ADA dua buku tebal di Singapura, seumpama duaduanya dibuat. Satu buku telepon, dan dua, yang tak dibuat, adalah buku tentang segala larangan dan imbauan beserta penjelasan dan ancaman dendanya bagi pelanggarnya. Coba, di negeri berpenduduk kurang dari tiga juta itu, terdapat peraturan yang melarang dari urusan "berat" seperti pengontrolan pembelian mobil, kartu kredit, imbauan bagi lulusan universitas agar menikah dan beranak tiga, sampai peraturan remeh macam larangan membuang abu rokok sembarangan atau denda bagi yang lupa menyiram WC dan mereka yang makan di dalam Mass Rapid Transit (MRT), kereta bawah tanah milik pemerintah. Lalu, Jumat pekan silam, Kementerian Lingkungan Singapura memberlakukan peraturan yang paling gres: dilarang mengekspor, mengimpor, dan menjual permen karet. Pada mulanya adalah kedongkolan Suppiah Dhanabalan, yang pada 1983 masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan Kebudayaan. "Sungguh menjengkelkan melihat para pemuda ganteng dan gadis cantik yang berjalan-jalan sambil mengunyahn-gunyah macam lembu," kata menteri yang kini menjabat sebagai Menteri Pembangunan itu. "Apalagi kalau mereka membuang bekas permen karet ke bawah kursi atau ke lantai, itu menjadi problem sosial." Pemerintah adem ayem saja, sementara pemuda-pemudi Singapura dan para turis Amerika terus leluasa "jadi lembu". Mungkin selama ini belum ada "problem sosial" yang dianggap serius. Sampai kebiasaan sebagian penggemar permen karet yang iseng membuang gumpalan sial itu di pintu MRT, yang lalu membuat pintu macet dan harus diperbaiki, dianggap merugikan. Kebetulan, pada Juli dan Agustus tahun silam perbaikan pintu kereta terpaksa dilakukan dua kali. Ancaman hukuman dan dendanya tak main-main. Mereka yang mengimpor sesudah Jumat 3 Januari diancam denda S$ 10.000 atau penjara 12 bulan. Ini untuk pelanggaran pertama. Yang melanggar untuk kedua kalinya akan didenda S$ 20.000. Bagi mereka yang berani menjualnya secara eceran, ancamannya denda S$ 2.000. Namun, jika hanya mengunyah permen karet, tak ada ancaman apa pun, asal bekasnya dibuang ke tempat sampah. Dan harap ingat, jangan berubah menjadi "lembu" di dalam MRT atau bus umum. Di dua tempat itu tak ada peluang. Diperkirakan, rakyat Singapura mengunyah permen karet senilai S$ 8 juta per hari. Hitung saja kerugian 4.000 penjual permen karet di seantero Singapura. Apalagi pemilik pabriknya. "Kami sudah pasti harus menutup pabrik kami," keluh juru bicara perusahaan permen karet Wrigley, seperti yang dikutip Asian Wall Street Journal. "Tak ada pilihan lain." Tentu saja ada reaksi, meski ini di Singapura, yakni dari pihak oposisi. Salah seorang anggota oposisi yang tak mau disebut namanya mengatakan pada Zaimuddin Anwar, pembantu TEMPO di Singapura, bahwa masalah permen karet terlalu pribadi. Seorang pengacara dan dosen hukum menganggap Pemerintah Singapura terlalu mempersoalkan hal-hal sepele. Seorang guru menganggap Pemerintah Singapura salah. "Mestinya, bukan begini caranya mendidik rakyat. Pelarangan ini membuktikan bahwa pemerintah sewenangwenang," katanya. Mengapa orang Singapura suka mengunyah permen karet? Kata Andrew Tan, 17 tahun, dari sekolah menengah Jintai pada The Straits Times, karena ia jarang berbicara, lalu dibelinya beberapa pak permen karet untuk dikunyah-kunyah, "untuk menyenang-nyenangkan diri." LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini