Sebuah rencana masa depan pemerintah Palestina telah disusun rapi oleh Israel beberapa bulan lalu. Dewan Legislatif Palestina (parlemen) dan Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) bertemu pada minggu pertama Maret. Mereka memilih Salam Fayyad sebagai perdana menteri, Mahmoud Abbas alias Abu Mazen sebagai wakil presiden, dan Mohammed Dahlan sebagai penasihat keamanan nasional. Yasser Arafat tetap dengan mahkota kepresidenannya, tapi—seperti Moshe Katzav di Israel—hanya sebagai simbol.
Rencana tinggal rencana. Arafat tak mengiyakannya seratus persen. Dia memilih jalan tengah, meminta Abu Mazen menjadi perdana menteri. ”Dalam pertemuan komite sentral Fatah, Arafat memberi tahu Abu Mazen mengenai keputusannya menunjuknya sebagai perdana menteri,” ujar ketua parlemen Ahmed Qurei, yang lebih dikenal dengan Abu A’la. Pertemuan PLO sendiri berlangsung Kamis malam lalu di Ramallah.
Langkah selanjutnya, parlemen dan Dewan Pusat Palestina bertemu akhir pekan lalu untuk menerima atau menolak Abu Mazen. Kemudian mereka akan membicarakan konstitusi yang menetapkan pembagian tugas antara perdana menteri dan presiden.
Abu Mazen sendiri belum memberikan jawaban resminya. ”Saya akan merespons positif atau negatif setelah saya tahu apa saja wewenang yang dimiliki perdana menteri,” ujarnya.
Pengumuman Arafat sebenarnya sudah lama ditunggu-tunggu. Sejak maraknya kembali Intifada sekitar dua setengah tahun lalu, Israel begitu geram pada Arafat. Mereka menuduh Arafat dan Otoritas Palestina berada di belakang semua kekerasan yang dilakukan terhadap warga Israel, seperti serangan bom bunuh diri. Perdana Menteri Ariel Sharon berkali-kali mengancam tak mau berunding dengan Arafat. Bahkan berkali-kali dia memenjarakan Arafat di gedung kantornya sendiri di Ramallah dengan kepungan pasukan Israel.
Israel, didukung Amerika dan Uni Eropa yang menjadi mediator negosiasi damai mereka, mendesak Arafat melakukan reformasi, termasuk memilih perdana menteri yang akan menjalankan pemerintahan sehari-hari. Beberapa kali Arafat mengiyakan, tanpa ada realisasinya. Arafat terlihat kurang antusias dengan ide ini. Tapi, bulan lalu, setelah terus ditekan dalam 10 kali pertemuan dengan para mediator, Arafat menegaskan akan menunjuk perdana menteri. Keluarlah nama Abu Mazen pekan lalu.
Abu Mazen sebenarnya sudah lama dibicarakan orang. Meskipun tak begitu sehat dan tak sepopuler Arafat, dia tetap menjadi kandidat utama untuk duduk di kursi perdana menteri, bahkan kandidat utama pengganti Arafat kalau pemimpin Palestina ini harus berhenti.
Abu Mazen adalah Wakil Ketua PLO dan seorang pemimpin Fatah, organisasi terbesar dan paling berpengaruh di PLO. Posisinya memastikan dia punya massa dan juga pendukung di parlemen ataupun di komite sentral Palestina. Orang-orang Fatah sendiri mengancam Arafat hanya akan menerima Abu Mazen sebagai perdana menteri. Berarti, kalau Arafat mau bertahan, dia harus mengikuti keinginan Fatah ini.
Abu Mazen sudah sangat lama dekat dengan Arafat. Mereka bersama mendirikan Fatah. Dia juga menemani pemimpin PLO ini mengungsi di Yordania, Libanon, dan Tunisia. Dalam perjuangannya di luar Palestina ini, dia sukses menjalin kontak dengan negara-negara di Timur Tengah untuk membantu perjuangan menentang Israel. Dia pun sukses dalam program pencarian dana bagi perjuangan PLO.
Ketika kembali ke Palestina, dia tetap bahu-membahu bersama Arafat. Pria kelahiran Safed, Galilee, 68 tahun lalu ini salah satu arsitek Perjanjian Damai Oslo. Dia menemani Arafat ke Gedung Putih untuk menandatangani perjanjian itu pada 1993.
Sikap pragmatisnya membuat Abu Mazen bisa diterima oleh lawannya, dalam hal ini Israel. Dia dikenal dekat dengan orang-orang Partai Buruh. Bahkan dia pernah mengorganisasikan dialog dengan sayap kiri Yahudi dan aktivis gerakan pasifis pada 1970-an. Dari situlah dia dekat dengan tokoh-tokoh Israel. Tak aneh, berkali-kali Abu Mazen mewakili Arafat berunding dengan para pejabat Israel. Tak mengherankan pula, dia tegas anti-bom bunuh diri ke wilayah Israel. Tapi dia membolehkan rakyat Palestina angkat senjata kalau diserang.
Sikapnya terhadap perdamaian membuat dia juga diterima dengan lebih terbuka oleh negara mediator seperti Amerika ataupun Uni Eropa. Sambutan untuk Abu Mazen pun cukup positif.
Sebuah tantangan bagi Abu Mazen: menjadi jembatan bagi semua pihak untuk menyambung jalan perdamaian.
Purwani Diyah Prabandari (Haaretz, Jerusalem Post, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini