SATUAN penembak tepat dari kepolisian Bangladesh tanpa henti berpatroli di jalan-jalan Kota Dhaka yang sepi. Sampai Ahad baru lalu, pemogokan umum telah memasuki hari ketiga dan praktis melumpuhkan roda ekonomi di kota yang berpenduduk empat juta itu. Khawatir kerusuhan akan berkobar lagi, polisi bahkan mendatangkan pasukan bala bantuan dari daerah. Menurut rencana, pemogokan yang digerakkan aliansi 21 partai oposisi itu akan berakhir 23 November, pagi hari. Namun, karena tak tercapai kompromi antara pemerintahan Jenderal Hussain Mohammed Ershad dan lawan-lawan politiknya, aksi demonstrasi dan pemogokan dicanangkan akan terus berlangsung, sampai Ershad turun panggung. Kerusuhan di Bangladesh ini diawali oleh protes besar-besaran di seluruh negeri, yang dimulai dua pekan silam, dalam rangka memperingati dicabutnya UU Darurat. Seperti biasa aksi protes diboncengi berbagai kecaman terhadap pemerintahan Jenderal (pensiunan) Ershad, yang dituduh represif dan korup. Padahal, November tahun silam, jenderal ini telah mengumumkan kembalinya pemerintah sipil, setelah ia memerintah secara tangan besi selama empat tahun. Sebenarnya, keadaan sudah lebih tenang ketimbang minggu silam. Tapi pemogokan dan aksi protes yang diramaikan dengan bom molotov dan batu berkecamuk lagi, hingga diperkirakan 100 orang tewas dan 40 luka parah. Di antara korban terdapat polisi, yang tewas dan luka-luka ketika kereta api yang mengangkut mereka terguling, karena relnya dibongkar. Situasi terakhir masih tidak menentu. Tapi tak ada tanda-tanda Ershad bersedia berunding, apalagi turun dari kursi kepresidenan yang direbutnya dengan kudeta tak berdarah pada 1982. "Anarki tak akan merontokkan pemerintah saya, lantaran akarnya tertanam kuat," katanya dalam sebuah pidato. Tak lama setelah ia mengeluarkan pernyataan itu, diperintahkannya agar Partai Jatiya yang berkuasa mengadakan rapat tandingan. Ternyata, rapat umum itu hanya dihadiri sekitar 200 orang, dan dijaga dengan ketat oleh polisi dan tentara. Dan dalam rapat kecil itu, penjaga keamanan berseragam dan intel jauh lebih banyak ketimbang rakyat biasa. Untuk menunjukkan bahwa ia tak bisa dilawan, hari Minggu lalu Ershad mengangkat Anwar Zahid, orang kepercayaannya, sebagai menteri penerangan. Zahid pernah menjabat menteri perburuhan sebelum Ershad merombak kabinetnya tahun silam. Tak lama kemudian, pemerintah melarang media massa cetak memuat foto tentang kekerasan dalam demonstrasi-demonstrasi. Katanya, tindakan itu diambil sebagai reaksi atas berita sebuah radio asing, yang berisi kritik terhadap pemerintah Bangladesh. Itu dianggap mencampuri urusan dalam negeri. Dan Ershad tidak bisa tinggal diam. Hanya beberapa hari sebelum kerusuhan pecah -- mungkin karena merasa dalam bahaya -- ia turun ke bawah mendekati para pendukungnya. Salah satu yang dikunjunginya adalah markas besar Divisi IX Angkatan Darat. Di sana ia mengumumkan niatnya untuk membiayai pembangunan sebuah masjid. Dalam upaya menunjukkan bahwa dukungan militer terhadapnya masih kuat, sejak sepekan yang silam ia telah mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara. Soalnya, terbetik kabar bahwa tentara tak puas atas kerusuhan yang berlarut-larut dan makin terintimidasi untuk turun ke jalan secara langsung. "Saya bukan Tuhan atau rasul. Tapi, saya pernah memegang komando tertinggi atas tentara itu. Saya kenal mereka, dan saya yakin mereka tak akan berbuat sesuatu selama saya masih presiden." Itulah yang dikatakan Ershad untuk menunjukkan bahwa ia masih dihormati tentara. Ershad bukanlah seorang tokoh populer. Tapi, pemerintahannya tidak terlalu represif. Ini masih ditambah dengan kenyataan bahwa golongan oposisi banyak diidentifikasikan dengan rezim otoriter Jenderal Zia sebelum kup 1982. Dengan demikian, ia tak banyak mendapat tantangan. Oleh karena itulah sang jenderal masih bertahan. "Ershad bukan pemimpin yang punya karisma. Tapi semua orang takut untuk menggulingkannya kata seorang politikus senior yang tak mau disebut namanya. Yang jelas, aksi protes dimulai ketika Ershad memaksakan sebuah RUU baru di parlemen, yang intinya akan memberi hak pada para perwira untuk duduk dalam DPRD, sebagai anggota yang tak punya hak suara. Partai-partai oposisi yang kedua pemimpinnya -- Begum Khaleda Zia dan Sheik Hasina Wajed -- sudah dikenai tahanan rumah, takut kalau RUU itu nanti bisa memungkinkan pemerintah militer yang otoriter akan bercokol lagi. Maka, walaupun keyakinan mereka agak berbeda, Khaleda dan Hasina menggerakkan massa oposisi turun ke jalan, sejak dua pekan silam. A. Dahana, Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini