Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#FF9900>Wall Street</font><br />Bersatu di Liberty Plaza

Profesional dan buruh bersatu memprotes kebijakan ekonomi pemerintah Amerika. Akibat krisis, bunga kredit melonjak dan rumah-rumah disita bank.

10 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Taman Zuccotti, dulu terkenal sebagai Liberty Plaza. Letaknya persis di tengah kompleks finansial Amerika milik Brookfield Office Properties, perusahaan properti ternama di Negeri Abang Sam. Sejak 17 September lalu, demonstran menduduki taman di Kota New York itu. Mereka berkemah, membangun dapur umum, dan menulis pamflet. "Saya ingin melihat aksi mereka," kata Sharon Wheeler. Dia kebetulan mengantar saudari dan putrinya mencoba gaun pengantin di Kleinfeld Bridal, tak jauh dari Taman Zuccotti.

Bob Harvey dan Denis O’Doherty dari Charleston, Carolina Selatan, juga mampir ke sana. Begitu pula Liliana Orellana, yang mengantar turis dari Spanyol. Mereka sebetulnya ingin ke Ground Zero, lokasi peristiwa 11 September. "Ini memang mesti dilakukan saat ini," kata Harvey mendukung gerakan tersebut.

Unjuk rasa yang menamakan diri "Duduki Wall Street" itu merupakan gerakan menentang kapitalisme, yang dianggap membuat Abang Sam terjerat krisis. Pada krisis ekonomi 2008, para pengusaha besar dan bank disuntik modal oleh pemerintah Amerika. Di sisi lain, bunga kredit para pengusaha kecil dan menengah terus membengkak dan pemerintah tidak mengulurkan tangan.

Seperti gambaran dalam film Capitalism: A Love Story besutan sutradara Michael Moore, rumah-rumah warga pun disita karena pemiliknya tak bisa membayar cicilan kredit yang membengkak. Pada saat yang sama, mereka kehilangan pekerjaan karena perusahaannya gulung tikar.

Janji Presiden Barack Obama dan Partai Demokrat meloloskan undang-undang prorakyat, seperti jaminan kesehatan dan kenaikan plafon dana talangan untuk mengatasi pengangguran, ternyata gagal. Kebijakan itu dihadang oleh Tea Party, sayap Partai Republik di Kongres dan Senat yang propemilik modal.

Mark Schwetz, perajin mebel dari Berkeley, adalah salah satu dari ratusan orang yang kehilangan tempat tinggal. Kini Schwetz bertekad tak akan beranjak dari Liberty Plaza. "Saya sudah lama menunggu momen ini," katanya. Dia geram karena sudah bekerja dengan baik dan rajin, tapi rumahnya disita lantaran krisis.

George Soros, supermiliuner dunia, ikut mendukung gerakan ini. "Saya paham emosi mereka," katanya setelah berbicara di Markas PBB, New York, pekan lalu. Mereka, kata Soros, adalah pengusaha kecil yang selama ini menjadi bumper bank. "Mereka mengandalkan kartu kredit untuk menjalankan usaha." Padahal bunga kredit melonjak dari 8 persen menjadi 28 persen setelah krisis 2008.

Gerakan yang awalnya dimotori lusinan mahasiswa yang nongkrong di Taman Zuccotti kini berubah menjadi aksi massa yang meluas sejak didukung Michael Moore. Dukungan mengalir dari artis Susan Sarandon dan para politikus, termasuk anggota Kongres dari Partai Demokrat, Bernie Sanders. Para profesional datang sendiri-sendiri atau berkelompok membawa panji organisasinya, seperti Liga Aksi Masyarakat dan Menentang Perang Kota New York.

Sejak polisi mencokok 700 demonstran di Jembatan Brooklyn, dua pekan lalu, serikat buruh menyeru anggotanya mendukung gerakan ini. Wali Kota New York Michael Bloomberg hanya bisa mengimbau para pengunjuk rasa tak melakukan aksi anarkistis.

Senin pekan lalu, semakin banyak serikat buruh yang ikut beraksi, dari asosiasi sopir truk sampai perawat rumah sakit. Pelajar sekolah menengah tak mau ketinggalan. Gerakan ini sudah menyebar ke beberapa kota besar, seperti Boston, Chicago, Seattle, dan San Francisco.

Ratusan kilometer dari New York, di Vancouver, Kanada, Kalle Lasn, pemilik majalah Adbuster, takjub oleh gerakan yang meluas dalam tempo dua minggu ini. Para mahasiswa di Taman Zuccotti menjadikan Adbuster sebagai ilham gerakan ini. "Tadinya saya cuma minta tanggapan lewat e-mail, tentang gerakan menentang konsumerisme dan kapitalisme ini," ujar Lasn.

Hanya dalam dua hari, surat elektronik yang masuk berjumlah ratusan. Lasn menilai gerakan ini mirip dengan aksi di Lapangan Tahrir, Mesir. "Tanpa komando, bergerak sendiri-sendiri," kata ahli matematika yang sempat bekerja di Departemen Pertahanan Amerika itu.

Yophiandi (New York Times, Reuters, Economic Time)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus