Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rumitnya Boyongan Setelah Perang

Kebutuhan dana penarikan logistik perang bisa tembus Rp 70 triliun. Makin kompleks mempertanggungjawabkan keamanan di Afganistan pasca-penarikan pasukan.

4 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inggris pergi meninggalkan benteng, Uni Soviet pergi meninggalkan truk, tank, dan sebaran ranjau darat di berbagai penjuru negeri. Di Afganistan, negara dengan sejarah perang yang melibatkan negara lain, pasukan asing dikenang salah satunya dari barang-barang yang ditinggalkan. Kini, setelah 12 tahun perang melawan Taliban, apa yang ditinggalkan Amerika Serikat untuk Afganistan?

"Itu sampah Amerika," kata Sufi Kan, pedagang barang rongsokan, di tempat penampungan barang-barang rongsokan militer Amerika Serikat di luar pangkalan udara Bagram, markas militer Amerika untuk Afganistan timur, seperti dikutip ­Washington Post.

Di berbagai tempat penampungan rongsokan perang Amerika, beragam jenis barang siap dilebur atau diolah, dari sisa truk lapis baja, tumpukan kasur, kawat berduri, treadmill, hingga potongan sendok makan. Barang-barang itu dilebur agar tidak disalahgunakan. "Banyak barang nonmiliter memiliki komponen yang bisa dibuat menjadi senjata. Misalnya timer bisa disambung ke bom rakitan," ujar Michelle McCaskill, juru bicara Badan Pertahanan Logistik Departemen Pertahanan Amerika Serikat.

Melebur barang dan menjualnya ke pasar di Afganistan jadi kegiatan wajib seiring dengan rencana penarikan pasukan. Amerika memang siap-siap bye-bye dari Afganistan dalam kurun setahun lebih ke depan. Presiden Barack Obama sudah berkomitmen mengakhiri keterlibatan militer Amerika di Afganistan selambat-lambatnya akhir 2014.

Aksi keluar dari Afganistan bukan soal sederhana. Seperti dicatat Reuters, saat ini ada sekitar 63 ribu tentara Amerika Serikat di sana, yang akan menjadi 34 ribu pada Februari nanti sebelum semuanya dijadwalkan pulang pada akhir 2014. Namun penarikan pasukan itu lebih mudah dibanding mengurus barang-barang perlengkapan perang alias retrograde. Tak semua dilebur dan dijual karena sebagian besar peralatan masih dibutuhkan, sehingga harus dibawa pulang.

Banyaknya peralatan dan beratnya medan Afganistan pun menjadi tantangan operasi pengangkutan peralatan yang masih digunakan. "Dari skala dan kompleksitasnya, retrograde dari Afganistan adalah operasi paling menantang dalam sejarah transportasi militer," ucap Brigadir Jenderal Steven Shapiro, pejabat militer yang menangani operasi pengangkutan peralatan, seperti dikutip Defense.news.

Dari catatan militer Amerika Serikat, untuk kendaraan lapis baja saja kini masih ada sekitar 25 ribu yang tersebar di Afganistan. Ditambah berbagai barang lain yang harus dibawa pulang, seperti peralatan fitness, furnitur, dan komputer. Untuk mengangkut semua itu telah disiapkan 1.000 ribu kontainer.

Penarikan logistik sudah dicicil setahun terakhir. Sepanjang 2012, sekitar 25 ribu kendaraan tempur telah ditarik dari Afganistan. "Jumlahnya telah berkurang setengahnya," ujar Shapiro. Dari laporan ­Voice of America, setahun terakhir terjadi peningkatan lalu lintas di perbatasan Afganistan dan Pakistan. Kian hari kian banyak truk sarat peralatan militer meninggalkan Afganistan. September lalu, Wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat Ashton Carter bersama sejumlah petinggi Pentagon datang ke Kabul dan melakukan perundingan terkait dengan mekanisme penarikan mesin-mesin berat militer serta persenjataan. "Kami mengejar batas waktu 31 Desember 2014 untuk keluar dari Afganistan," kata Carter.

Proses penarikan bisa dilakukan dengan pesawat kargo yang mengangkut logistik sampai pelabuhan terdekat. Selanjutnya alat-alat diangkut dengan kapal. Untuk peralatan yang sensitif, boyongan dilakukan dengan pesawat pengangkut hingga Amerika Serikat. Nah, untuk penghematan, pemerintah Amerika memilih menggunakan truk melintasi perbatasan Pakistan menuju pelabuhan di Karachi.

Sejauh ini Pentagon terus mengupayakan relokasi mesin-mesin perang ke Amerika Serikat melalui jalur darat demi memangkas anggaran. Untuk itu, targetnya 60 persen logistik diangkut via jalur darat ke perbatasan Pakistan karena Afganistan yang landlocked memang tak memiliki pelabuhan laut. Sejauh ini biaya penarikan logistik ditaksir sebesar US$ 5-7 miliar atau Rp 50-70 triliun.

Penghematan itu tak lepas dari pemotongan anggaran perang atau dana gerakan darurat luar negeri (Overseas ­Contingency Operations) tahun fiskal 2014. Presiden Obama mengajukan permohonan permintaan US$ 79,4 miliar (sekitar Rp 794 triliun), sedikit lebih rendah dibanding tahun ini yang besarnya US$ 87,2 miliar (sekitar Rp 872 triliun). Sebagian dana itu dialokasikan untuk misi penarikan pasukan dari Afganistan.

Pilihan jalur darat pun sempat terhambat. Pakistan menutup perbatasan untuk lalu lintas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) selama lebih dari tujuh bulan setelah serangan helikopter Amerika menewaskan 24 tentara Pakistan. Perbatasan memang sudah dibuka sejak Juli tahun lalu setelah pemerintah Amerika meminta maaf, tapi arus lalu lintas belum sepenuhnya lancar terkait dengan kondisi keamanan di jalan dan perizinan yang ketat.

Dalam perang di Afganistan, Amerika didukung sejumlah negara sekutunya di NATO, antara lain Inggris, Prancis, Belanda, dan Australia. Perang ditabuh pada Oktober 2001 sebagai reaksi atas serangan teroris di tanah Amerika pada 11 September 2001. Sasaran utamanya adalah kelompok bersenjata Taliban, yang dianggap melindungi dalang utama serangan teroris ke bumi Abang Sam, Usamah bin Ladin.

Namun palagan di Afganistan makin tak memperoleh dukungan publik Amerika. Hasil survei terbaru The Washington Post menunjukkan hanya 28 persen warga Amerika menyatakan perang di Afganistan layak diperjuangkan. Setengah dari responden percaya perang Afganistan tidak memberi kontribusi untuk keamanan dalam negeri.

Pertengahan Oktober lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry dan Presiden Afganistan Hamid Karzai merintis kesepakatan awal atas pakta bilateral keamanan. Salah satu poinnya membolehkan sejumlah personel militer Amerika tetap tinggal di Afganistan pasca-penarikan pada akhir 2014 untuk tetap melangsungkan operasi kontraterorisme. Namun kesepakatan yang seharusnya bertenggat November ini belum berujung sepakat.

"Perjanjian itu masih harus disetujui parlemen Afganistan dan Dewan Tetua Afganistan," ujar Karzai mengajukan dalih. Presiden Afganistan yang seharusnya mengakhiri jabatan pada April 2014 ini sebenarnya tidak nyaman terhadap operasi militer Amerika yang berkesinambungan pasca-penarikan total itu. Karzai tidak ingin militer Amerika malang-melintang mengejar sasaran yang dianggap teroris di tanah Afganistan seperti yang dilakukan Abang Sam di Pakistan.

Bukan hanya soal penarikan logistik dan persenjataan yang rumit, soal keamanan di Afganistan pasca-2014 juga menjadi masalah kompleks. Pada semester pertama tahun ini, sekitar 1.320 warga sipil tewas dan lebih dari 2.500 lainnya cedera dalam berbagai insiden. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, jumlah itu meningkat 23 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

"Kemampuan pasukan keamanan Afganistan telah jauh meningkat, tapi belum menunjukkan kecakapan dalam beroperasi mandiri secara nasional," demikian laporan Pentagon.

Kondisi di Afganistan ini memicu kekhawatiran sejumlah kalangan. Nasib buruk seperti di Irak pasca- penarikan pasukan Amerika dan sekutunya merupakan contoh nyata. "Perang saudara yang terjadi pada 1990-an akan terulang kembali," kata Naeem Lalai, anggota legislatif dari provinsi tempat Taliban berasal, Kandahar. "Penarikan penuh akan membuka jalan bagi Taliban untuk mengambil alih kekuasaan."

Benar apa yang ditulis Fred Ikle dalam Every War Must End. Buku klasik itu mendeskripsikan dilema saat mengakhiri perang: apakah lebih dulu membakukan kesepakatan damai atau pergi begitu saja. Sebab, para politikus pasti menolak mengakui bahwa keputusan mereka berperang merupakan kesalahan, timbul kerugian besar dalam pembiayaan, dan pihak militer selalu menolak mengaku kalah. Itulah mengapa, menurut Ikle, keputusan mengakhiri perang biasanya lebih lama diambil ketimbang keputusan memulainya. Pemerintah Barack Obama pun dihadapkan pada kondisi ini: kerepotan boyongan pulang, beban biaya perang yang superbesar, dan dampak keamanan pasca-pemulangan pasukan.

Harun Mahbub (BBC, Defense.News, Reuters, VoA, Washington Post, www.armymil)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus