Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DASEP Ahmadi hanya melongo ketika ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengetukkan palu, Senin pekan lalu. Hakim memvonis Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama ini bersalah dalam kasus korupsi proyek prototipe mobil listrik tahun 2013. Hakim menghukum Dasep tujuh tahun penjara dan mewajibkan dia membayar ganti rugi Rp 17,9 miliar kepada negara. "Ooow...," kata Dasep seraya menghela napas panjang.
Reaksi Dasep kali ini jauh berbeda dengan ekspresi dia pada sidang sebelumnya, ketika jaksa membacakan tuntutan 12 tahun penjara dan ganti rugi Rp 28,9 miliar. Kala itu, akhir bulan lalu, ia sampai terkulai di kursi sembari menitikkan air mata. Pekan lalu, Dasep tampak lebih siap secara mental. Kendati begitu, dia tetap tak menerima disebut terlibat korupsi. "Saya akan banding karena ini kejahatan buat saya," ucap pria 51 tahun itu setelah sidang.
Pengacara Dasep, Vidi Galenso Syarief, mengatakan putusan hakim yang lumayan berat menjadi "tiket" untuk mengajukan permohonan banding. Jika vonis hakim hanya satu tahun, misalnya, Dasep mungkin bisa dia yakinkan untuk menerima saja. "Meski hal itu nyaris mustahil, karena jaksa menuntut dia 12 tahun penjara," ujar Vidi.
Sebaliknya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Victor Antonius juga mengatakan akan mengajukan permohonan banding. Victor pun mempertanyakan putusan hakim yang menyatakan mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan tidak terlibat dalam kasus ini. Padahal, menurut Victor, Dahlan yang memperkenalkan Dasep kepada tiga perusahaan pelat merah yang mendanai proyek mobil listrik tersebut.
GAGASAN agar Indonesia membuat mobil tanpa bahan bakar muncul, dalam sebuah rapat perencanaan Konferensi Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 2012. Pengusulnya Menteri BUMN Dahlan Iskan, selaku penanggung jawab konferensi pada 2013 di Bali itu. Selanjutnya, Dahlan membawa usul tersebut ke rapat kabinet yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Agar tak membebani anggaran negara, Dahlan menawarkan pendanaan proyek mobil listrik kepada sejumlah BUMN. Pada Februari 2013, Dahlan mengundang PT Bank Rakyat Indonesia, PT Perusahaan Gas Negara, dan PT Pertamina ke Kementerian BUMN. Kala itu Dahlan pun memperkenalkan Dasep sebagai personel Putra Petir—tim riset mobil listrik bentukan sang Menteri.
Di kalangan penggagas mobil listrik nasional, Dasep Ahmadi memang bukan nama asing. Lelaki kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, itu getol mempromosikan mobil listrik sejak 2012. Pernah bekerja sebagai ahli mesin di Astra International, Dasep berambisi membuat mobil listrik keluarga. Salah satu mobil listrik karya Dasep diberi nama Evina, Electric Vehicle Indonesia. Mobil hasil kerja sama dengan PT Perusahaan Listrik Negara itu bodinya kecil dan ringan, dirancang untuk bermanuver di jalanan padat.
Lewat serangkaian pertemuan, ketiga BUMN akhirnya sepakat meneken kontrak pemesanan 16 mobil berwujud bus dan mobil eksekutif. Untuk mendanai proyek, ketiga BUMN memilih skema sponsorship dan corporate social responsibility. Mereka berkomitmen urunan dana Rp 32 miliar, asalkan semua mobil listrik sudah siap sebelum pembukaan Konferensi APEC pada 1 Oktober 2013.
Dasep lantas berburu komponen mobil listrik ke berbagai negara. Bodi mobil, misalnya, dia ambil dari Cina. Adapun komponen mesinnya sebagian ia ambil dari Eropa. Dasep berencana merakit semua komponen itu di pabriknya di kawasan Cilodong, Depok, Jawa Barat.
Pencairan dana yang lamban dan birokrasi di kepabeanan yang berbelit-belit menghambat rencana Dasep. Target dia pun meleset. Pada pembukaan APEC, 1 Oktober 2013, Dasep baru menyelesaikan 3 dari 16 mobil yang ia janjikan. Karena belum memperoleh surat laik jalan dari Kementerian Perhubungan, ketiga mobil listrik itu hanya nongkrong di stan pameran. Sewaktu 16 mobil listrik selesai, APEC sudah lama bubar. Mobil-mobil Dasep itu akhirnya dihibahkan ke sejumlah universitas untuk menjadi obyek penelitian.
Kejaksaan Agung menganggap kegagalan proyek Dasep memenuhi tenggat telah merugikan keuangan negara. Menurut jaksa, dana yang digelontorkan tiga perusahaan milik negara pada dasarnya merupakan uang negara. Jaksa pun menetapkan Dasep sebagai tersangka pada 15 Juni 2015.
Jaksa Agung Muda Victor Antonius mengatakan Dasep hanya memodifikasi, bukan memproduksi mobil listrik. Dasep juga tidak memiliki agen tunggal pemegang merek. Ia pun tak mengantongi sertifikat ahli, hak cipta, atau paten dalam pembuatan mobil listrik. Pendek kata, menurut Victor, Dasep melanggar aturan pengadaan barang di Kementerian BUMN.
Di pengadilan, jaksa mendakwa Dasep memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan merugikan keuangan negara, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama Dahlan Iskan. Jaksa menjerat Dasep dengan Pasal 2 ayat 1, Pasal 3, dan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut pengacara Dasep, Vidi Galenso Syarief, dakwaan jaksa atas kliennya dipaksakan. Alasannya, kontrak Dasep dengan ketiga BUMN merupakan kerja sama "sponsorship". Upaya pencitraan perusahaan (corporate branding) itu sama halnya dengan sponsorship untuk pertunjukan musik atau kegiatan olahraga. Kalaupun Dasep dianggap terlambat memenuhi tenggat dalam kontrak, menurut Vidi, kasusnya semestinya diselesaikan secara perdata. "Sejak perkara ini dilimpahkan ke Tipikor saja sudah aneh," ujar Vidi.
Vidi menambahkan, dakwaan bahwa Dasep melakukan korupsi "secara bersama-sama" juga tidak tepat. Vidi menilai penggunaan Pasal 55 ayat 1 KUHP itu merupakan upaya jaksa mencari pintu masuk untuk menjerat Dahlan Iskan.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Dasep terbukti memperkaya diri dengan cara merugikan negara—seperti dakwaan primer jaksa. Menurut hakim, proyek Dasep merugikan negara Rp 28,99 miliar. Angka itu dihitung dari realisasi pembayaran oleh PT PGN sebesar Rp 9,034 miliar, PT BRI sekitar Rp 8,083 miliar, dan PT Pratama Mitra Sejati (anak perusahaan PT Pertamina) Rp 11,875 miliar.
Adapun dakwaan jaksa bahwa Dasep melakukan korupsi secara bersama-sama tidak terbukti. Unsur penyertaan pada Pasal 55 KUHP, menurut majelis hakim yang diketuai Arif Waluyo, tidak terpenuhi. Hakim pun menganggap dakwaan yang menyebut nama Dahlan Iskan prematur. Soalnya, proyek 16 unit mobil listrik disepakati Dasep langsung dengan tiga perusahaan sponsor.
Menurut Vidi, putusan hakim yang "membersihkan" nama Dahlan Iskan menguntungkan kliennya. "Bagaimana mungkin orang swasta melakukan korupsi tanpa ada pejabat pemerintah yang terlibat?" kata Vidi, yang kembali memastikan bahwa Dasep akan mengajukan permohonan banding.
Sejak kasus ini mencuat, dukungan untuk Dasep mengalir dari berbagai kalangan. Pendukung Dasep, misalnya, membuat petisi berjudul "Bebaskanlah Sang Inovator Karena Dia Bukan Koruptor" melalui situs www.change.or.id. Sampai Kamis pekan lalu, ada 2.041 orang yang mendukung petisi tersebut.
Dalam sepekan terakhir, di media sosial juga beredar meme atau kritik melalui gambar bernada lelucon. Di antaranya ada meme yang membandingkan mobil listrik karya Dasep dengan bus Transjakarta yang terbakar, tanpa ada seorang pun yang dipidanakan.
Toh, semua dukungan itu belum cukup kuat untuk membebaskan Dasep, peraih B.J. Habibie Technology Award dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada 1987. Sebelum pengadilan lebih tinggi mengoreksi putusan pengadilan pertama, Dasep harus menghitung hari di balik jeruji besi Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta.
Nur Haryanto, Imam Hamdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo