Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KISRUH di dalam tubuh Universitas Indonesia, yang berbuntut tuntutan mundur terhadap Rektor Gumilar Rusliwa Somantri, tak bisa dilihat sebagai masalah internal semata. Konflik antarkelompok ini membuktikan belum ada kesamaan persepsi tentang landasan tata kelola pendidikan tinggi di antara para pemangku kepentingan, yaitu pengelola perguruan tinggi, pemerintah, dan publik.
Sengkarut di kampus kuning ini dipicu keputusan Mahkamah Konstitusi memenangkan tuntutan uji materi atas status badan hukum milik negara (BHMN) yang disandang tujuh perguruan tinggi nasional, termasuk UI. Pada akhir Maret 2010, Mahkamah menyatakan BHMN tidak memiliki landasan hukum. Kekosongan dasar hukum itu ditambal pemerintah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Ada pasal-pasal yang menyulut konflik, seperti dihapuskannya majelis wali amanat, badan yang memiliki posisi penting karena rektor bertanggung jawab kepada majelis tersebut. Majelis ini meliputi 21 anggota, terdiri atas representasi menteri pendidikan, senat akademik universitas, masyarakat, karyawan, dan mahasiswa.
Badan lain yang berfungsi sebagai checks and balances "kekuasaan eksekutif", seperti dewan audit, senat akademik, dan dewan guru besar, juga sirna. Sebagai gantinya, muncul lembaga baru, yaitu senat universitas yang mewakili fakultas-fakultas. Sedangkan rektor menjadi wakil menteri. Status perguruan tinggi berubah menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah (PTP).
Setelah pemberlakuan PP 66 pada 28 September 2010, Gumilar bersegera membentuk senat universitas, menggantikan senat akademik yang masa kerjanya berakhir pada 17 Juli lalu. Langkah "maju" Gumilar didasari jawaban surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas permintaan masukan oleh sang Rektor tentang cara mengatasi masalah pasca-BHMN. Jawabannya, pihak UI diminta menyelesaikan masalah internal tersebut.
Ternyata "perselisihan PP 66" malah meruncing, terutama untuk pasal 220-A. Pasal itu menyebutkan ada masa transisi paling lama tiga tahun bagi perguruan tinggi untuk menyusun statuta baru berisi perencanaan dan penyesuaian tata kelola. Cetak biru itulah yang diserahkan ke Kementerian Pendidikan Nasional, untuk kemudian ditetapkan sebagai peraturan menteri atau peraturan presiden yang menjadi landasan hukum perguruan tinggi bersangkutan.
Enam perguruan tinggi lain masih adem. Namun penghapusan BHMN pasti menampilkan masalah baru. Selama model badan hukum itu berjalan, 2000-2010, perguruan tinggi juga tak pernah sepi dari kritik, seperti komersialisasi dan makin mahalnya biaya pendidikan. Masa transisi hingga 2013 ini harus dimanfaatkan maksimal oleh tujuh perguruan tinggi eks BHMN untuk menyusun rencana tata kelola baru. Pihak perguruan tinggi harus belajar dari kelemahan sistem kelola lama, berpikir lebih luas, dan berpihak kepada publik.
Biaya pendidikan tinggi yang menjadi pemicu digugatnya status BHMN juga wajib dicarikan solusinya. Jangan sampai perguruan tinggi terlalu asyik mencari profit dan menjaga citra sehingga mengkhianati fungsinya sebagai agen pendidikan tinggi untuk semua kalangan secara adil. Betapa pun sulitnya, prinsip dasar pendidikan berkualitas tinggi dan berpihak kepada rakyat harus diprioritaskan. Semuanya bertujuan agar bangunan baru tata kelola perguruan tinggi benar-benar melayani kepentingan publik, tapi juga tak rawan gugat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo