Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Arfin Sudirman, menyoroti polemik yang terjadi antara Presiden Filipina Ferdinand Romualdez Marcos Jr. alias Bongbong Marcos dan Wakil Presiden Sara Duterte. Menurut dia, perseteruan kedua tokoh itu tak bisa dilepaskan dari ketentuan Konstitusi 1987 yang lahir karena peristiwa People’s Power 1986.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam undang-undang dasar Filipina itu, presiden dan wakil presiden dipilih melalui pemilu yang terpisah. Aturan itu, bertujuan agar terjadi kompromi dan diskursus politik di tingkat eksekutif sehingga dapat mempersatukan visi dan misi presiden dan wakilnya yang berasal dari kubu pendukung yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Namun, sejak Konstitusi 1987 ini dilaksanakan, kemelut politik antara presiden dan wapres justru menjadi ciri khas politik di Filipina hingga saat ini,” kata Arfin dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo, Senin, 2 Desember 2024.
Menurut Arfin, konflik yang terjadi antara Bongbong dan Sara dapat diselesaikan melalui amandemen Konstitusi 1987. Selain itu, Arfin menilai ada urgensi reformasi sistem kepartaian dan komitmen terhadap penegakan hukum di Filipina sehingga tidak memungkinkan orang yang memiliki rekam jejak buruk di aspek hukum, demokrasi, dan HAM dapat memperoleh hak politik untuk maju dan dipilih menjabat posisi politik.
“Untuk saat ini, hal yang perlu dilakukan kedua kubu adalah duduk bersama dan mencari solusi bersama untuk mencapai tujuan bersama, yaitu mewujudkan janji-janji kampanye politiknya sehingga rakyat tidak perlu berkorban lebih lama lagi,” tutur Arfin.
Polemik antara Bongbong dan wakilnya memuncak usai Sara Duterte mengancam jika dirinya terbunuh, maka dia akan membunuh Bongbong sebagai balasannya. Pernyataan yang disampaikan oleh putri mantan Presiden Rodrigo Duterte pada Sabtu, 23 November lalu itu menjadi sorotan publik.
"Saya sudah bicara dengan seseorang. Saya bilang, ‘Kalau saya terbunuh, bunuh saja Bongbong Marcos, (ibu negara) Liza Araneta, dan (Ketua DPR) Martin Romualdez.’ Tidak main-main, saya sudah memberikan instruksi. Saya bilang, ‘Jangan berhenti sampai kamu membunuh mereka,’ dan kemudian dia menjawab, ‘ya’, kata Sara Duterte, dikutip dari Anadolu.
Ucapan Sara Duterte langsung direspons oleh Kantor Komunikasi Kepresidenan Filipina di hari yang sama. Menurut kantor kepresidenan, pernyataan Sara Duterte menegaskan dia telah mengontrak seorang pembunuh bayaran untuk membunuh Bongbong jika dugaan rencana pembunuhan terhadap dirinya berhasil. Sekretaris eksekutif kepresidenan menyatakan akan segera mengambil tindakan yang tepat untuk menanggapi ancaman ini.
Tak hanya itu, Istana Kepresidenan Filipina juga menyebut ancaman Sara terhadap Bongbong sebagai ancaman aktif yang bisa mengarah ke ranah pidana. "Jika bukti-bukti mendukung, ini bisa mengarah pada penuntutan," kata keterangan kantor Presiden Marcos, seperti yang dilaporkan Reuters.
Rentetan perseteruan dinasti Duterte dan Marcos ini membuka peluang pemakzulan Sara Duterte. Konflik mereka tergambar dalam artikel “Mengapa Bongbong Marcos dan Sara Duterte Berseteru” yang terbit dalam Majalah Tempo pekan ini.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini