DAMPAK kudeta militer di Fiji mulai menyebar di kawasan Pasifik Selatan. Kali ini, giliran Prancis dibuat pusing oleh pergolakan di sana. Jumat pekan lalu, Tahiti, pulau berpenduduk terpadat di antara 35 pulau di Polinesia, diguncang kerusuhan berdarah. Korban 20 orang cedera berat. Huru-hara bermula ketika buruh galangan kapal di Papeete, yang melakukan aksi mogok, melawan saat diusir pihak keamanan. Mereka menjadi beringas, dan melemparkan batu ke polisi. Petugas kewalahan ketika massa tiba-tiba spontan bergabung dengan buruh. Kerusuhan pun menjalar ke pusat kota. Para perusuh -- sekitar 500 orang melempari toko dan kantor pemerintah dengan batu dan bom bensin. Tiga pabrik, sejumlah toko, gedung apartemen, dan perkantoran rusak berat. Kerugian ditaksir jutaan dolar. Ibu kota Papeete, berpenduduk 80.000 jiwa, kacau. Untung, pasukan keamanan cepat menguasai keadaan. Enam puluh perusuh ditangkap. Esoknya jam malam dan keadaan darurat diberlakukan. Gerak cepat Prancis mengirimkan pasukan ke Tahiti diduga karena keadaan cukup serius. Pasukan yang diterbangkan terdiri atas 200 polisi militer dari Paris, dan 270 anggota legiun asing dari Atol Mururoa dan Kaledonia Baru. "Tindakan pencegahan yang terbaik," kata Menteri Keamanan Prancis Robert Pandraud. Papeete tenang kembali Ahad lalu. Tapi tentara masih ketat berpatroli, karena aksi mogok terus berlanjut. Aksi ini dikhawatirkan bisa melumpuhkan pelabuhan Papeete seperti Desember lalu. Padahal, ekonomi Tahiti banyak bergantung pada kelancaran di pelabuan, karena sebagian besar kebutuhan hidupnya tergantung impor. Betulkah aksi buruh ini protes biasa? Pejabat lokal Tahiti menuduh agitator "luar" yang memancing para buruh. Menteri Pandraud menyebut sejumlah aktivis gerakan separatis Tahiti di antara perusuh. Gerakan separatis di Tahiti kini memang semakin berkembang. Belakangan mereka semakin gencar menuntut kemerdekaan bagi Polinesia Prancis dan penghentian percobaan nuklir di Mururoa. Terpecah dalam beberapa kelompok, gerakan kemerdekaan diperkirakan mendapat dukungan 15% dari 167.000 penduduk -- terdiri dari pribumi (66%), dan ras campuran (17%), Eropa (11%), dan Cina (6%). Kepulauan Polinesia menjadi protektorat Prancis sejak 1884. Tapi, baru terkenal pada 1963, sejak Prancis memindahkan pusat percobaan nuklirnya dari Aljazair ke Atol Mururoa -- yang terletak 1.500 km dari Tahiti. Sejak itu Tahiti berkembang menjadi daerah penyuplai kebutuhan Mururoa. Lalu kehadiran pasukan Prancis, yang diikuti oleh mereka pengadu nasib, mulai mencemaskan pribumi. Dikhawatirkan sejarah Kaledonia Baru yang jumlah pribuminya dikalahkan pendatang dari Prancis -- bakal terulang di Tahiti. Maka, kelompok-kelompok separatis tumbuh subur. Lebih-lebih setelah pribumi Fiji, negara tetangga Tahiti, berhasil melepaskan diri dari Inggris. F.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini