tempo di Brussels, Asmayani Kusrini, Uzun mengatakan KNK, KCD-E, dan PKK hanya punya ikatan emosional berdasarkan sentimen nasional. "Mereka mewakili apa yang kami perjuangkan untuk Kurdi," ucapnya pada akhir Desember lalu saat ditemui di kantor KNK di Place Stephanie, kawasan elite di Brussels.
Menurut Uzun, 50 tahun, KNK tidak melihat PKK sebagai biang teror. "Kami justru mengupayakan PKK dicoret dari daftar organisasi teroris internasional," ujarnya. Dengan begitu, kata Uzun, yang menjadi juru lobi komunitas Kurdi di Uni Eropa, ada jaminan untuk berdialog dengan Ankara. "Selama ini Turki selalu menolak duduk satu meja secara damai." Berbagai cara ditempuh KNK, dari lobi politik, konferensi, hingga demonstrasi.
Derwich M. Ferho, pendiri dan pemimpin Kurdish Institute of Brussels, pusat kebudayaan Kurdi di Belgia, menilai PKK telah membawa perubahan besar bagi rakyat Kurdi, terutama di Turki. "Mereka kini lebih terbuka dan berani. Mereka sadar bisa memperjuangkan hak-hak seperti orang Turki lainnya," ucapnya kepada Asmayani. Ferho, eksil Kurdi asal Mzizah, Turki, 55 tahun lalu ini, berpendapat Ankara tak bisa lagi terus menindas kaum Kurdi. "Mereka harus berhenti. Tidak semua orang yang tinggal di Turki adalah orang Turki." MAHARDIKA SATRIA HADI | ASMAYANI KUSRINI (BRUSSELS) | (DAILY SABAH | CNN | BBC | THE KURDISH PROJECT | ANADOLU | YENI SAFAK)
Serba-serbi di seputar Partai Pekerja Kurdistan, oleh Martin van Bruinessen, pakar isu Kurdi dari Universitas Utrecht, Belanda:
PKK tidak berambisi mendirikan otonomi di Kurdistan bagian Turki saja, tapi berjuang untuk membebaskan dan mempersatukan seluruh Kurdistan.
PKK tidak eksklusif beranggotakan orang Kurdi. Di antara pemimpinnya ada orang Turki dan etnis minoritas, seperti Yazidi dan Alevi. Gerilyawan PKK ada yang dari Turki, Suriah, Irak, dan Iran.
PKK organisasi Kurdi pertama yang secara sadar berusaha mengorganisasi diaspora Kurdi di Eropa, Australia, Rusia, dan negara-negara lain.
Angka seputar etnis Kurdi:
Total populasi Kurdi: sekitar 30 juta orang
Iran : 80,8 juta - 8,1 juta (10 persen)
Irak : 32,6 juta - 5,5 juta (17,5 persen)
suriah : 18 juta - 1,7 juta dari (9,7 persen)
turki : 81,6 juta - 14,7 juta dari (18 persen)
Diaspora Kurdi:
Total: 1,2 juta orang (650 ribu di antaranya di Jerman)
Kanada: 7.000
Prancis: 120 ribu
Belgia: 80 ribu
Belanda: 60 ribu
Amerika Serikat: 20 ribu
SUMBER: COUNCIL ON FOREIGN RELATIONS | MAHARDIKA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo