Sejumlah polisi menyerbu masuk ke sebuah rumah di pinggiran Chiang Dao di Thailand Utara, sebuah petang akhir bulan lalu. Mereka bersenjata lengkap dan membawa seekor anjing pelacak. Tidak lama, anjing itu membaui ya ba, jenis narkoba atau methamphetamines yang sangat populer di Thailand. Anjing itu berhasil menemukan sebuah kantong plastik berisi sekitar 5.000 pil berwarna pink tersembunyi di semak-semak di kebun. Polisi langsung memborgol dan membawa seorang laki-laki setengah baya. Song Narong, anak laki-laki itu, tak henti menangis menyaksikannya.
Ayah Song Narong masih beruntung. Dia tidak langsung ditembak mati atau justru dibunuh diam-diam. Belakangan ini isu ”petrus” (penembak misterius) sedang merebak di negeri yang tak jauh dari penghasil narkoba dunia, Segi Tiga Emas di Burma. Menurut juru bicara polisi Thailand, Mayjen Pongsaphat Pongcharoen, pekan lalu, sekitar 1.035 orang yang dicurigai sebagai pengedar ya ba atau obat gila tewas selama operasi pada Februari. Namun, dia menyangkal bahwa polisi yang membunuh semuanya. Dia hanya mengakui 31 orang di antaranya. Itu pun karena pertahanan diri. Sisanya, tewas dalam konflik antargang sendiri.
Namun, kejadian di lapangan tidak membuktikan pembelaan polisi itu. Dalam sebuah insiden di Baan Mae Sa Mai, kawasan perbatasan dekat Segi Tiga Emas, dua orang tewas terbunuh saat dalam perjalanan ke luar kota untuk mengirim panenan lychee mereka. Damrong Tanomwaorakun dan istrinya, Somsi, dibunuh oleh orang tak dikenal. Mayatnya tetap di dalam mobil mereka yang terparkir di jalanan. Di situ berserakan ya ba.
Saudara Damrong langsung lapor ke polisi. Namun, dia hanya mendapat jawaban, tewasnya saudaranya itu adalah pembunuhan yang berkaitan dengan narkoba. Saudara Damrong, yang yakin keduanya bukan pengedar ya ba, heran bagaimana nama saudaranya bisa masuk ke ”daftar hitam” Departemen Dalam Negeri. Pertanyaan ini pun tidak terjawab oleh petugas.
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra mengakui kemungkinan adanya kesalahan polisi yang menyebabkan tewasnya tersangka. ”Normal kalau kami melakukan beberapa kesalahan dalam perang yang begitu besar ini,” ujarnya.
Shinawatra menetapkan perang terhadap narkoba dan melakukan operasi tuntas tiga bulan, dari Februari hingga April. Selama sebulan operasi, tercatat sekitar 30 ribu orang pengedar dan pemakai ya ba telah ditahan. Perang narkoba merupakan tema kampanye Shinawatra saat pemilu dua tahun lalu. Rakyat Thailand, yang sudah begitu muak dengan ya ba, mendukung kampanyenya. Sekitar 5 persen dari total penduduk Thailand menjadi pengguna ya ba. Negeri ini merupakan konsumen methamphetamines terbesar di dunia.
Pernyataan perang Shinawatra membuat semua orang yang terlibat dalam bisnis ya ba merinding dan bersembunyi. Mereka takut namanya tercantum di ”daftar hitam” Departemen Dalam Negeri, yang berderet panjang menyebut sekitar 46.177 nama. Hampir semua orang yang tewas merupakan orang di daftar ini.
Besarnya jumlah korban tewas itu langsung mengundang kritik dari para praktisi hukum dan aktivis hak asasi manusia. Mereka curiga polisi bertanggung jawab atas semua pembunuhan itu, baik yang terbuka maupun tertutup, mirip aksi petrus di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto puluhan tahun lalu. Berarti terjadi eksekusi tanpa pengadilan.
Para praktisi hukum yang sedang berkonferensi di Universitas Thammasat di Bangkok menuduh Thaksin menjadikan Thailand sebagai negara barbar dan tanpa hukum. ”Situasinya lebih buruk dibanding Afganistan saat dikuasai Taliban,” ujar Jaran Pakdithanakul, Sekretaris Presiden Mahkamah Agung. ”Taliban masih mengizinkan pengadilan yang memutuskan. Tapi, di Thailand, tersangka pengedar narkoba dibunuh tanpa diadili,” ia melanjutkan.
Amnesty International menyebut tindakan polisi sebagai pembunuhan ekstra-yudisial (di luar hukum). ”Tersangka seharusnya dilihat dan diperlakukan sebagai orang tidak bersalah sampai terbukti mereka bersalah,” ujar Srirak Plipat, Direktur Amnesty International di Thailand. PBB pun mulai pasang mata terhadap tindakan polisi Thailand, yang tentu saja membuat geram Thaksin.
Namun, belakangan, pemerintah mulai melunak. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Sihasak Pheungketkaew, menegaskan akan dilakukan investigasi untuk setiap pembunuhan. Dia menyebut 50 polisi sedang dalam proses investigasi karena eksekusi tanpa pengadilan itu. ”Mereka akan diadili seperti yang lainnya kalau terbukti beroperasi di luar hukum,” ujarnya.
Purwani Diyah Prabandari (BBC, The Nation, The Independent)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini