Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI John Sculley, barangkali tak banyak tawaran pekerjaan lain yang menarik. Dia, pada usia 38 tahun, adalah Presiden PepsiCo Inc termuda. PepsiCo merupakan salah satu perusahaan minuman dan makanan terbesar di dunia.
Namun Steven Paul Jobs menyorongkan tawaran sangat provokatif yang sungguh sulit ditolak. "Apakah kamu berniat menghabiskan seluruh hidupmu untuk menjual air gula?" kata Jobs kepada Sculley pada 1983. "Atau kamu bergabung dengan aku dan bersama mengubah dunia."
Jobs saat itu baru berumur 28 tahun dan salah satu anak muda terkaya di Amerika Serikat. Hanya sempat enam bulan kuliah di Reed College, Oregon, Jobs mendirikan Apple Computer bersama sobatnya, Steve Wozniak dan Ronald Wayne, pada 1976. Wozniak menggarap urusan teknis, Jobs menangani bagian penjualan. Belakangan Wayne, disusul Wozniak, angkat kaki dari Apple.
Tak terlalu sukses dengan produk pertamanya, Apple I, perusahaan baru ini mencetak penjualan luar biasa dengan produk keduanya. Apple II menjadi komputer paling laku sepanjang 1980-an, mengalahkan IBM. Penjualan saham perdana pada 1981 pun laris manis diserbu pembeli dan segera menempatkan Apple di daftar Fortune 500. Apple menjadi perusahaan baru tercepat yang pernah masuk di daftar elite ini. Jobs pun berlimpah uang.
Masih sangat muda, ambisius, perfeksionis, dan pemarah. Kombinasi Steve Jobs ini dianggap dewan direksi Apple tak cocok untuk menjadi komandan perusahaan belia yang sedang terbang tinggi. Lewat jasa pemburu eksekutif, Jerry Roche, presiden muda Sculley dirayu bergabung dengan Apple. Sculley bergabung dan menjadi bos Apple pada 1983.
"Jobs mengurusi pembuatan produk, saya bertanggung jawab dalam urusan penjualan," Sculley mengenang. Dua bakat besar bergabung. Sebuah keputusan yang sepertinya akan berakhir sempurna bagi semuanya. Alih-alih mengubah dunia, seperti janji Jobs, keduanya malah tak pernah akur. Sculley merasa kewenangan Jobs terlalu luas dan perlu dipangkas. Sebaliknya, Jobs merasa tak dilibatkan dalam pelbagai urusan perusahaan. "Tak ada pekerjaan buat saya. Padahal saya baru 30 tahun," Jobs mengeluh dalam suratnya kepada direksi Apple.
Pada 12 September 1985, Jobs memberi tahu pimpinan Apple mengenai rencananya mendirikan perusahaan baru. Dia menjamin tak akan menggeret pegawai Apple ke perusahaan baru itu. Tapi, sehari kemudian, Jobs memberi tahu para bos Apple bahwa beberapa pegawai mereka akan ikut dia boyongan ke perusahaan baru. Direksi Apple marah besar. "Pembohong! Tak bisa dipercaya!" umpatan itu terlontar kepada pendiri Apple tersebut. Jobs patah arang dan memutuskan meninggalkan Apple.
SETIAP hari Abdulfattah Jandali, 80 tahun, selalu bangun pukul lima pagi, berolahraga, sarapan sayur dan buah-buahan, kemudian mengendarai mobil sejauh 25 kilometer ke kantornya. Dia sangat ketat menjaga fisiknya. Walaupun sudah sepuh, "John" Jandali masih bekerja enam hari seminggu sebagai Wakil Presiden Kasino dan Hotel Boomtown di Reno, Nevada, Amerika Serikat.
Mantan guru besar politik di Universitas Nevada ini lahir di Homs, sekitar 160 kilometer arah utara Damaskus, ibu kota Suriah. "Ayahku usahawan muslim kaya yang memiliki tanah sangat luas, meliputi hampir seluruh desa," kata Jandali. Dia lulus dari American University di Beirut, Libanon, kemudian mendapatkan gelar master serta doktor ilmu politik dan ekonomi dari Wisconsin University, AS. Dia aktivis gerakan Pan Arab. "Kami berdemonstrasi mendukung kemerdekaan Aljazair dan sempat dipenjara."
Jandali-lah ayah biologis Steven Paul Jobs. Dia bertemu dengan Joanne Carole Schieble di Wisconsin. Tak lama berpacaran, Joanne hamil. "Saya berniat menikahi Joanne, tapi ayahnya tak mengizinkan karena saya dari Suriah," ujar Jandali kepada The Sun akhir Agustus lalu. Joanne meninggalkan Jandali dan melahirkan Steven Paul di San Francisco.
Joanne menyerahkan bayi itu untuk diadopsi keluarga Paul Jobs. Jandali tak pernah tahu soal ini hingga Steve Jobs dewasa. "Saya bahkan tak tahu kalau Joanne melahirkan." Setelah ayah Joanne meninggal, Jandali menikahinya. Pasangan ini mempunyai satu putri, Mona E. Simpson. Pernikahan ini hanya bertahan lima tahun.
Pada 2004, Steve Jobs mengumumkan menderita kanker pankreas. "Saya berharap dia akan mengontak saya untuk menelusuri riwayat penyakitnya," kata Jandali. Tapi telepon itu tak pernah datang. Dia juga malu untuk menelepon Steve. "Saya tidak mau dianggap hanya mengejar kekayaannya. Saya punya uang. Yang saya tak punya hanyalah anak saya."
Jandali mengatakan, "Saya sangat berharap bisa bertemu dengan dia sebelum semuanya terlambat. Saya juga punya empat cucu yang tak pernah saya temui. Sekalipun hanya minum secangkir kopi, saya sudah sangat bahagia. Perasaan itu tak akan pernah bisa dibeli dengan uang."
Tapi Jandali terlambat. Jobs pernah menyatakan telah sembuh dari kanker pankreas. Namun, Rabu pekan lalu, manajemen Apple mengumumkan Steven Paul Jobs telah berpulang. Mendengar kabar meninggalnya sang putra, Jandali kehilangan kata-kata, "Tak ada apa pun yang bisa saya ucapkan."
STEVE Jobs seolah-olah tak ada matinya. Sebelas tahun terusir dari perusahaan yang dia lahirkan, ia tak merasa nelongso. Apa pun yang disentuh Jobs seolah-olah menjadi emas. Berkat tangan Midasnya itulah Pixar, perusahaan animasi yang dia beli dari George Lucas "hanya" US$ 10 juta pada 1986, nilainya berlipat ratusan kali tatkala dibeli Disney 20 tahun kemudian. Sejumlah film animasi Pixar berjaya di layar bioskop, seperti serial Toy Story, Finding Nemo, Monster Inc., dan Cars.
Walaupun secara komersial tak terlampau sukses, NeXT Computer, yang dia dirikan dengan modal US$ 7 juta begitu keluar dari Apple, hasilnya juga lebih dari lumayan. Apple membeli NeXT pada akhir 1996 dengan harga US$ 429 juta. Maka kembalilah si anak hilang ini ke Apple. Sebelas tahun ditinggal Jobs, Apple tersuruk. Produk-produknya gagal bersaing melawan Microsoft dan para sekutunya.
Jobs kembali dan membalikkan nasib buruk Apple. Duduk sendirian di ruang rapat besar direksi, Jobs versi akhir 1990-an itu tampak lebih tenang dibanding Jobs muda. Gaya berpakaiannya tak berubah. Baju kasual, celana jins dengan sepatu olahraga New Balance. "Aku tak suka gedung ini. Bangunan ini melambangkan semua kesalahan Apple," kata Jobs kepada majalah Time 14 tahun lalu. "Angkuh. Serakah. Ini bukanlah gedung yang bisa menghasilkan komputer yang benar-benar 'gila'."
Apa yang dibuat Jobs dan anak buahnya di Apple kemudian memang benar-benar "gila". Dia menjungkirbalikkan tren desain komputer dan laptop, cara mendengarkan musik, dan merombak sekaligus industrinya. Generasi iPod dan toko musik iTunes telah menggusur era cakram digital. Demikian pula ponsel pintar iPhone, tablet iPad dengan App Store, menyeret tren besar di industri telekomunikasi hingga hari ini.
John Sculley, bekas seterunya, menjelaskan bagaimana metode Jobs. Menurut Sculley, Jobs selalu berpikir dari sisi bagaimana pengalaman pengguna komputer. Tapi Jobs tak percaya dengan model survei konsumen. "Bagaimana kita bisa menanyakan bagaimana tampilan grafis komputer semestinya jika mereka tak pernah tahu apa itu tampilan grafis," kata Sculley mengutip pernyataan Jobs. Dia lebih meyakini intuisinya.
Desain. Ya, desain. Jobs menuntut desain yang sempurna dan minimalis. "Aku pernah datang ke rumahnya. Hampir tak ada mebel." Hanya ada foto Albert Einstein di dinding, meja, dan kasur. Tak ada rupa-rupa ornamen. "Inilah beda Bill Gates dengan Steve Jobs," kata Sculley. Gates tak terlalu peduli dengan selera desain.
Sikap serba minimalis ini juga dia terapkan dalam urusan organisasi perusahaan. Steve Jobs, kata Sculley, selalu mempertahankan tim inti yang merancang produk Apple tak lebih dari seratus orang. Dengan tim kecil ini, seperti yang pernah dijanjikan Jobs kepada Sculley 28 tahun lalu, dia telah mengubah dunia.
Sapto Pradityo (pelbagai sumber)
Warisan Terbaik Steve Jobs
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo