WAJAH hakim bagai tak habis-habisnya dilempari aib. Seorang pesakitan di Pengadilan Negeri Surabaya, Mansur Subagio, Sabtu dua pekan lalu, tiba-tiba mengamuk ketika Hakim Mutojo memerintahkan ia ditahan. "Bapak Hakim telah mengingkari saya. Bapak 'kan sudah meminta uang Rp 10 juta, dan sudah saya berikan Rp 5 juta, tapi mengapa Bapak masih menghukum saya?" tuding Mansur. Mutojo balik bertanya kapan dan di mana, ia disuap. Ternyata, terdakwa itu dengan lancar menyebut waktu dan alamat rumah Mutojo. Mendengar semua itu wajah Mutojo merah padam. Sambil berdiri dan bertolak pinggang, serta tangan menunjuk Mansur, Mutojo lupa bahwa ia hakim sedang bertugas saat itu. Lalu ia memaki, "Bangsat kamu." Pengacara Mansur, Tedjo Purnomo dan Willy Sunarto, memprotes kata kasar hakim itu. Tapi Mutojo segera bergegas meninggalkan ruang sidang begitu palu diketukkannya. Sementara itu, di Jakarta, Hakim M. Hatta, yang baru saja dimutasikan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Salatiga, terpaksa pula berurusan dengan Irjen Departemen Kehakiman. Pasalnya, hakim yang pernah terkenal dalam perkara Arthaloka itu diadukan oleh Pengacara O.C. Kaligis. Ia dituduh pada 3 Agustus dan 6 September menerima suap Rp 2 juta dan US$ 18.000 dari klien Kaligis, Asmawi Manaf, dalam kasus Hotel Chitra. Tapi ternyata, tulis Kaligis, setelah uang diserahkan kliennya, Hatta mengingkari janjinya dan mengalahkan klien Kaligis. Belum selesai pihak Irjen Kehakiman memeriksa pengaduan Kaligis, tiba-tiba muncul pula peristiwa Surabaya tadi. Sebenarnya, perkara yang diadili Mutojo di Surabaya itu perkara biasa saja. Mansur, 44 tahun, yang sehari-hari berdagang tekstil di Pasar Atum Surabaya, dituduh memalsukan tanda tangan istrinya, Nyonya Susi. Dengan tanda tangan palsu itulah Mansur berhasil menipu PT Asuransi Bumi Putera Rp 3 juta. Kecuali perkara itu, ia, yang lagi dalam proses perceraian dengan Susi, konon terlibat di 10 perkara lainnya di pengadilan yang sama. Ternyata, persidangan perkara kecil itu berlarut-larut, sampai 33 kali, dan memakan waktu lebih dari setahun. Bahkan pembacaan pledoi pembela tertunda-tunda selama empat bulan. Sebabnya, Mansur, yang daung ke sidang dengan ditandu, setelah mengalami operasi tulang sumsum, mengaku tidak sanggup melanjutkan sidang dan meminta penundaan dari Mutojo. Akibatnya, sampai dimutasikan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri Martapura, Kalimantan Selatan, Mutojo belum berhasil menyelesaikan perkara itu. Sebab itu, perkaranya dialihkan ke Hakim Riyanto. Pengalihan itu ternyata tidak disetujui Mahkamah Agung. Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto, akhir September lalu, memerintahkan Mutojo menyelesaikan lebih dulu perkara itu, sebelum pindah. Sebab itu, Mutojo Sabtu dua pekan lalu itu bersidang lagi. Tapi tindakannya itu diprotes kedua pengacara Mansur. Pengacara Tedjo, misalnya, meminta hakim untuk mundur dan dianggapnya tidak layak lagi memegang perkara itu karena ia sudah bukan hakim Pengadilan Negeri Surabaya lagi. Protes itu mengundang debat mulut antara hakim dan pengacara. "Saudara sudah mencampuri urusan intern pengadilan, punya hak apa Saudara?" tanya Muto berang. Hakim kemudian menskors sidang. Dan setelah berembuk dengan jaksa, sidang dibuka lagi. Tapi sungguh mengagetkan, Mutojo ternyata langsung memerintahkan agar Mansur ditahan. Gara-gara perintah mendadak itu, Mansur tiba-tiba menuduh hakim makan suap. Ia bahkan menyebutkan pemberian suap itu disaksikan saudaranya Madali dan seorang karyawatinya, Tantri. "Benar saya sudah memberinya uang, dengan uang kontan, kok," kata Mansur, ketika Sabtu pekan lalu disidangkan lagi. Hakim Mutojo tegas mengatakan tidak pernah menerima uang dari Mansur. Tapi anehnya ia juga membantah telah mengatai-ngatai terdakwa bangsat. "Tidak, tidak benar itu," katanya. Kepala Humas Pengadilan Negeri Surabaya, Suparno, menganggap tuduhan Mansur itu tidak masuk akal sama sekali. "Masa untuk perkara yang hanya Rp 3 juta orang mau menyuap Rp 5 juta," kata Suparno. Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Sukirno, pun tidak percaya Mutojo menerima suap dari Mansur. "Itu 'kan teriak Mansur. Tunggu saja hasil pemeriksaan," katanya. Tuduhan Mansur memang belum tentu terbukti. Jika ia tidak bisa membuktikan, Sukirno sudah siap-siap mengadukan Mansur dalam kasus penghinaan hakim dan pengadilan. Tapi, sebelum itu terjadi, pengacara Mansur sudah lebih dulu melapor ke Irjen menuduh Hakim melangar contempt of court dengan mengucapkan kata "bangsat" di ruangan sidang. Seperti juga Mutojo, Hakim Hatta menolak tuduhan Kaligis tentang suap yang dituduhkan telah diterimanya. "Saya belum bisa bicara banyak, tapi benar tidaknya pengaduan Kaligis itu 'kan sudah ditangani Irjen," kata Hatta, yang pekan ini ada di Jakarta guna memeriksakan kesehatannya. Yang jelas, kata Hatta, pada 3 Agustus 1987, hari yang kata Kaligis terjadi penyerahan suap itu, ia berada di Yogyakarta bersama keluarganya dalam rangka liburan bersama sejak akhir Juli. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat I Gde Sudharta juga mengambil sikap seperti rekannya, Sukirno di Surabaya. "Boleh saja. Kaligis menuduh hakim sudah disuap, silakan ia buktikan di pemeriksaan Irjen," katanya. Gde Sudharta juga tidak ingin menanggapi tuduhan Kaligis bahwa ia melindungi anak buahnya. "Silakan saja, toh Menteri Kehakiman yang berwenang menilai tindakan ketua pengadilan." Sebelum aib itu menimpa Hatta dan Mutojo, Hakim Abdul Razak juga dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah lebih dulu dipermalukan oleh seorang saksi pelapor. Nyonya Mimi Lindawati, di depan khalayak sidang Agustus lalu, nekat melemparkan sepatunya ke meja Razak. Yakni, begitu hakim itu menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap Nyonya Nani yang dianggap bersalah menggelapkan uang Mimi Rp 76 juta. "Hakim penipu, hakim penipu," jerit Mimi ketika dipegangi petugas. Menurut Mimi, ia sudah memberikan uang Rp 2,5 juta atas permintaan hakim itu agar lawan beperkaranya dihukum berat. Ternyata, Nyonya Nani hanya divonis hakim 10 bulan penjara. Padahal, jaksa sebelumnya sudah menuntut Nani agar dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan. "Saya tidak takut kasus itu diteruskan ke yang berwajib agar terbongkar semua," kata Mimi ketika itu. Razak, yang dipindahkan menjadi Ketua Pengadilan Negeri Slawi, Jawa Tengah, memang sempat diperiksa Irjen. Ternyata "isu itu tidak terbukti," kata Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Amarullah Salim. Sebab itu, kini Razak balik mengadukan Mimi ke polisi karena merasa difitnah. Sementara itu, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga melaporkan Mimi karena telah menghina pengadilan. Terlepas dari terbukti atau tidaknya hakim-hakim itu menerima suap, yang menarik adalah semakin ramainya tuduhan suap dilontarkan pesakitan di pengadilan. Bahkan, tudingan suap itu kini bisa secara terang-terangan diucapkan pencari keadilan di dalam sidang. Tudingan serupa sebelumnya pernah pula menimpa jaksa-jaksa yang membawa perkara ke sidang. Ada apa sebenarnya di tengah peradilan kita? Karni Ilyas, Happy Sulistyadi (Jakarta), Saiff Bahkam (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini