MASIH berselimut sarung, bola mata Sulaiman Reubi, 41 tahun, terbelalak, pagi itu. Coba, ribuan udangnya di tambak seluas hampir dua hektare mati terapung-apung. "Padahal, sebulan lagi saya panen," kata Kades Kuta Geulumpang, dekat Lhokseumawe, Aceh, kepada TEMPO. Nasib sial ini juga menimpa 242 petani tambak di enam desa tetangga di kecamatan bekas Kerajaan Samudra Pasai itu. Air tambak mereka berubah menjadi cokelat hitam dan berkilat-kilat diselaputi minyak. Ternyata, menurut penduduk, Sungai Alue Manggra sebagai sumber air tambak itu pun sama keadaannya. Penduduk pun segera paham apa yang terjadi. Maklum, ke sungai itu jugalah Mobil Oil membuang limbah pengeboran ladang gas Arun yang dikelolanya. Tak dinyana jika perusahaan berlogo kuda terbang yang berpusat di Houston, AS, itu harus berurusan dengan meja hijau. Penemu ladang gas di Arun, Aceh Utara, 20 tahun lalu, ini digugat ganti rugi Rp 2 milyar lebih. Soalnya, limbah Mobil Oil ini dituduh mencemari hampir 200 hektare tambak udang penduduk. Akibatnya, sekitar 2,6 juta ekor udang mereka mati. Bulan ini juga perkara itu ditangani Pengadilan Negeri Lhoksukon, Aceh Utara. Majelis yang diketuai Cut Nilawati telah ditunjuk mengadili dua pekan lalu. Semula, petani tambak itu menduga matinya udang-udang mereka karena terserang hama. Mereka sempat salat jamaah untuk menolak bala, sambil kenduri. "Eh, ternyata penyebabnya air racun dari limbah," kata Saman, seorang petani lain. Saman mengaku dibisiki seorang pemuda -- karyawan Mobil Oil -- yang menyebut limbah yang disebut baroid itu datang dari sisa-sisa pengeboran. Singkat kata, penduduk mengadukan bencana ini. Sebuah tim dari Pemda pun turun meneliti kasus itu pada 20 Juni 1991. Namun, tim mengaku tak menemukan penyebabnya. Lalu, ceritanya pun diam hingga petambak seolah melupakannya dan kembali menabur benih pada awal Juli 1991. Tapi, ketika dipanen pada 18 September 1991, hasilnya sama saja. Kejadian udang pada mati terulang. Hari itu juga, Zulfikri, Ketua Kelompok Tani Desa Pu'uk, melaporkan kasus itu ke pelbagai instansi. Juga ke Mobil Oil. Sepekan kemudian, sebuah tim yang dikoordinasi Pemda turun lagi. Ketika sampel air tercemar itu diperiksa di laboratorium milik PT Pupuk Iskandar Muda, misteri itu pun tersibak. Ternyata, pH (derajat keasaman) air itu naik jadi 8,40 dari 7,2, yang normal untuk kehidupan udang. Seorang anggota tim mengaku mereka menemukan seekor ikan gabus mati persis di depan mulut pintu pembuangan limbah Mobil Oil. Di sekitar itu juga tak tampak ada tanda-tanda kehidupan. "Jangankan nyamuk, larva dan kecebong pun tak ada," katanya. Tapi, anehnya, ketika hasil penelitian tim itu diumumkan, pada 12 November 1991, disimpulkan air itu sama sekali tak berbahaya. Pokoknya, masih di bawah ambang batas yang ditoleransi. Tapi, penjelasan itu tak menghalangi penduduk menggugat ke pengadilan melalui Pengacara Yusuf Ismail Pase. Lagi pula, sudah tiga kali Yusuf menyampaikan somasi ke Mobil Oil, tapi tak ditanggapi. Manajer Operasi Produksi Mobil Oil, E.B. Jones, memang menyurati Yusuf bahwa somasi yang minta ganti rugi itu sudah diteruskan ke Pertamina. Dalam kontrak Mobil Oil dan Pertamina, urusan seperti ini disepakati jadi tanggung jawab Pertamina. Gugatan Yusuf sebesar Rp 2 milyar lebih memang berdasarkan sejumlah hitungan. Untuk panen yang gagal karena kasus polusi 10 Juni, Yusuf menggugat ganti rugi hampir Rp 600 juta. Ini belum termasuk bunga bank sebesar 16 persen untuk selama delapan bulan. Untuk panen kedua yang gagal karena peristiwa 18 September, mereka menggugat dengan nilai yang sama, tapi belum termasuk bunga 10 persen untuk selama lima bulan. Maklum, modal untuk tambak itu ditopang kredit BRI dengan bunga dua persen sebulan. Uniknya, Yusuf juga menghitung kerugian moril kliennya senilai Rp 200 juta karena gagal dua kali panen. Karena Mobil Oil dan Pertamina telah menghina kliennya dengan menganggap enteng somasi mereka, Yusuf menggugatnya senilai Rp 200 juta pula. Dan yang juga unik: Yusuf menghitung jasanya sebesar seperlima dari nilai gugatan, yakni sekitar Rp 300 juta. "Tapi, yang penting kerugian petambak harus dibayar," kata Yusuf, berapiapi. Ketika dikonfirmasi, Sekwilda Aceh Utara, Ismail Bantasyam, menyodorkan hasil tim yang dikoordinasi Pemda, seperti disebut tadi. "Kami bukan mau membela, tapi mana buktinya limbah itu berasal dari Mobil Oil,"katanya pada TEMPO. Ia berlogika jarak pintu pembuangan limbah Mobil Oil berjarak sembilan kilometer dari desa para petambak itu. Lagi pula, tim KLH Provinsi Aceh setiap triwulan memeriksa zone industri Lhokseumawe secara reguler. Kepala Humas Pertamina Sumatera Bagian Utara, Tubagus Ahmad Alin, mulanya keget juga mendengar gugatan itu. Maklum, inilah gugatan pertama soal limbah yang dialami Mobil Oil dan Pertamina yang membawahkan banyak proyek di Indonesia. Selama ini mereka memang selalu hati-hati dalam pengolahan limbah. "Soal ini selalu included dengan semua perencanaan proyek kami," kata Tubagus. Mobil Oil yang punya empat ladang pengeboran di Arun itu sebenarnya punya waduk separator, yang berfungsi memisahkan minyak dan air dari sisa-sisa pengeboran. Nah, air ini baru dilepas ke sungai jika kadarnya sudah di bawah ambang batas yang ditentukan pemerintah. Tapi, karena petambak menempuh jalan ke meja hijau, Mobil Oil pun terpaksa meladeninya. "Apa boleh buat, kami juga harus bersiap ke pengadilan," kata Tubagus. Bersihar Lubis & Munawar Chalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini